Pagi itu Akram, Sephia dan orangtuanya tengah sarapan bersama. Seperti biasa, suasana sarapan di rumah itu selalu hening.
Setelah mengerjakan sesuatu di laptopnya, Bu Alma menoleh ke arah anak bungsunya.
"Sephia, gimana kakinya?" tanya Bu Alma. Lalu meraih roti yang sudah disiapkan Mbok Yen.
"Mendingan, Ma," kata Sephia. "Tapi kalau jalan gak bisa lama-lama."
Usai menutup teleponnya, Pak Bian menoleh ke arah anak pertamanya. "Akram," panggilnya. "Kemarin kan Papa nyuruh kamu buat antarin adiknya. Tapi kamu malah naik ojek."
"Jangan salahin Abang, Pa," kata Sephia. "Motornya Abang kemarin bannya bocor."
"Kenapa waktu itu sebelum berangkat nggak bilang?" tanya Pak Bian.
"Kalau Bang Akram bilang juga Sephia bakal berangkat pake sepeda," kata Sephia setelah mengunyah rotinya. "Papa sama Mama kan kemarin sibuk sama urusan kerjanya sendiri-sendiri," tambahnya.
Seketika kembali hening.
"Sekarang, berangkat sama Mama, ya," ujar Bu Alma akhirnya. "Kerjaan Mama udah mau selesai, nih."
"Atau mau berangkat bareng Papa lagi?" Pak Bian menawarkan. "Papa hari ini gak buru-buru lagi kayak kemarin, kok."
Sephia melihat papa dan mamanya bergantian. Ia lalu menoleh ke arah kakaknya.
"Bang, motor lo udah dibenerin?" tanya Sephia.
Akram mengangguk. Dari kemarin pun, tidak ada yang bermasalah dengan motornya. Semua aman, belum lama ini ia sudah ke bengkel. Memang kemarin Rifka saja yang tidak bisa membawanya.
Sephia kembali menatap papa dan mamanya. Dia bilang, "Aku berangkat sama Abang Akram aja deh, Ma, Pa."
Toh, Sephia tidak begitu nyaman setiap berangkat dengan Mama atau Papanya. Padahal ia tahu, mereka berdua adalah orangtuanya sendiri. Tetapi entahlah, dirinya lebih nyaman jika diantar oleh Akram.
[.]
Sementara pagi itu di rumah Rifka, Rifka tengah duduk di bangku depan meja makan. Bersama adiknya Coki, Rifka akan sarapan nasi uduk. Sedangkan Bu Hara baru saja pergi ke rumah tetangganya untuk bekerja menjadi kuli cuci pakaian tetangga.
Akan tetapi, seperti biasa, sebelum sarapan rambut Rifka dikepang dulu oleh Coki.
"Kemarin kenapa lo nggak mau dikepangin sih, Mbak?" tanya Coki.
"Enggak tahu," balas Rifka. "Lagi enggak mau, kali." Dia pikir, pasti Akram merasa ribet dengan rambutnya kemarin, makanya tidak mau dikepang. Padahal Rifka suka sekali dengan rambut dikepangnya. Dulu, waktu kecil papanya, Pak Budi selalu mengepang rambutnya.
Setelah selesai, Coki pun duduk di sebelah Rifka. Bersiap menyantap nasi uduknya. Tidak lama, mereka langsung segera membuka nasi uduknya masing-masing.
"Mbak, jengkolnya buat gue lagi, ya," kata Coki. Ia akan mengambil jengkol di piring Rifka dengan sendok, tetapi langsung kakaknya hempaskan.
"Jangan, Cok!" seru Rifka. "Lo kan tahu gue suka jengkol! Main ambil aja, gimana sih?"
"Tapi kemarin lo kok kasih jengkolnya ke gue semua?" tanya Coki. "Malahan lo yang ngasih ke gue sendiri. Gue kira lo kagak suka jengkol lagi."
Rifka rasa Akram memang tak suka dengan jengkol. Ia berpikir sebentar untuk menjawab pertanyaan dari Coki itu. Si bocah botak memang merepotkan saja.
"Iya ...," balas Rifka akhirnya. "Tapi kan gue nggak suka jengkolnya pas kemarin doang. Kalau sekarang, gue suka jengkol lagi," jelasnya.
"Besok-besok lo masih suka jengkol gak?"
"Iyalah, besok sampe seterusnya, gue pasti masih suka jengkol!"
Coki cemberut, agak kecewa mendengarnya. "Aneh lo, Mbak!" katanya. Bagaimana tidak? Ia merasa akhir-akhir ini sikap kakaknya itu sering berubah secara tiba-tiba. Terutama masalah jengkol ini.
Setelah selesai dengan sarapannya, Rifka dan Coki kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
"Ayo, Mbak. Lo yang bawa lagi," kata Coki begitu mengeluarkan sepedanya.
"Nggak, gue jalan kaki aja," kata Rifka.
Coki tampak memohon. "Ayolah, Mbak. Kayak kemarin, lo ngebonceng gue. Seru tau!"
Rifka bingung. Kalau saja dirinya bisa membawa sepeda, pasti dari kemarin dia tidak akan pernah berjalan kaki setiap berangkat dan pulang dari sekolah.
"Gue nggak mau, Cok!"
"Ayolah, Mbak. Emang kenapa, deh?" Coki tetap kekeh. Padahal kemarin kakaknya yang menawarkan diri agar membawa sepedanya.
"Nggak mau aja, males," alasan Rifka.
Coki menghembuskan napas. Ia tampak menyerah.
"Ya udah deh," katanya. Lalu bocah itu menaiki sepedanya.
"Mbak?" panggilnya lagi sebelum pergi.
Rifka menoleh. "Apa lagi sih, Cok?"
"Semangat ya, Mbak," kata Coki sambil tersenyum, terlihat sangat tulus. "Apa pun yang terjadi ke lo hari ini, lo jangan sampe kepikiran mau mati. Lo saudara gue satu-satunya. Gue nggak mau kehilangan lo, Mbak."
Setelah itu, Coki menggoeskan pedal sepeda dan berlalu.
Mendengar adiknya berkata seperti itu, Rifka terdiam sebentar. Sebelum melangkahkan kakinya, dia menyunggingkan senyuman sedikit. Terkadang, Coki tidak selalu bertingkah menyebalkan. Bocah itu juga bisa bersikap menjadi perhatian.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Подростковая литератураAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...