59. Berduaan

915 58 3
                                    

"Gue pengen kalian berdua pacaran."

Sephia membuat Akram dan Rifka terdiam sebentar karena permintaannya itu. Tentu saja Akram dan Rifka berdua kesal mendengarnya. Rasanya ingin mengomel, tapi masih sadar bahwa bocah itu sedang sakit. Mau bagaimana lagi selain harus menahan sabar?

"Yang lain," kata Akram yang tentu saja keberatan. Sebelumnya pun dia sudah bilang bahwa jangan minta yang aneh-aneh. Bagi Akram, permintaan Sephia itu sangat amat aneh.

"I-iya, Sephia. Mintanya yang lain aja, yang ... biasa-biasa aja," tambah Rifka panik. Mana bisa dia berpacaran dengan Akram yang menurutnya tidak akan cocok sekali dengannya? Sephia terlalu mengada-ada.

Sephia malah terkekeh melihat balasan dia orang di depannya. "Bercanda," jelasnya. "Eh, tapi gue emang mau banget deh, kalau Abang gue pacaran. Gue pengen lo punya pacar, Bang. Supaya hidupnya enggak lempeng-lempeng aja."

Akram menghela napasnya. "Yang lain, Phia...," katanya lagi. "Yang bisa bermanfaat buat lo, yang gak ada hubungannya sama itu."

"Permintaan gue tadi itu bermanfaat juga kok buat gue, Bang. Karena kalau gue nanti mati, lo ada yang nemenin. Dan sebelum gue mati, gue pengen pastiin kalau Lo udah ada yang nemenin."

Akram akan mendebat adiknya lagi yang selalu saja membicarakan tentang kematian, sebelum pintu terbuka dan muncullah Coki. Bocah lelaki itu terdiam sebentar di setelah kembali menutup pintu. Ia sedikit heran mengapa suasana di sana tampak begitu serius.

"Kalian lagi pada ngapain sih?" tanya Coki. "Serius amat, kayak debat capres."

"Kepo lo!" ujar Rifka, kekesalannya bertambah ketika adiknya itu datang.

"Mbok Yen mana Cok?" tanya Sephia karena tadi Coki ke toilet diantar Mbok Yen. Tetapi sekarang dia kembali sendiri tanpa Mbok Yen.

"Tadi sih, Mbok bilang mau keluar sebentar, mau beli apa gitu, lupa," jawab Coki. "Gue juga berhasil balik lagi ke sini harus susah payah banget, tau. Hampir nyasar karena lupa jalan. Sampe dikira tuyul sama suster-suster gara-gara kepala gue botak. Kan nyebelin."

Sephia tertawa mendengar itu. Tetapi tidak dengan Akram dan Rifka. Sepertinya mereka berdua masih bete dengan perkataan Sephia tadi yang seolah ingin menjodohkannya.

"Bang," panggil Sephia kepada Akram. "Oke gak apa-apa kalau lo gak mau menuhin permintaan gue tadi. Tapi ko bisa kan bantuin gue duduk di kursi roda? Gue mau jalan-jalan ke taman pake kursi roda. Di sini terus bosen."

Akram pun lantas mengambil kursi roda yang ditaruh di pojokan. Setelah menggendong tubuh Sephia untuk menduduki kursi roda itu, Akram berjalan ke arah pegangannya, lalu memulai mendorong kursi roda tersebut.

"Bang," panggil Sephia lagi.

"Hm?"

"Gue mau jalan-jalan sama Coki aja. Boleh kan?"

"Jangan! N-nanti kalian nyasar!" ujar Rifka keberatan. Dia tidak percaya adiknya bisa menjaga Sephia dengan baik.

"Sama gue aja," kata Akram, ikut keberatan juga. "Kalau sama bocah itu, gue takut lo malah jatuh."

Sephia tampak kecewa lalu menundukkan wajahnya. "Kenapa sih, kalian berdua dari tadi gak mau nurutin permintaan gue?" tanyanya dengan ekspresi memelas.

"Bukan gitu, Phia. Lo masih sakit, gue takut lo makin kenapa-kenapa," balas Akram.

"Gue bakal jagain Sephia, kok," kata Coki yakin. "Lo tenang aja, Bang."

Tak pernah Akram melihat Coki mengatakan sesuatu dengan seserius itu. Ia memang tidak percaya dengan Coki karena adik Rifka itu selalu membuatnya kesal dan repot, tetapi, jika ini memang keinginan Sephia, mau bagaimana lagi? Akram tidak ingin terus menerus melihat Sephia murung. Siapa tahu, dengan mempersilakannya berduaan dengan Coki, Sephia bisa lebih bersemangat menjalani hari-harinya dan tidak melulu membahas perihal kematian.

Maka, Akram pun memutuskan untuk berkata, "Oke, asal jangan lama-lama."

Sephia lantas mengangkat kepalanya, sumringah. "Hore! Makasih Bang!!"

"Cok! Kalau Sephia kenapa-kenapa, gue tonjok lo!" tegas Rifka, mengancam.

"Oke, kalau ternyata Sephia gak kenapa-kenapa, gue tonjok lo, ya," balas Coki, yang mendapat tawaan dari Sephia.

Membuat Rifka makin sebal dibuatnya.

Setelah itu Coki pun pergi membawa Sephia, sehingga menyisakan Rifka dan Akram di dalam ruangan. Rifka meraih tasnya di bangku. Ia berniat akan ikut keluar dari sana karena tidak nyaman berduaan di dalam ruangan bersama Akram. Baru saja akan menuju pintu, Akram memanggilnya.

"Mau ke mana lo?"

"Keluar," balas Rifka. Dia ingin mengawasi Coki dan Sephia dari belakang karena tentu saja dia khawatir. Bagaimana pun, Sephia dan Coki ini masih kecil.

"Bantuin gue dulu beresin barang-barang di ruangan biar jadi keliatan rapi," ujar Akram.

Rifka berdecak, keberatan. "K-kenapa nyuruh gue buat beresin? Lo sendiri aja."

"Gue gak biasa beres-beres. Jadi lo harus bantu gue. Lo kan babu gue."

"G-gue ... enggak mau! Kan ... lo sendiri pernah bilang kalau ... mulai sekarang kita berdua gak ada hubungan apa-apa lagi."

Rifka pun segera kembali berjalan menuju pintu untuk keluar. Tetapi, Akram meraih lengan cewek itu untuk menahannya agar tetap berada di dalam sana.

"Pokoknya lo harus beresin barang-barang yang berantakan itu!" tegas Akram. Ucapannya seperti tidak bisa diganggu gugat. Entah mau apa dia dari Rifka.

"G-gak mau, Akram! Lepasin! J-jangan dipaksa...." Rifka berusaha melepaskan cengkeraman Akram. Ia kesal Akram memaksanya secara sepihak.

"Kalau lo gak mau, gak bakal lo gue anterin pulang."

"Biarin ... bisa naik ojek," kata Rifka sambil mendorong tubuh Akram, sehingga lengannya berhasil terlepas.

Rifka segera kembali menuju pintu, tetapi tiba-tiba, rak sepatu yang terletak di samping pintu itu tiba-tiba bergerak. Lalu perlahan-lahan bergeser kemudian melayang, membuat Rifka ketakutan melihat kejanggalan itu.

Rifka lalu mundur perlahan karena ia melihat sebuah tangan buntung mengangkat rak sepatu itu dari belakang.

Reflek, dirinya mendekat ke arah Akram, tidak tahu lagi harus berlindung kemana. Dia memegang lengan Akram yang tengah bersandar di dekat kasur. Semakin tangan buntung itu mendekat padanya, semakin erat cengkeraman Rifka kepada tubuh Akram. Padahal sebelumnya dia susah payah untuk melepaskan diri dari genggaman Akram.

Kejadian itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba pintu terbuka dari luar. Bersamaan dengan itu, rak sepatu langsung kembali ke tempat semula dan tangan buntung tersebut menghilang entah ke mana.

Mbok Yen, orang yang membuka pintu itu, menatap syok Akram dan Rifka di sana. Bagaimana tidak? Dari sudut pandang Mbok Yen di sana, posisi Akram dan Rifka seperti sedang berpelukan.

"ASTAGFIRULLAH ... K-kalian ngapain pelukan di situ?!" tanya Mbok Yen sambil melohok.

Baru tersadar apa yang terjadi padanya, Rifka langsung menghempaskan dirinya untuk menjauh dari Akram. Ia menghadap ke arah Mbok Yen.

"M-maaf Mbok, tadi ... saya ngelihat kecoa, terus ketakutan dan gak sengaja pegang ... Akram." Rifka langsung bergegas pergi keluar, malu dan kesal juga kepergok Mbok Yen. Absurd sekali perasaannya, campur aduk. Pasti Mbok Yen bakal berpikiran yang tidak-tidak tentang ini.

Mbok Yen kembali menatap Akram dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Akram menampakan ekspresi kikuk sambil menggaruk tengkuknya, bingung mau menjelaskannya mulai dari mana.

Mbok Yen geleng-geleng kepala, sambil bilang, "Mas ... untung yang buka pintu Mbok. Kalau orang lain, mungkin kalian langsung disuruh dinikahin...."[]













03 Januari 2024

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang