53. Cerita

820 68 4
                                        

"Jadi, kamu ini kakaknya Sephia?"

Kini, Akram sudah berada di ruangan dokter yang menangani Sephia. Dan kelihatannya, dokter itu tidak percaya bahwa cewek berkacamata yang ada di depannya adalah kakak dari pasien barunya itu.

Akram mengangguk. "Iya, Dok."

"Masa?" tanyanya tidak yakin. "Kok mukanya enggak mirip?"

Akram tidak habis pikir dengan dokter itu. Bisa-bisanya seorang dokter bertanya seperti itu. Maksudnya ... apakah tidak ada pertanyaan lain untuk memulai pembicaraan mereka ini?

"Adik saya sakit apa?" tanya Akram, menghiraukan pertanyaan si dokter sebelumnya yang tidak penting.

Tetapi, dokter itu kembali bertanya, "Hm ... Orangtua kalian mana?"

"Gak ada. Sibuk," jawab Akram dengan malas. Bahkan mungkin mereka berdua masih tidak mengetahui kondisi Sephia sampai sekarang.

"Tapi saya harus bicara kepada orangtua kalian tentang ini. Bisa kamu suruh mereka segera ke sini? Atau telepon saja sekarang."

"Ga usah!" kata Akram. "Langsung bilang saja ke saya Sephia kenapa. Nanti akan saya kasih tahu mereka."

"Baiklah." Dokter itu menghela napas sebelum akan menjelaskan, "Jadi ... Sephia itu...."

[.]

Saat ini Akram tengah duduk termenung di rooftop rumah sakit. Melamun memandang langit. Selain ingin mendapatkan ketenangan, dia juga ingin menjauh dari lingkungan rumah sakit yang menurutnya memuakan. Mungkin dari tadi Akram sudah melihat banyak hantu berkeliaran di sana.

Lamunan Akram kemudian terganggu oleh panggilan seseorang dari belakang.

"Akram."

Itu Rifka. Akram menoleh kepada Rifka lalu memalingkan kepalanya lagi ke arah lain.

"Akram!" panggil Rifka lagi.

Akram tidak menjawab lagi.

"Dicariin ke mana-mana ... t-ternyata lo ada di sini. Sephia nyariin!" kata Rifka.

Akram masih tidak menjawab. Maka dari itu, Rifka pun menghampirinya.

"Akr--"

"Ngapain sih lo ke sini?" tanya Akram akhirnya bersuara. Nada bicaranya seolah ia sedang merasa terganggu.

"L-lo sendiri ... ngapain di sini? Dicariin Sephia. Ada perlu katanya."

"Bilang aja nanti gue ke sana."

Bukannya pergi, Rifka malah duduk di samping Akram. Yang membuat Akram merasa tidak nyaman dan menggeser duduknya sedikit untuk menjauh.

"Gue gak mau ngusir lo. Tapi gue pengen sendiri dulu sekarang. Jadi lo mending pergi!" kata Akram menegaskan.

Rifka mengerti bahwa saat itu Akram sedang tidak ingin dirinya ada di sana. Tetapi, Rifka merasa ada yang sedang Akram pikirkan di sana sendirian. Yah, siapa tahu dia bisa membantu. Apalagi Akram baru saja dipanggil dokter yang menangani Sephia. Rifka juga penasaran sebenarnya Sephia sakit apa.

Rifka menoleh dan bertanya, "Akram ... L-lo lagi galau, ya?"

Akram berdecak kesal. Baik Coki maupun Rifka, mereka berdua memang kepala batu dan susah untuk Akram tegaskan. "Gue bilang gue pengen sendir---"

"Cerita aja!" potong Rifka dengan semangat. "G-gue ... siap kok buat dengerin keluh kesah lo. Cerita aja sama gue!"

Akram menoleh sebentar kepada Rifka. "Buat apa? Gue gak butuh tempat cerita!"

"Ya ... cerita aja supaya lo lega .... Daripada lo...ternyata lagi stres dan mau bunuh diri terus loncat dari atas sini... mending cerita aja ke gue, mumpung gue lagi mau, nih. Walaupun mungkin hidup lo hancur, matinya jangan tragis gitu dong!" kata Rifka. Padahal waktu dulu juga dia hampir ingin bunuh diri dari atas jembatan karena di-bully Hely. Untung tidak jadi karena dia takut melakukannya. "Sephia pernah bilang, lo gak pernah kan, cerita sama siapa-siapa selain sama ... Nenek lo yang, maaf, udah gak ada itu?" lanjutnya.

Akram lagi-lagi tidak menanggapinya. Memang benar, dia tidak pernah bercerita ketika neneknya meninggal waktu itu. Tetapi Akram kesal Rifka malah mengetahui hal itu.

Tak mendapatkan tanggapan, Rifka kemudian berdiri dari duduknya. "K-kalau lo gak mau cerita, ya udah, gue pergi aja. S-semoga ... lo masih hidup, ya."

Namun baru beberapa langkah Rifka berjalan pergi, Akram kemudian memanggil.

"Cupu, tunggu!"

Rifka memberhentikan langkahnya dan menoleh.

"Gue mau ngomong," kata Akram.

Rifka tersenyum samar, lalu ia pun menghampiri. Katanya gak butuh tempat cerita, ucapnya dalam hati.

"Duduk," suruh Akram. Rifka menurut.

"A-apa?" Entah mengapa, cewek itu malah deg-degan sekarang. Padahal sebelumnya tidak sekencang itu jantungnya berdebar. Aneh.

"Lo mau ngomong apa? Dokter tadi ngomong sesuatu, ya? Sephia ... gak apa-apa, kan? Lo--"

Ucapan Rifka terpotong oleh Akram yang bilang, "Gue mau masuk ke tubuh gue."

Rifka terdiam mendengar itu. Dia bahkan baru sadar bahwa mereka sedang bertukar tubuh sekarang. Mungkin karena cewek itu terlalu nyaman berada di tubuh Akram, sehingga Rifka dari tadi tidak menyadari bahwa dia saat ini tengah berada di tubuh Akram. Rifka lalu berpikir, kalau misalkan Akram benaran akan bunuh diri ketika berada di tubuh Rifka itu, berarti yang mati siapa? Apakah Rifka juga ikutan mati? Rifka menelan ludahnya, ngeri sekali membayangkan itu semua.

"Gue muak ada di tubuh lo yang lemah, buang-buang waktu," jelas Akram. "Tahu gini, gak bakal gue dulu mau tuker tubuh sama lo lagi cuma karena waktu itu gue ngerasa bersalah. Gue nyesel sekarang. Apalagi ketika tahu setan bonyok itu adalah bapak lo."

Akram lalu mengubah posisi duduknya agar bisa berhadap-hadapan dengan Rifka yang masih terdiam bisu. Rasanya, perkataan cowok itu sangat menusuk hati Rifka.

"Gak perlu lo dengerin keluh kesah gue, gue yakin itu gak akan bisa ngebantu. Selama ini, lo bisanya cuma ngerepotin gue," kata Akram. "Sesuai janji dulu, setelah ini kita gak akan pernah berhadap-hadapan satu sama lain. Seolah kita gak pernah saling pernah kenal, karena kita bukan siapa-siapa dan emang selamanya lo bukan siapa-siapanya gue juga," Setelah beberapa saat bilang begitu, tanpa membutuhkan waktu lama, Akram kemudian berkata lagi, "Ayo. Biar cepet. Siapa yang mau ngelakuin?"[]













Semoga bisa sering up ya, vote makanya! Haha.

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang