67. Pilihan

707 54 3
                                    

Rifka yang masih dengan ekspresi cengo, menatap juluran tangan Akram yang berdiri tegap di hadapannya. Rifka yang saat itu sedang pusing dan mual akibat menaiki mobil setelah sekian lama, tidak mampu berpikir jernih untuk memilih tindakan apa yang pantas dia lakukan sekarang kepada Akram. Makanya ia masih konsisten dalam berkutat duduk, bersimpuh di atas tanah berumput kering dengan pandangan bingung-bloon. Sepertinya cewek cupu itu agak shook juga dengan apa yang dikatakan Akram sebelumnya: "... Ayo bangun! Biar gue gendong."

Sedangkan Akram yang memang orangnya tidak sabaran, berdecak. Tak mampu menahan diri melihat tingkah lemot Rifka. Cowok itu kemudian memposisikan badannya agak membungkuk, lalu sejurus kemudian, ia lantas mengangkat tubuh Rifka.

Bisa dilihat dari kelakuan Rifka yang tak nyaman, cewek itu amat tidak siap untuk digendong Akram. Tetapi entah bagaimana keadaannya, ia seperti tidak bisa menolak. Rifka sudah cukup kaget untuk menolak gendongan Akram itu.

Setelah berhasil mengangkat Rifka dan memastikan keduanya dalam posisi yang nyaman, Akram berbalik. Lalu berjalan menuju rumah kumuh itu. Dengan posisi Rifka yang begitu, cewek itu dapat dengan leluasa melihat wajah cuek Akram dari bawah, dengan jarak yang sedekat itu, hanya terpaut sekitar tiga puluh centimeter. Otak Rifka tetap tidak mampu berpikir apa yang dia rasakan. Semuanya serba tiba-tiba dan sangat membingungkan baginya. Dia hanya bisa melongo jelek, sampai tiba-tiba ...

GEDEBUK!

"AW!" Rifka merasakan pantat dan punggungnya sakit.

Tiba-tiba saja Akram menjatuhkan tubuh Rifka setelah sampai di teras rumah kumuh itu.

Dari belakang, Coki tertawa terbahak-bahak melihat kakaknya dijatuhkan seperti itu.

Rifka mendongak menatap muka Akram yang datar seperti tidak bersalah. "Sakit tau! Emang gak bisa gitu, turuninnya pelan-pelan aja?!"

"Udah bisa berdiri sendiri, kan? Atau perlu gue angkat lagi supaya lo bisa duduk? Udah cupu, jangan manja!" kata Akram, lalu menyelonong pergi begitu saja ke arah lain.

Rifka bingung dan tidak habis pikir. Ia menatap Akram kesal. Kalau tidak ikhlas membantu, lebih baik tidak usah membantu saja, kan? Malah marah-marah tidak jelas.

Akram pergi ke samping rumah itu, melihat-lihat keadaan sekitar yang dipenuhi tanaman liar dan pepohonan tua. Sebenarnya, Akram pergi ke arah sana demi mengalihkan pikirannya yang sebelumnya berkecamuk selama mengangkat Rifka tadi. Ia antara sadar dan tidak sadar atas apa tadi yang baru saja dia lakukan. Dan .... ia juga heran mengapa dia bisa berada di sini? Mengapa dia bisa ikut dengan mereka ke sini? Dan juga ... mengapa akhir-akhir ini pikirannya selalu terbayang-bayang tentang Rifka?

Akram bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya dia kenapa?

[.]

Rifka, Akram, Bu Hara, Pak Baron beserta Coki dipersilakan masuk oleh seorang nenek-nenek kurus tua. Nenek itu lalu mempersilakan mereka untuk duduk di atas karpet plastik dengan ukuran seadanya. Sama sekali tidak ada bangku atau tempat duduk lain di sana.

"Tunggu dulu, Aki-nya masih di toilet," kata nenek itu, dengan suara yang pelan, kecil dan kadang hilang-hilang.

"Iya, Ni," balas Pak Baron dengan tampang tak keberatan.

"Nini namanya siapa?" tanya Coki yang anaknya kalau penasaran sedikit, dia tidak bisa untuk tidak menanyakan rasa penasarannya itu.

"Panggil aja Nini Iteung," jawab nenek itu.

"NINI!! UDAH!!" panggil suara lelaki tua dari belakang yang membuat Nini Iteung itu segera berdiri dan pergi menuju panggilan itu.

"Nama kok, Iteung. Jelek banget namanya," gumam Coki yang setelahnya kena jewer Bu Hara. Di sebelahnya, Rifka yang melihatnya puas tertawa.

"Coki, bisa diem gak?" ancam Bu Hara. "Kita lagi di rumah orang, omongannya dijaga!"

Coki memonyongkan bibirnya. "Iya, maaf."

Tidak perlu menunggu lama, Nini Iteung pun kembali, bersama seorang lelaki tua berbadan bungkuk yang mengikuti di belakangnya. Aki-aki itu memegang pinggang Nini Iteung, membuat mereka jadi seperti Barongsai.

"Maaf tadi Nini tinggal sebentar," ucap Nini Iteung sambil mempersilakan suaminya itu agar duduk berhadapan dengan mereka. "Aki soalnya gak bisa cebok sendiri."

Tak ada yang menyuruh, Coki dengan sendirinya menanggapi, "Gak apa-apa kok. Aku juga belum bisa cebok sendiri. Semua tai kan emang bau. Aku--"

Belum sempat berceloteh lebih banyak, mulutnya sudah disumpal oleh tangan Akram. Memang, bocah itu seharusnya tidak perlu dibawa kesini saja.

Ya. Beliaulah yang Pak Baron sebut orang pintar itu. Namanya Aki Darso, lelaki tua buta dengan garis-garis tajam di wajahnya yang penuh dengan kerutan.

"Ada apa kalian datang ke sini?" kalimat pertama itu muncul dari mulut Aki Darso. Meski kelihatan sudah tua, suaranya masih bisa terdengar amat jelas, bahkan agak menggema.

"Permisi, Ki, saya Baron yang dulu pernah ke sini nganterin temen saya," balas Pak Baron. "Maaf mengganggu waktunya. Ini ada yang ingin menghilangkan indigo lagi, Ki."

"Gadis berkacama itu, kan?" tebak Ki Darso. Lihat kan? Betapa saktinya beliau, padahal dia buta, namun tebakannya tepat sekali bahkan---

"K-kok Aki tau kalau aku yang indigo?" tanya Rifka bernada ngeri. Belum apa-apa, dia sudah ingin pulang saja.

"Tadi udah Nini kasih tau pas sambil nyebokin," kata Nini Iteung.

Oke. Walaupun sudah diberi tahu sebelumnya, sebenarnya Aki Darso sudah tahu jikalau sebelumnya Nini Iteung tidak memberi tahu. Pokoknya percayalah, Aki Darso ini beneran orang sakti!

"Apakah gadis itu anak kamu, Baron?" Ki Darso bertanya.

"Bukan, Ki. Ini anak teman saya, Hara. Nama gadis itu Rifka Helena," jelas Pak Baron.

Untung sekarang Akram masih menyumpal mulut Coki. Kalau tidak, pasti bocil itu akan menyanggah dengan segala celotehannya yang tidak bisa dijaga yang diluar nalar.

"Kenapa kamu mau menghilangkan indigo kamu?" tanya Ki Darso kepada Rifka.

Rifka masih gugup. Entah kenapa aura Ki Darso sangat mengerikan baginya. Rasa menyeramkannya sama seperti ketika ia melihat hantu. "S-saya..."

"Dia anaknya penakut, Ki," kata Bu Hara, membantu. "Saya juga enggak tega ngelihat anak saya ketakutan tiap ngelihat hantu. Kasian, Ki."

Aki Darso manggut-manggut. Beberapa saat kemudian setelah mulutnya seperti melafalkan beberapa mantra, ia bilang, "Sebenarnya, hantu-hantu yang dilihat Rifka tidak berbahaya. Mereka tidak akan mencelakakan. Mereka hanya menampakkan diri saja, kadang ada juga yang sebenarnya ingin meminta bantuan. Tetapi kalau memang Rifka penakut dan ingin menghilangkan indigonya, Rifka hanya perlu melakukan suatu hal."

"N-ngelakuin apa, Ki?" Rifka semakin deg-degan mendengarnya.

"Ada tiga pilihan," kata Ki Darso, mulai menjelaskan "Pilihan pertama, kamu harus sarapan dedaunan dan rumput sepiring selama seminggu. Pilihan kedua, jalan kaki selama seharian tanpa istirahat. Pilihan ketiga, mandi semen jam dua belas malam selama lima menit. Silakan pilih salah satu."

"E-enggak ada pilihan lain, gitu, Ki?" tanya Pak Baron, dia juga tidak tahu kalau ternyata syarat menghilangkan indigo seribet ini.

Aki Darso menghela napas. "Ada," jawabnya. "Tapi saya tidak yakin Rifka yang penakut bisa melakukan hal ini."

Dalam hati Rifka, memangnya Aki Darso yakin bahwa Rifka bisa melakukan salah satu hal dari tiga pilihan di atas?

"Memangnya, apa pilihan lain itu?"

"Bantu hantu-hantu yang ingin di tolong untuk menyelesaikan hidupnya di dunianya yang belum selesai. Tapi kan Rifka-nya sendiri katanya takut liat hantu," kata Aku Darso.

"Ya udah, bantuin hantu-hantu aja, Ki. Walaupun Rifka takut, tapi saya janji akan ngebantuin. Kasian, masa disuruh mandi semen, jalan kaki seharian tanpa istirahat, bahkan sarapan rumput? Emangnya dia kambing?" Tiba-tiba Akram menyambar begitu saja. Semua orang di sana menoleh kepadanya sambil melohok. Entah mengapa, dari semua orang di sana, Akram kelihatan lebih khawatir dibandingkan dengan Rifka-nya sendiri.[]












Sorry, lama... Hehe

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang