Rifka baru masuk ke kelas. Ia hampir lupa untuk duduk di bangku Akram, untung saja dari depannya Akram tampak menuju bangku Rifka di pojok belakang kelas.
Baru akan menuju tempat duduk Akram, seseorang menyapa.
"Ram! Gimana? Tangan lo udah sembuh?"
Itu Arfian.
Lagi dan lagi, Rifka terdiam sesaat begitu melihat wajah Arfian dari dekat. Alis tebal, hidung bangir, bibir yang melengkung membuatnya tampak manis. Cowok tampan impian Rifka. Apalagi kini Arfian menanyakan kabar Rifka.
"Ram?" panggil Arfian lagi, karena Akram yang dilihatnya hanya berdiam diri saja begitu ditanya.
Rifka masih gugup. "U-udah mendingan," katanya sedikit malu-malu.
"Berarti lo bawa motor dong sekarang?"
"Eh, enggak. Gue gak bawa motor, tadi naik ojek. Soalnya ... tangan gue belum bener-bener sembuh."
"Oh, gitu," kata Arfian. Ia kemudian memegang lengan Rifka.
Arfian melihat-lihat lengan itu, ia sedikit heran karena seperti tidak ada yang lebam atau tanda-tanda bekas luka apa pun di sana. Tetapi ia cuek saja, lagipula tadi Akram yang dilihatnya itu bilang lengannya sudah agak mendingan.
Rifka sampai menahan napas. Bagaimana tidak? Arfian memegang lengannya! Yah, maksudnya, memegang tangan Akram. Walaupun begitu, tetap saja kan, yang merasa tangannya dipegang adalah Rifka. Kini, jantung cewek cupu itu bergetar hebat. Perutnya sedikit mulas, tetapi hatinya berbunga sekali!
Tiba-tiba, Helly dan dua temannya, Furi dan Tasya datang dari balik pintu, menghampiri Rifka.
"Hell, Ri, gue ke bangku dulu ya, mau ngerjain PR," kata Tasya kepada dua temannya itu sebelum ia melangkah menuju tempat duduknya.
Helly dan Furi mengangguk.
"Hai, Ram!" sapa Helly kepada Rifka. Ia menyodorkan sebuah kotak bekal. "Gue punya nasi goreng. Buat lo, khusus. Gue sendiri yang bikin."
Rifka sebenarnya sedikit takut dekat-dekat dengan Helly seperti itu, meskipun sekarang Helly melihatnya sebagai Akram. Helly bersikap baik kepadanya hanya karena Rifka berada di tubuh Akram.
"Makasih," kata Rifka, dia menerimanya. Kebetulan, cewek masih lapar. Tadi di rumah Akram, ia hanya memakan roti campur selai saja. Biasanya dia sarapan nasi, entah membeli nasi uduk atau dengan nasi goreng buatan Bu Hara. Jadi dia belum benar-benar kenyang sekarang.
Rifka kemudian menoleh kembali ke arah Arfian. Kali ini, cowok itu tengah mengobrol berdua dengan Furi. Arfian terlihat sangat senang sekali mengobrol dengan Furi, si cewek berambut ikal itu. Cowok itu tidak berhenti senyum dan menggaruk tengkuknya, seolah sedang salah tingkah mengobrol dengan Furi.
Rifka menghela napas. Baru saja ia tadi senang sekali lengannya dipegang, kini hatinya berubah pedih karena cemburu melihat Arfian dan Furi tampak mengobrol seru.
"Ram?" panggil Helly lagi, menyadarkan lamunan Rifka.
Rifka kembali menatap Helly. "Eh?"
"Lo kenapa? Kok bengong?" tanya Helly.
"Em ... Anu ..." Rifka bingung mau jawab apa. Dari tadi dia tidak tahu bahwa Helly masih berbicara dengannya. Kepalanya sibuk memikirkan Arfian dan Furi di sampingnya.
Helly tampak akan berbicara lagi, sebelum tiba-tiba Bu Tinah, guru Matematika, akhirnya datang ke kelas.
Semua murid lantas duduk ke tempatnya masing-masing.
"Haloh semuah!" sapa Bu Tinah. Sebenarnya, nama aslinya adalah Bu Tina, tanpa huruf h. Tetapi entahlah, karena ibu itu bicaranya seperti mendesah, jadi beliau selalu dipanggil Bu Tinah oleh seluruh siswanya.
Bu Tinah kemudian terlihat menuliskan sesuatu di papan tulis, sementara semua siswa di kelas mempersiapkan alat tulis mereka masing-masing.
Saat itu, Rifka berharap pulpen Arfian jatuh lagi seperti kemarin, agar ia bisa kembali berbicara dengannya dan saling menatap. Tetapi, sepertinya Arfian sudah belajar dari kejadian tentang bagaimana cara mempertahankan pulpennya agar tidak jatuh. Rifka agak kecewa.
Setelah Bu Tinah tampak selesai dengan kegiatannya di depan papan tulis, ia kemudian menyeru, "Sebelum mulaih pembelajaran, silakan kerjakan tigah soal dih depan. Masing-masing orang mengerjakan satuh, jadih tigah orang tercepat silakan keh depan. Nantih akan sayah kasih nilaih."
Furi tampak mengangkat tangan. "Saya mau mengerjakan soal nomor satu, Bu!" katanya.
Furi memang cewek paling rajin dan pintar di kelas, tak heran jika dirinya selalu menjadi yang pertama setiap guru menyuruh siswanya menjawab soal di depan.
Bu Tinah pun mempersilakan Furi dengan menyodorkan spidolnya.
"Saya mau nomor dua, Bu." Arfian tidak mau kalah.
Jika perempuan yang paling pintar di kelas adalah Furi, maka cowok yang paling pintar di kelas itu adalah Arfian.
Rifka merasakan dadanya kembali sesak melihat Furi dan Arfian mengerjakan soal berdua di depan. Rifka tidak mau mengakui bahwa keduanya memang terlihat cocok. Ia melihat keduanya tampak mengobrol bisik-bisik, sesekali bercanda dan tertawa sambil mengerjakan soalnya masing-masing.
Dulu ketika Rifka masih berada di tubuh aslinya, ia tidak pernah merasakan hatinya secemburu itu. Entah kenapa, sejak pertama kali dekat dengan Arfian di tubuh Akram, rasa cemburu itu menjadi begitu membara. Rifka pun tidak mengerti mengapa bisa seperti itu.
"Ayoh, siapah yang mauh isih nomor tigah?" tanya Bu Tinah lagi kepada semua murid.
Tetapi, tak ada jawaban di kelas. Memang, soal yang nomor tiga itu tampaknya adalah soal yang paling rumit.
Bu Tinah kini menoleh kepada Rifka.
"Akram, ayoh keh depan! Biasanyah kan kamuh sering keh depan," ujar Bu Tinah, karena tidak ada yang mau menjawab.
Rifka membulatkan matanya, ia menelan ludah. Kalau bisa, Rifka juga sebenarnya ingin ke depan agar mengganggu kegiatan Arfian dan Furi yang mengobrol berdua di hadapan papan tulis itu. Masalahnya, Rifka sama sekali tidak bisa menjawab soal itu. Jangankan menjawab, mengerti soalnya saja dirinya tidak bisa. Memang otaknya lemot sekali.
Rifka kemudian bilang, "Maaf, Bu. Saya ..."
"Saya bisa, Bu!" Tiba-tiba saja, seseorang dari ujung kelas bersuara.
Semuanyapun menoleh kepada si pemilik suara itu. Mereka lantas heran begitu melihat sicewek cupulah yang mengusulkan dirinya untuk menjawab soal Matematika nomortiga tersebut.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Ficção AdolescenteAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...