43. Tempat Cerita

1K 92 3
                                        

Rifka panik begitu melihat cairan berwarna merah mengalir dari lubang hidung Sephia.

"Sephia, hidung lo keluar darah!" seru Rifka. "Lo ... mimisan? Lo sakit apa?"

Sephia lantas memegang filtrumnya dengan telunjuk tangan kanan. Ia lalu mendongak karena darah tersebut sampai hampir menetes ke bajunya dan kemudian bernapas menggunakan mulut.

"lo e-enggak apa-apa?" tanya Rifka. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Cewek itu sangat panik.

"Kak Rifka, gue boleh minta tolong?" kata Sephia.

"A-apa?"

"Tolong ambilin kain sama es batu di dapur, Kak."

Rifka menurut. Ia cepat-cepat bangkit untuk pergi menuju dapur. Baru saja sampai di ambang pintu kamar, Sephia memanggil lagi, membuat langkahnya terhenti.

"Kak."

Rifka menoleh.

"Jangan bilang ke Mbok Yen kalau gue mimisan, ya," pinta Sephia.

Rifka mengangguk sebelum akhirnya kembali pergi ke dapur. Ia sangat khawatir dengan Sephia. Rifka sudah menganggap Sephia sebagai adiknya sendiri. Walaupun Sephia bukan adik kandungnya. Kalau boleh tukaran saja sama Coki.

"Mas Akram kenapa? Kok kayak buru-buru gitu," tanya Mbok Yen yang sedang mencuci piring ketika mendapati Rifka berlari menuju dapur. Wajahnya kebingungan melihat tingkah anak sulung majikannya yang tampak panik.

"Mbok, permisi, ada lap bersih enggak?" tanya Rifka kemudian.

"Ada." Mbok Yen membuka sebuah lemari dan mengambil selembar lap yang seperti masih baru dan belum terpakai sama sekali. Wanita tua itu kemudian memberikan lap tersebut kepada Rifka yang baru mengambil es batu di kulkas.

"Es batu sama lapnya mau buat apa, Mas?" tanya Mbok Yen.

Rifka bingung mau menjawab apa. "Mau bikin ... es krim, Mbok!" balasnya asal. Ia ingat ketika di sekolah ada praktek membuat eskrim menggunakan es batu.

Mbok Yen hanya mengangguk-angguk saja. Sambil agak merasa aneh karena Akram yang di depannya kini terasa lebih sopan dari biasanya.

"Saya izin ke kamar lagi ya, Mbok. Permisi."

Rifka segera kembali ke kamar Akram karena takut Sephia menunggu lama di sana. Setelah sampai, ia membantu Sephia untuk mengompresnya.

"Lo ... sakit apa?" tanya Rifka setelah beberapa saat.

"Gue enggak sakit kok. Cuma kecapekan aja ... kali."

"Serius? Kok Mbok Yen enggak boleh tahu?" Rifka pikir Sephia menyembunyikan sesuatu.

"Beneran, gue enggak apa-apa, Kak. Mbok gak perlu tahu, entar malah ikut-ikut panik."

Walaupun begitu, Rifka tak percaya. Dari sorot mata Sephia, ia merasa ada yang ditutup-tutupi oleh anak perempuan itu. Rifka yakin bahwa Sephia sedang berbohong.

"Sep, eh--maksud gue Phia," ralat Rifka karena saking khawatirnya. "G-gue kan udah cerita tentang gue dan Akram yang tuker jiwa. Sekarang, boleh kan kalau gue juga mau tahu tentang kondisi lo yang sebenarnya? Lo ... sakit apa?"

Sephia diam saja, tampak berpikir sebentar. Ia masih menunduk dalam. Setelah beberapa detik, dirinya menoleh ke arah Rifka.

"Asal lo ... jangan bilang ke Bang Akram ya, Kak Rifka," ujar Sephia yang diberi anggukan oleh Rifka.

"Sebenarnya pertama kali gue mimisan itu udah sebulan yang lalu, dan selama sebulan itu gue sembunyiin ini semua," kata Sephia mulai bercerita. "Awalnya gue kira, mimisan ini cuma karena kecapekan aja, makanya gue enggak terlalu peduliin. Tapi seminggu belakangan ini mimisannya malah jadi sering, bahkan hampir tiap hari. Waktu gue jatuh itu dari sepeda juga karena gue tiba-tiba pusing dan mimisan."

Rifka hanya diam dan fokus untuk mendengarkan.

"Gue gak mau bilang ini ke siapa-siapa karena enggak mau ada yang tahu aja," lanjut Sephia. "Cuma lo yang tahu, Kak."

"Kenapa lo enggak mau ada yang tahu?" tanya Rifka. "Keluarga lo harus tahu, Phia. Apalagi orangtua lo. Entar kalau ternyata ada sesuatu yang serius gimana?"

"Gue enggak mau dikasihanin. Gue gak mau ... kalau Papa sama Mama peduli ke gue cuma karena gue lagi enggak kenapa-kenapa kayak gini. Gue juga tadinya mau cerita ke Mbok Yen, tapi beberapa hari lalu, anak Mbok Yen juga sakit. Gue enggak mau nambahin beban pikiran Mbok. Kalau Bang Akram ... gak tau deh. Dia terlalu cuek dan orangnya bukan tempat buat cerita banget. Bang Akram bukan pendengar yang baik. Gue juga ... takut diperiksa. Gue belum sanggup menerima kenyataan tentang apa yang sebenernya gue alami. Gue belum siap aja. Jadi, yah, gue pikir lebih baik gak ada yang boleh tahu dulu selain lo."

Sephia memegang lengan Rifka. "Tolong ya, Kak. Tolong jangan dulu kasih tahu Bang Akram."

Rifka menggeleng. "Akram harus tahu. Lo harus periksa, Phia. Jangan sampai--"

"Kak, beneran gak apa-apa," potong Sephia bernada meyakinkan. "Gue udah ngerasa mendingan pas udah cerita ke lo. Gue ngerasa nyaman dan lebih baik." Sephia senang bisa bertemu Rifka yang memiliki sifat berbeda jauh dengan abangnya. Bagi Sephia, Akram terlalu pendiam dan susah untuk diajak bercerita. "Please, jangan bilang Bang Akram dulu ya, Kak?"

Rifka menghela napas sebelum mengangguk pelan. Tetapi, dia tidak benar-benar menyetujui permintaan Sephia itu. Rifka pikir bagaimana pun Akram harus tahu bahwa adiknya sering mimisan. Dia akan memberitahunya besok di sekolah.[]















Halo.

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang