Oleh karena bertemu dengan teman lama, Bu Hara dan Pak Baron meminggirkan kendaraannya. Mereka menuju ke sebuah warung, mengobrol sebentar di sana. Pak Baron memesan es teh tiga untuk Bu Hara, Akram dan dirinya sendiri.
Akram menatap ke arah ayah Bobi itu. Yang dia tahu, Pak Baron tidak pernah seramah itu. Biasanya Pak Baron jarang tersenyum, terkesan galak. Entah mengapa begitu bertemu ibunya Rifka, Pak Baron kelihatan sering tersenyum, begitu antusias mengajak mengobrol.
"Jadi kamu tinggal di sekitar sini, Ra?" tanya Pak Baron kepada Bu Hara, memulai pembicaraan. Ia lantas menyeruput es tehnya yang baru saja diantarkan.
Bu Hara mengangguk. "Iya, deket kok, jalan kaki juga nyampe," katanya.
"Saya padahal setiap hari sering lewat sini kalau pergi ke kantor, tapi baru kali ini saya ketemu kamu."
"Saya emang jarang bepergian, Ron."
"Emang sekarang kamu mau pergi ke mana?"
"Pasar. Mau belanja bahan-bahan makanan."
"Wah, kalau begitu ayo ke pasar bareng sama saya, Ra. Sekalian saya juga mau beli bahan makanan."
Bu Hara menatap pakaian Pak Baron yang sangat rapi. "Beneran? Kamu pakai baju rapi gini mau ke pasar?" tanyanya ragu.
"Emang kenapa?" Pak Baron terkekeh sedikit. "Kapan lagi kan kita bisa ketemu dan ngobrol lagi kayak gini? Lagian saya udah pulang kerja juga...."
Bu Hara ikut terkekeh pelan.
"Sama saya aja bareng ke pasarnya, masih lumayan jauh, kan? Capek kalau pakai sepeda. Hitung-hitung sebagai kata maaf juga karena tadi saya hampir nabrak kamu."
"Terus sepedanya gimana?" tanya Akram tiba-tiba kepada Pak Baron. Dia kurang suka karena bapak-bapak itu adalah ayahnya Bobi.
"Sepedanya titipin aja dulu ke warung," balas Pak Baron.
Akram hanya menurut saja. Toh sepertinya Bu Hara juga terlihat capek jika harus menggoes sepeda lagi.
Setelah es mereka habis, Akram, Bu Hara dan Pak Baron menaiki mobil. Akram duduk di tengah, sedangkan Bu Hara di depan bersama Pak Baron.
Sebelum menaiki mobil itu, Akram melihat seorang wanita menatap ke arah mereka bertiga dari samping pintu mobil sopir. Wajahnya sangat pucat, tetapi bibirnya melengkung tersenyum.
Akram tahu wanita itu adalah hantu karena selain wajahnya yang pucat, ia juga sangat mengenalnya. Hantu itu adalah Bu Saras, ibunya Bobi, istri Pak Baron.
[.]
Ketika mereka akhirnya sampai di pasar, Bu Hara berjalan menuju salah satu penjual di sana.
"Mau buat apa beli kerupuk banyak-banyak?" tanya Pak Baron dari belakang.
"Saya mau coba jualan seblak, Ron," kata Bu Hara.
Pak Baron mengangguk-angguk. "Semoga seblaknya nanti laku, ya. Sekarang kan emang lagi zamannya orang-orang suka seblak."
Bu Hara tersenyum. "Kalau kamu? Mau beli apa ke pasar?" tanyanya kemudian.
"Saya mau beli ... ayam, wortel, bayam...," kata Pak Baron.
"Istri kamu emang enggak beli sayuran?"
Pak Baron menghela napasnya. "Istri saya udah meninggal tiga tahun lalu," katanya. "Makanya saya belanja sendiri. Biasanya sih sama ART saya, tapi tahu kamu mau ke pasar, jadi sekalian aja buat stok kalau bahan makanan di rumah habis."
Bu Hara membulatkan bibirnya membentuk huruf o. "Maaf ya, Ron, saya gak tahu istrimu udah meninggal."
"Gak apa-apa. Kalau suami kamu?" tanya Pak Baron kemudian sambil memasukkan belanjaannya ke kantung keresek.
"Suami saya udah meninggal lima tahun lalu," balas Bu Hara.
"Wah pas banget!"
"Apanya yang pas?" tanya Bu Hara, heran melihat kawan lamanya itu tiba-tiba bersemangat.
Sedangkan Pak Baron tampak menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Em... Ini maksud saya ... kantong plastik ini pas buat bawa belanjaan saya...," jawabnya sambil memasukkan kangkung dan bayam ke kereseknya.
Sungguh, dari semenjak berada di warung, Akram seperti kambing congek saja di antara mereka. Walaupun dirinya tak suka mengobrol, basa-basi apalagi ditanya-tanya, ia merasa orang bodoh di sana karena diam terus dan seperti hanya menemani saja. Bu Hara dan Pak Baron sangat asyik mengobrol berdua, padahal mereka hanya sebatas kawan lama. Bahkan Akram sendiri tidak pernah melihat orangtuanya mengobrol seasik itu.
Akram kemudian berniat menjauh dari mereka, mencari tempat duduk karena merasa tidak dibutuhkan. Kakinya pegal dari tadi berdiri terus. Kalau akhirnya seperti ini, lebih baik tadi dia tidur saja dan tidak ikut menemani Bu Hara ke pasar.
Saat dia duduk di sebuah bangku, ia terkejut melihat hantu bonyok sedang memandangi Bu Hara dan Pak Baron yang sedang seru berbelanja dari kejauhan.
Dahi Akram mengernyit. Ia bingung, mengapa hantu bonyok itu bisa muncul di sini? Padahal biasanya, ia akan bisa melihat hantu bonyok itu jika sedang dekat dengan Rifka.
Akram lantas menoleh ke sekeliling, mencari cewek cupu itu. Tetapi, sama sekali tidak ada Rifka di sana.
Akram kembali menoleh ke arah si hantu bonyok. Ia penasaran, mengapa saat ini hantu bonyok itu berada di pasar? Mau apa dia?[]

KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Teen FictionAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...