57. Babu

885 63 5
                                    

Perasaan Rifka gugup bercampur bahagia dibonceng oleh Arfian. Ini adalah ketiga kali ia dibonceng oleh cowok itu. Rifka ingin mencoba memeluk Arfian dari belakang, tapi tidak mungkin dia melakukannya. Rifka tahu Arfian merupakan cowok baik, tapi kan, kalau Rifka tiba-tiba memeluknya, Arfian yang baik pasti bakal marah juga. Jangan sampai Arfian mengira Rifka adalah cewek murahan dan lalu malah jadi menurunkannya di tengah jalan.

"Lo sejak kapan jadi babunya Akram?" tanya Arfian memulai pembicaraan begitu motor baru melaju.

Rifka tersenyum, akhirnya Arfian mengajaknya bicara juga, dari tadi ia menunggu saat-saat ini. "S-sejak ... tadi."

"Dikasih apa sampe mau jadi babu?" tanya Arfian lagi.

"Em ... Duit," jawab Rifka asal. Kalau Rifka jujur bahwa dia tidak dikasih apa-apa oleh Akram, pasti Arfian jadi akan curiga.

"Oh ..."

"I-iya."

Bahkan saking sukanya mengobrol dengan Arfian, cewek cupu ini menanggapi ucapan Arfian yang cuma bilang oh saja.

"Eh, Rif, kita ke toko buah dulu, ya. Gak enak jenguk tapi gak bawa buah-buahan," kata Arfian.

"I-iya."

"Lo gak mau sekalian beli apa gitu?"

Rifka menggeleng. "Duit gue kurang. Gak apa-apa kan, ya, gak ngasih apa-apa?"

"Ya udah, gak apa-apa. Lagian lo kan babunya Akram juga."

"I-iya."

Lalu setelah itu hening selama belasan detik.

"Arfian...," panggil Rifka karena tidak ada obrolan lagi dari Arfian.

"Hm?"

"G-gue juga ... mau kok jadi babu lo, kalau lo mau," kata Rifka, yang tidak menyangka dirinya menawarkan diri seperti itu. "Lo kan ... sibuk banget orangnya, nah gue siap bantu kalau disuruh-suruh sama lo. Kapan pun dan di mana pun. G-gue siap."

Mendengarnya, Arfian tertawa sambil geleng-geleng sedikit. "Gue gak punya banyak duit kayak Akram. Mau dibayar pakek apa emang lo? Daun?" Ia pikir, perkataan Rifka yang menawarkan diri menjadi babunya hanyalah candaan. Jadi cowok itu membalasnya dengan candaan juga.

"G-gapapa, Arfian, gak dibayar juga. Gue ikhlas, deh!"

"Udah ... lo jadi babunya Akram aja. Gue bisa urus diri gue sediri, kok," ujar Arfian, menolak secara halus. "Akram lebih butuh. Kayaknya juga dia suka sama lo deh, Rif. Gak pernah lho dia deket sama cewek sampe dijadiin babu. Siapa tahu dari babu jadi pacar." Lalu ia tertawa lagi.

"Ngomong apaan, sih? Ada-ada aja," tanya Rifka. Dia suka mendengar tawa Arfian, tetapi dia tidak suka Arfian tertawa karena hal itu. Padahal kan gue pengennya jadi pacar lo, Arfian, batin Rifka.

"Lagian bisa-bisanya lo jadi babu Akram. Gimana ceritanya?" tanya Arfian tidak habis pikir.

"Ceritanya panjang!" balas Rifka menggebu-gebu. "Lo ... mau dengerin? Yuk habis beli buah-buahan kita mampir dulu aja ke tukang bakso, n-nanti ... gue ceritain sambil kita makan. Gue ada kok duit buat beli bakso. Mau, kan?"

"Enggak deh, kan habis beli buah kita mau langsung ke rumah sakit."

"Nanti aja kita ke rumah sakitnya, kita ngebakso dulu. Lo penasaran kan sama ceritanya kenapa gue bisa jadi babunya Akram? Seru tahu cerita gue!"

"Nanti aja, Rif. Gue juga habis jenguk Sephia mau bantu ayah gue benerin mobil. Lagian gak penting-penting amat juga, gue gak penasaran banget juga."

"Oke deh," kata Rifka akhirnya, dengan perasaan kecewa. Dia tahu Arfian menolak diajak makan ke tukang bakso karena Arfian tidak mungkin memiliki perasaan kepadanya. Tetapi, Rifka harus memanfaatkan kesempatannya ini, mumpung sedang berduaan dengan Arfian sekarang. Maka dia pun bertanya lagi.

"T-tapi lain kali ... kita ngebakso bareng, ya, Arfian?"

[.]

Kini, Rifka dan Arfian sudah sampai di rumah sakit. Mereka pikir Akram dan Coki sudah lebih dulu masuk ke dalam, tetapi ternyata mereka berdua baru datang juga. Coki tampak menjinjing kantung kresek, sepertinya mereka baru saja habis dari supermarket.

"Kak Rifka! Lihat nih, gue dibeliin ciki sama Bang Akram! Lo gak boleh minta, ya!" kata Coki menyombong.

Rifka iri. "Pengen!!"

"Gak! Beli sendiri sana!"

"Pelit!!"

"Berisik!" bentak Akram kepada mereka berdua. "Jangan ribut di sini! Gue beli banyak."

Sedangkan dari belakang, Arfian terkekeh melihat tingkah mereka itu.

Mereka berempat kemudian segera masuk ke dalam, menuju ruangan rawat Sephia.

Awalnya, Sephia tampak melamun dan ekspresinya sangat murung. Begitu melihat ada yang datang, kedua ujung bibirnya terangkat, menandakan ia sedang senang atas kehadiran mereka.

"Kak Rifka!!" panggil Sephia dengan manja namun penuh keceriaan.

Rifka pun segera menghampiri Sephia yang terduduk lemas di sana. Senang karena setelah sekian lama akhirnya bisa ketemu lagi. Sedih juga karena wajah Sephia makin hari makin pucat. Mereka berpelukan, melampiaskan rindu.

"Kok lo baru jenguk gue lagi, sih, Kak? Gak dibolehin ke sini ya, sama Bang Akram?" tanya Sephia dengan sebal.

Rifka menggeleng. "Enggak kok, Phia. K-kemarin-kemarin gue ... sibuk, Phia," balasnya.

"Sok sibuk. Orang disuruh bantuin Ibu jualan seblak aja males-malesan!" celetuk Coki menganggu suasana.

Rifka hanya memelototi. Sudah dia duga, pasti bocah itu selalu membuatnya kesaldi mana pun dan kapan pun. Memalukan saja.

"Sephia, kepala lo kenapa? Kok ditutupin?" tanya Coki.

"Rambut gue rontok, Cok," balas Sephia pilu. Ia lalu membuka penutup kepalanya itu, memperlihatkan.

"Oh, botak. Gak apa-apa, gue juga botak, kok. Dari lahir malah. Jadi gak perlu khawatir, kita sama-sama botak. Kayak Upin dan Ipin."

Sephia terkekeh kecil. Coki memang selalu bisa membuat Sephia tertawa dengan segala celotehannya yang di luar nalar. Sephia juga tidak tahu mengapa dia bisa tertawa padahal tahu ucapan Coki itu sungguh cringe.

"Eh, ada Kak Arfian." Sephia baru ngeh atas kehadiran teman Akram itu.

"Iya nih, kalian ternyata udah akrab banget, ya? Sampai Kakak dilupain." Arfian tersenyum lalu menaruh buah-buahan itu di atas nakas. "Cepet sembuh, ya Phia. Oh iya! Kakak juga bawa novel nih, buat Sephia. Kamu masih suka baca novel, kan?" tambahnya sambil mengeluarkan sebuah novel dari tasnya.

Sephia dengan senang hati menerimanya. "Wah ... Makasih, ya Kak!!" ucapnya sumringah.

Dan, yah, Sephia kini tampak lebih baik dari sebelumnya setelah bertemu Rifka, Coki dan Arfian. Setidaknya, kehadiran mereka bisa membuat Sephia merasa ada yang peduli padanya. Hal ini mampu membuat Sephia melupakan rasa sakitnya sejenak. Perasaan inilah yang tidak pernah Sephia dapatkan dari orangtuanya yang sekarang malah masih sibuk dengan pekerjaannya.[]









Mau dilanjut kapan?

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang