Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Senin ini tadinya Akram akan langsung pergi ke rumah sakit, seperti biasa, menjenguk Sephia yang masih terbaring koma yang sampai saat ini belum kian sadar juga.
Seorang cowok yang duduk di meja depan berbalik menghadap ke Akram yang belum selesai membereskan alat tulisnya.
"Ram gue pulang duluan," kata Arfian, dengan wajah yang tampak cerah.
"Tumben," balas Akram. "Gak ada rapat OSIS lo?"
"Ada, sih. Harusnya. Tapi gue undur aja rapatnya jadi besok. Sekarang, gue ada janji buat ngajak Furi nonton," kata Arfian. Mentang-mentang sudah menjadi wakil ketua OSIS, dia bisa mengubah jadwal rapat sesuka hati.
"Lo udah jadian sama Furi?" tanya Akram, tiba-tiba. Jangankan Arfian, Akram sendiri pun heran mengapa dirinya bertanya tiba-tiba begitu. Biasanya, dia tidak terlalu peduli dengan hal apa pun tentang orang lain termasuk Arfian, apalagi saat itu ia menanyakan tentang percintaan Arfian dengan Furi.
"Udah, tiga hari lalu. Emang lo doang yang udah punya pacar."
"Kenapa lo suka Furi?"
"Maksud lo?"
"Maksud gue, kenapa lo yakin waktu lo mau pacaran sama Furi?"
"Ya ... karena gue suka sama Furi."
Akram menghembuskan napas pelan. "Ada tanda-tandanya gak waktu lo suka sama dia?"
Arfian yang sebelumnyanya sudah akan bersiap pergi, duduk di meja hanya untuk menjawab setiap pertanyaan Akram yang tidak biasa ini.
"Pokoknya ..." Arfian mulai menjelaskan. "Gue yakin gue suka sama Furi, semenjak gue ngerasa nyaman aja ngobrol dan deket sama dia. Gue enggak ngerasa bosan bareng kemana-mana sama dia. Gue seneng cerita-cerita sama dia. Furi selalu ada di pikiran dan hati gue kapanpun dan di mana pun gue berada."
Akram yang mendengarnya hanya terdiam datar saja. Bahkan setelah Arfian menjelaskan pertanyaannya tadi, cowok dingin itu tidak menanggapi dan bereaksi apa pun. Jadi, Arfian yang sekarang saatnya giliran bertanya padanya, "Kenapa lo tanya gitu, Ram?"
"Cuma nanya aja ... Penasaran."
"Penasaran? Bukannya lo sama Rifka udah pacaran, ya? Pasti udah tau dong rasanya gimana? Masa masih penasaran?" tanya Arfian lagi, bingung.
Dan Akram juga bingung bagaimana menjawab pertanyaan itu. Akhirnya, karena dia tidak tahu harus menceritakan perasaannya ini kepada siapa, maka dia pikir, dia ceritakan saja pada Arfian. Pusing juga jika dia selalu menyimpan keresahannya sendirian. Lagipula, dari dulu Arfian terus yang bercerita kepadanya. Sekali-kali gantian.
"Gue gak bener-bener pacaran sama cewek cupu itu," kata Akram memulai.
Arfian mengerutkan dahi. Berusaha fokus untuk menjadi pendengar yang baik.
"Waktu itu gue bilang kalau gue pacaran sama dia di hadapan banyak orang, gue cuma pengen si Helly gak ngedeketin gue lagi dan gak nge-bully si cupu itu lagi. Jadi, gue sama si cupu saling bantu satu sama lain dengan pura-pura pacaran. Ya ... sebenarnya gue aja yang mau pura-pura jadi pacar dia. Dianya enggak. Tapi toh akhirnya saling menguntungkan juga."
Arfian terkekeh.
"Kenapa lo?" Akram yang melihatnya merasa tidak suka, seolah Arfian sedang menertawakan kebodohannya itu.
"Enggak," jawab Arfian di sela-sela tawanya. "Gue tau kenapa lo tanya hal tadi ke gue. Jadi ... Lo yang awalnya pura-pura pacaran sama Rifka, sekarang lo malah jadi suka Rifka beneran, gitu kan?"
Akram tersentak mendengar pernyataan dari Arfian yang ternyata bisa mengetahui apa yang mungkin sebenarnya memang ia alami. Akram merasa, bisa saja yang dikatakan Arfian itu benar: Akram menyukai Rifka. Perasaannya terhadap Rifka pun hampir sama seperti tanda-tanda perasaan suka Arfian kepada Furi. Akram sulit untuk melupakan Rifka di kepalanya yang cukup mengganggu hidupnya dari bangun tidur sampai bangun lagi. Terkadang, waktu sedang tidur pun dirinya memimpikan Rifka.
"Ram, jujur lo beneran suka sama Rifka, ya?" tanya Arfian lagi dengan nada suara yang membuat Akram kesal mendengarnya.
"Gak tau," kata Akram akhirnya, lalu meraih tasnya dan lantas pergi keluar dari kelas, meninggalkan Arfian yang masih terkekeh menyebalkan di sana.
[.]
Akram baru saja mengeluarkan motornya dari gerbang parkiran. Niatnya yang hari ini pulang sekolah langsung ke rumah sakit seperti biasa, langsung berubah ke arah jalan yang menuju rumah Rifka.
Beberapa detik melaju, ia dengan mudahnya mendapati Rifka yang tengah berjalan pulang sendirian.
"Woi!" panggil Akram dari belakang.
Tanpa menoleh, Rifka sudah tahu bahwa itu adalah suara Akram. Makanya ia langsung melangkahkan kakinya lebih cepat dan pura-pura tidak mendengarnya.
"Woi, budek lo, ya?!" panggil Akram lagi setelah berhasil menjalankan motornya di samping Rifka sambil menyesuaikan kecepatannya agar mereka bisa sejajar.
"A-da apa lagi, sih, Ram? Bukannya lo ke rumah sakit aja sana jagain adik lo! J-jangan ngintilin gue terus!!" kata Rifka memelas. Jujur saja, dia sudah capek untuk berhadapan lagi dengan cowok di sampingnya yang sikapnya tidak jelas dan sering berubah-ubah kepadanya.
"Lo pulang bareng gue."
"Gak mau."
"Cepet naik, daripada jalan sendirian! Kita, kan, pacaran."
"Enggak. Pacaran itu... kemauan dari dua pihak! Bukan cuma sepihak. Gue gak pernah bilang kalau gue pacar lo. J-jadi ... gak usah memperlakukan gue seolah-olah lo pacar gue!!" tegas Rifka. Setelah itu, ia langsung berlari sekencang yang ia bisa agar yang penting bisa menjauh dari cowok dingin itu.
Akram menghela napas. Kalau memang Rifka tidak mau dibonceng, itu tidak masalah. Ia akan mengikuti dari belakang sampai cewek itu pulang. Akram ingin memastikan bahwa Rifka benar-benar sudah berada di rumahnya dengan selamat.
Setelah itu Akram mengerutkan dahi, bingung mengapa Rifka tiba-tiba berhenti berlari.
"Kenapa berhenti? Capek, ya? Atau berubah pikiran?" tanya Akram, dengan harapan Rifka ingin diantarkan pulang olehnya.
"A-da anak kecil nangis," jawab Rifka. "Rantai sepedanya putus." Ia kemudian berbalik lalu menghadap ke arah Akram. "K-kalau lo mau ... ngeboncengin gue, Lo harus bantu dulu anak kecil perempuan itu ngebenerin sepedanya," kata Rifka meski tampak ragu.
Sedangkan Akram mengerutkan kening. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Di tempat yang sepi seperti ini, jelas-jelas tidak ada satupun orang yang biasa lewat. Akram kemudian teringat. Waktu pertama kali masuk ke tubuh Rifka, ia pernah juga melihat anak kecil misterius di sekitaran tempat itu dengan seorang kakek-kakek. Jangan-jangan anak kecil yang dimaksud Rifka ini adalah anak kecil yang waktu itu Akram lihat juga. Makhluk yang hanya bisa dilihat oleh orang indigo seperti Rifka.
Sekonyong-konyong, Rifka pun lantas mendekat ke motor Akram lalu menaiki jok belakangnya. Dia luar biasa ketakutan, sepertinya baru sadar bahwa anak kecil yang ia lihat itu adalah makhluk tak kasat mata.
"A-ayo cepet JALAN, AKRAM!!"[]
17 Maret 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Novela JuvenilAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...