77. Cemas

470 32 5
                                        

Sudah lumayan sore. Akram dan Rifka baru selesai memakan mie ayam. Kini, keduanya sudah berada di luar kedai mie ayam itu dan kebingungan kemana rencana mereka selanjutnya.

"P-pulang aja, yuk?" ujar Rifka. Semakin ia melihat Akram tampak semangat, semakin dirinya tidak semangat. Cewek itu hanya tidak ingin membuat Akram kerepotan seperti ini hanya untuk menguntungkan dirinya. Kan masih ada hari esok.

Akram melihat ponselnya sebentar untuk memeriksa sudah jam berapa sekarang. "Nanggung. Yuk, kita cari hantu lagi!" balasnya.

"Lo emang enggak capek?"

"Enggak."

"Gue capek. Pengen pulang. Mau tidur. Yuk lanjutin besok lagi," kata Rifka beralasan.

"Udah lah, kita cari hantu lagi sekarang. Jangan dulu pulang, belum terlalu sore juga. Kalau lo pulang, malah gue yang capek," kekeh Akram, lagi-lagi dia memutuskan sesuatu secara sepihak.

Rifka mengerutkan dahi, sulit mencerna apa yang dikatakan cowok itu barusan. Maksudnya apa, sih?

Belum sempat mereka melangkah pergi ke tempat yang belum tahu tujuannya ke mana, terdengar suara ribut-ribut tidak jauh dari sana. Terdapat sebuah rumah yang tampak didatangi oleh tiga orang pria bertubuh tinggi besar berpenampilan preman. Mereka menggedor-gedor pintu rumah itu dengan kasar, seperti memaksa untuk menyuruh pemilik rumah keluar dan menghadapi mereka.

"Waduh, rentenir itu datang lagi," gumam tukang mie ayam dari belakang terdengar miris.

"Udah sering ya, Mang, nagih ke rumah itu?" tanya Akram.

"Iya. Hampir tiap minggu. Kalau telat bayar, pasti aja begitu. Mereka nagih supaya ibu-ibu pemiliki rumah itu bayar hutangnya. Katanya hutangnya gede, cicilannya jadi bertahun-tahun!"

Akram mengangguk-angguk. Sedangkan Rifka, dengan pikirannya yang selalu gampang cemas, ia sedikit panik melihat cara preman-preman itu menagih hutang. Ganas, kasar, keji dan menyeramkan! Cuma menyaksikan dari kejauhan saja mentalnya langsung ciut.

Pikiran Rifka lalu mengkhawatirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana kalau nanti setelah Akram berhasil membantunya agar tidak indigo lagi, cowok itu lalu tiba-tiba menagih hutang balas budi kepada Rifka? Walaupun dia tahu orangtua Akram lumayan kaya, bukan berarti cowok itu tidak mungkin menagih hutang kepadanya, kan? Pasti orang kaya juga butuh duit! Bukan orang kaya kalau tidak ada duit. Benar, kan?! Atau kalau bukan menagih hutang duit, bisa saja kan, kalau nanti Akram menagih sesuatu yang lain dari Rifka yang tentu akan memberatkannya?

Rifka menggigit jari-jarinya, semakin depresi memikirkan kejadian-kejadian buruk dari Akram yang bisa jadi menimpanya. Akram yang selalu diam-diam meliriknya pun menjadi heran. Dia melihat dirinya sendiri dengan kelakuan yang terkesan tolol di sampingnya.

"Lo kenapa, sih?" tanya Akram, bagaimana pun dirinya khawatir bila tingkah Rifka tampak cemas seperti ini.

Rifka menoleh kaget. Sial, dia ketahuan kalau sedang panik. "E-enggak, anu, s-sapu, cium, jengkol, berak ... A-arfian." Semua hal random di kepalanya lantas tidak sengaja ia sebutkan dengan ekspresi bodohnya.

"Hah, lo bilang apa? Arfian?" tanya Akram memastikan kata terakhir dari semua kata acak yang diucapkan Rifka barusan. Bukannya mendapat jawaban dari pertanyaannya tadi, malah membuatnya memiliki pertanyaan lain.

SIAL! Rifka semakin panik. BAGAIMANA INI?! Jangan sampai Akram tahu kalau Rifka menyukai Arfian! Dia tidak ingin ada orang yang tahu soal itu! Pokoknya tidak boleh ada satu pun!

"Woi, malah bengong. Lo masih sadar, kan?" Akram agak kesal Rifka tidak membalas pertanyaannya. Ia yakin sekali kalau tadi cewek itu menyebut nama Arfian. Tidak mungkin telinganya salah dengar.

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang