Akram baru selesai dengan panggilan Rifka di ponselnya yang mengatakan bahwa Sephia pingsan dan kini sedang dibawa ke rumah sakit terdekat. Cowok itu segera memakai sepatu, kemudian menuju sepeda yang terparkir di samping rumah.
"Bang, tungguin dong!" ujar Coki yang baru selesai mengikat tali sepatunya. "Gak sabar amat? Padahal masih pagi."
"Lo jalan kaki aja. Gue ada perlu," suruh Akram.
"Enggak mau, ah! Capek!"
Akram berdecak. "Ya udah cepetan naik!"
Coki pun lantas menduduki jok belakang sepeda itu. Baru saja pantatnya mendarat, sepeda langsung melaju kencang membuat Coki terperanjat kaget hampir terjatuh.
"BANG! BANGSAT LO! Gue hampir TERJENGKANG tau!" bawel Coki panik. "Ngapain sih ngebut SEGALA? JANGAN NGEBUT! Kayak lihat setan. Eh, LUPA! Lo kan bisa lihat setan di tubuh Mbak gue. Eh, lo emang ada SETAN ya, tadi?! TOLONG TAKUT!"
Coki kalap sendiri dibonceng Akram yang membawa sepeda amat sangat ngebut. Bahkan jalanan yang berlubang pun dia bablas juga sampai pantat Coki kesakitan. Akram ingin cepat-cepat sampai ke rumah sakit, tak peduli dengan celotehan Coki di belakangnya.
"Lho-lho-lho. Bang, kok belok? Sekolah gue kan di sana! Lo mau bawa gue ke mana, sih? Jangan-jangan lo emang culik, ya? Bukan temen sekelasnya Mbak Rifka? Tolong! AKU MAU DICULIK!" teriak Coki.
"Berisik, Tuyul!" sentak Akram. "Lo mau gue turunin?"
"Lo emang mau ke mana sih?" tanya Coki.
"Rumah sakit!"
"Ngapain? Emang gue sakit? Perasaan gue sehat-sehat aja. Atau malah lo yang sakit?Lo sakit apa? Tipes?"
"Udah diem!"
Dan walaupun Akram membentaknya dengan keras, itu sama sekali tidak membuat Coki berhenti berceloteh. Coki benar-benar sangat membuatnya risih.
Usai tiba di rumah sakit, Coki bertanya, "Ngapain sih lo bawa gue ke sini? Gue gak suka bau rumah sakit!"
"Ya udah, lo diem aja di luar. Gue mau masuk." Akram lalu berjalan cepat menuju pintu rumah sakit.
Coki membuntuti dari belakang. "Gak mau. Tar gue dikira orang gila karena ling-lung sendirian di sini."
"Terserah."
Setelah masuk, Akram kemudian menuju ruangan tempat Sephia dirawat sesuai dengan nomor ruangan yang telah Rifka kirim melalui pesan WhatsApp. Coki masih membuntuti dengan menutup hidungnya dengan dasi. Kalau mengambu bau rumah sakit, ia memang selalu mual.
Begitu sampai di depan pintu masuk, dari dalam muncul Mbok Yen, menampilkan ekspresi bingung ketika melihat Akram ada di sana.
"Lho, Neng yang ini lagi. Kok bisa ada di sini?" tanya Mbok Yen.
"Mbok, saya mau ketemu Sephia," kata Akram.
"Emang kamu siapanya Sephia?"
Akram bingung menjawab apa. "Saya ..."
"Mbok, kalau ada yang dateng suruh masuk aja. Dia temen aku!" kata Rifka dari dalam.
"Baik, Mas. Silakan Neng, masuk. Maaf yang kemarin Mbok ngusir kamu. Eh, terus ini yang botak siapa? Kok tutup hidung?" tanya Mbok Yen.
Tapi, tak dihiraukan Akram. Cowok itu langsung masuk ke dalam.
"Aku adiknya, Mbok. Hehe," balas Coki "Tutup hidung soalnya cuma bisa napas lewat mulut. Izin masuk ya, Mbok."
Coki pun ikut masuk, sedangkan Mbok Yen langsung pergi entah mau ke mana.
"Phia, enggak apa-apa?" Akram bertanya penuh khawatir.
Tetapi, Sephia malah bertanya, "Lo ... Bang Akram?" sambil menahan tawanya.
Akram mengangguk pelan.
"Lo lucu banget Bang, pake rok!" Sephia tertawa meledek. "Seorang cowok dingin jadi cewek cupu!"
Akram tak peduli, pertanyaannya belum sempat dijawab oleh adiknya itu. "Serius. Lo gak apa-apa?"
Setelah tawanya menyurut, Sephia menggeleng. "Enggak Bang. Cuma pusing aja. Entar juga sembuh, kok," katanya sambil tersenyum lebar, seolah berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Lo jangan khawatir.
"Mama sama Papa udah tahu?"
Sephia tidak menjawab.
"Orangtua kalian ... dihubungin t-tapi gak pada diangkat," sahut Rifka dari belakang, memberi tahu.
"Kenapa gak pernah bilang kalau lo sering mimisan?" tanya Akram lagi. Bisa-bisanya dia sendiri tidak tahu menahu mengenai kondisi adiknya.
Sedangkan di lain sisi, Coki menghampiri Rifka dan duduk di sampingnya, sambil tetap menutup hidungnya menggunakan dasi.
"Halo, Mbak! Lo masih sehat?" sapanya kepada Rifka.
Rifka menatapnya jutek. "Ngapain, sih ... lo ikut-ikutan ke sini?"
"Emang gak boleh gue ikut Bang Akram ke sini? Ini kan rumah sakit umum!" kata Coki kesal. "Lo seneng kan Mbak, di tubuh Bang Akram? Udah jangan tuker tubuh lagi ya, mendingan sama Bang Akram gue daripada sama lo."
"Berisik! Pulang gih, eh, bukannya sekolah lo!" kata Rifka mengusir.
"Gak mau. Gue juga tadinya mau sekolah, tapi Bang Akram malah bawa gue ke sini. Ya udah gue ikut aja."
Rifka menghembuskan napasnya. "Bohong ... lo cari kesempatan kan, supaya bolos sekolah? Bilangin nih ke ibu."
"Dih, fitnah banget jadi orang! Bilangin nih ke ibu," balas Coki tidak mau kalah.
"Hai, lo adiknya Kak Rifka ya?"
Perdebatan antara adik dan kakak itu dihentikan oleh sapaan Sephia kepada Coki.
Coki menoleh. "Kata siapa?"
"Kayaknya aja... soalnya mirip," balas Sephia.
"Apanya yang mirip? Oonnya?" sahut Akram di sebelah Rifka.
Tetapi, Rifka dan Coki tidak memedulikannya. Hahahahahahahahaha.
"Nama lo siapa?" tanya Sephia lagi.
"Coki. Kalau lo?"
"Gue Sephia."
"Halo Sep! Salam kenal, ya," kata Coki tersenyum.
"Panggilannya Phia!" ralat Rifka memberi tahu.
"Tuh, kan. Kalian berdua emang mirip banget!" Sephia terkekeh kecil, mengingat waktu ia bertemu dengan Rifka pertama kali juga kurang lebih seperti itu.
Tidak lama setelah itu, pintu terbuka. Dari luar seorang suster datang dan menanyakan, "Apakah ada keluarganya Sephia? Mari ikuti saya ke ruangan dokter."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Teen FictionAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...