10. Di Rumah Rifka

1.6K 117 2
                                    

"Mbak! Ayo makan, disuruh ibu!"

Coki masuk ke kamar dengan menggebrak pintu. Akram yang baru saja memainkan ponselnya sampai terkaget-kaget melihat anak bertubuh buntet dan botak itu masuk ke kamar tanpa permisi. Sumpah, Coki memang mirip tuyul.

"Eh, hape baru!" seru Coki. Ia langsung menghampiri Akram dan merebut ponsel itu dari genggaman Akram.

Tetapi Coki tidak berhasil karena Akram keburu menjauhkan ponsel tersebut dengan tangan kanannya dan tangan satu lagi menahan Coki

"Lo dapat hape-nya dari mana, Mbak? Nyopet, ya?" tanya Coki, agak kecewa dirinya gagal meraih ponsel itu.

"Siapa yang nyopet? Ngaco."

"Lagian, emang lo punya duit buat beli itu hape? Pasti dapet nyopet."

"Gue lagi tukeran hape sama temen," jawab Akram berbohong. "Sana gih!"

Coki menatapnya tak percaya. "Temen yang mana? Emang lo punya temen? Lo kan cupu, Mbak. Nggak pernah tuh, gue lihat lo bawa temen ke rumah. Gue gak yakin lo punya temen."

"Berisik."

Coki kembali berusaha merebut ponsel itu.

"Mau pinjem. Mau main game! Lo tadi lagi main game, kan?"

Akram tetap mempertahankan ponselnya. Ia kesal karena anak lelaki itu sangat mengganggunya ketika akan bermain game.

"Pergi lo Yul!" bentak Akram akhirnya.

Coki mengerutkan dahi. "Yul?"

"Tuyul." Akram memperjelas.

Mata Coki seketika berkaca-kaca. Seperti ada yang memukul dadanya keras-keras. "Lo kok tega sih, Mbak? Masa manggil gue Tuyul?" kata Coki. Ia mengusap air matanya yang menetes. Anak itu berusaha untuk tidak menangis, tetapi dia gagal. Coki yang menangis sangat keras seperti anak balita. Dia pergi mengadu ke Bu Hara.

"Ibu! Mbak manggil Coki tuyul! Heu... Heu..."

Seketika, Akram terkekeh kecil merasa bersalah tetapi campur jijik juga melihat tingkah laku bocil itu. Padahal, Coki mungkin seumuran dengan adiknya, Sephia. Tetapi kelakuannya seperti anak TK saja. Kakak dan adik gak ada bedanya, sama-sama aneh, batin Akram dalam hati.

Akram kemudian beranjak keluar kamar menuju meja makan. Dilihatnya Coki sudah berada diperlukan Bu Hara. Coki masih sesenggukan, sedangkan Bu Hara menenangkannya.

"Rifka, kamu kan tahu adikmu ini gak suka kalau dibilang kayak gitu, apalagi disebut Tuyul," ujar Bu Hara ketika Akram mendekat.

"Kan botak," balas Akram, tidak mau peduli.

Coki makin menangis. "Tuh kan, Bu! Mbak Rifka kampret!"

"Udah, Rifka. Kamu kok sekarang jadi gini sih, nggak kasihan apa Coki ini dicukur botak karena lagi sakit?" kata Ibu.

Sakit? batin Akram bingung.

Seketika itu, Akram benar-benar merasa bersalah. Dia kira, kepala Coki botak karena memang sengaja ingin dicukur begitu.

"Sakit apa?" tanya Akram.

"Alopecia areata, gak bisa sembuh, kalau gak dibotakin, kelihatan pitak," jawab Coki sesenggukan. "Puas lo, Mbak? Pake pura-pura nggak tahu, lagi."

"Maaf," kata Akram singkat. Ia kan tadi belum tahu kalau Coki sedang sakit.

"Gue nggak butuh maaf dari lo, Mbak."

"Terus apa?"

"Mau hape. Maen game!"

Akram menghela napas. "Iya, iya."

Dengan sekejap, Coki pun berhenti menangis. Dia berubah menjadi tampak semangat sekali.

"Makan dulu!" ujar Bu Hara.

Coki lantas cemberut, dia pun segera makan dengan buru-buru.

Akram lalu menatap makanan di depannya di meja. Ada tahu, tempe, dan sayur asam. Makanan rumahan yang sangat biasa saja baginya. Membosankan. Apalagi tidak ada ayam serundeng. Tetapi itu tidak masalah baginya, yang penting perutnya terisi, dia sangat lapar.

Sebelum makan Akram membuka kacamata, ia merasa wajahnya terasa mengganjal dengan adanya kacamata itu. Begitu kacamata dilepas, buram. Tidak bisa melihat apa pun dengan jelas, ia memutuskan memakai kacamatanya lagi.

"Kacamata Mbak kok retak?" tanya Coki.

Akram mengangkat bahu, tidak tahu menahu. Sejak dia berada di tubuh Rifka, kacamata itu sudah retak. Dia pikir, kacamata Rifka ini retak sudah sedari lama. Tidak mau memikirkannya, ia segera mengambil makanan di hadapannya.

"Kamu ada masalah, Rifka?" tanya Bu Hara kemudian. "Kok semenjak pulang sekolah kayak beda gini? Selain kacamata retak, tadi juga pas baru pulang langsung tidur ke kamar. Kamu gak apa-apa, kan?"

Akram terdiam sebentar. Ia menatap mamanya Rifka itu. "Enggak kok, Tant-- maksudnya Ibu," jawabnya. "Enggak ada apa-apa."

"Kalau ada masalah, cerita. Ibu bakalan dengerin dan bantu."

"Iya, Bu." Lalu Akram kembali memakan makanannya. Walaupun hidangannya itu sederhana, tetapi ia merasakan sesuatu yang nikmat di sini. Entah apa itu, Akram tidak bisa mendeskripsikan. Lagipula dia sudah lama tidak makan makanan seperti ini. Masakan Bu Hara juga tak kalah dengan masakan Mbok Yen.

Akram tidak mengerti, mengapa dia merasa ada sesuatu yang membuatnya tenang di sana.

Mungkin karena Bu Hara yang tadi perhatian kepadanya. Selama ini, orangtua Akram tidak pernah bersikap seperti yang Bu Hara lakukan sekali pun.

Akrampun kembali memakan makanannya dengan lahap.[]










AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang