Tak pernah Rifka percaya dengan apa yang dialaminya kini. Lagi-lagi, dia kembali dibonceng oleh cowok baik yang disukainya itu, Arfian. Tidak seperti ketika pertama dirinya diantar pulang Arfian, sekarang Arfian benar-benar membonceng Rifka dengan tubuh aslinya, bukan tubuh Akram.
Rifka senang dibonceng oleh Arfian. Tetapi rasa senangnya seperti ada yang kurang, tidak sepenuhnya. Sebab saat ini kepalanya sangat pusing dan masih sedih mengingat ulah Helly dan Furi kepadanya waktu di toilet.
Apalagi jarak sekolah dengan rumah Rifka tidak jauh, jadi cewek itu tidak bisa berlama-lama berdua di motor bersama Arfian. Dia kurang puas.
Tidak sampai tiga menit, mereka pun akhirnya sampai di rumah Rifka.
"Lho, Mbak kok lo udah pulang?" tanya Coki yang saat itu sedang duduk di teras sambil memakan mie instan.
"Gue pusing Cok," kata Rifka setelah turun dari motor Arfian. Sesekali, dirinya batuk-batuk dan mengelap ingusnya dengan tangan. "Lo sendiri kenapa di rumah? Bolos ya?"
"Enak aja! Ada rapat. Sebenernya harusnya sekarang libur, tapi gue lupa," kata Coki, tidak terima dirinya dituduh bolos.
"Ibu belum pulang?"
"Belum, Mbak."
Rifka lalu melihat mie instan di depan Coki. Karena badannya terasa dingin, mie instan itu terlihat enak sekali untuk disantap.
"Mau mie nya, dong!" pinta Rifka.
"Eits! Bikin sendiri sana!" Raut wajah Coki menunjukkan dia sangat keberatan jika mie-nya dipinta.
"Pelit. Lo tega ya, padahal Mbak-nya lagi sakit," kata Rifka memelas.
Coki tampak menghela napasnya sesaat. "Ya udah. Jangan banyak-banyak tapi," ucapnya dengan setengah hati.
Anak lelaki botak itu kemudian menoleh ke arah Arfian.
"Eh, halo Kak!" sapa Coki, tidak sadar dirinya dari tadi mendiami teman kakaknya yang mengantarkan Rifka pulang.
Arfian hanya membalas dengan tersenyum.
"Oh ... Jadi lo temen Mbak Rifka yang saling tuker hape ya?" kata Coki menduga. "Masuk dulu, Kak. Mau ngopi?"
Arfian menggeleng. "Enggak, Dek. Kakak masih ada kelas. Jadi nggak bisa lama-lama," balasnya.
Coki mengangguk-angguk.
"Kak, Kak," panggil Coki agak berbisik supaya tidak terdengar oleh Rifka yang masih anteng memakan mie instannya. "Gue boleh minta tolong gak?"
"Minta tolong apa?" tanya Arfian, menjadi ikut berbisik.
"Gue mau minta tolong supaya lo bisa jagain Mbak gue ketika di sekolah. Dia nggak punya temen lagi selain lo, Kak. Kasihan dia cupu, banyak nggak bisanya." kata Coki. "Lo ... enggak keberatan, kan? Gue khawatir, Kak. Kemarin juga dia sempet mau bunuh diri."
Arfian tampak berpikir sebentar. Belum sempat dia menjawab tetapi Coki tiba-tiba teriak kesal karena mengetahui mie instannya sudah habis dimakan Rifka.
"Mbak! Ish! Kenapa mie nya malah dihabisin! Gue capek tau bikinnya! Tangan gue sampai dibela-belin lengket kena bumbu minyaknya! Nyebelin amat sih lo!? Mati aja sana mati lo!"
Tanpa berdosa, Rifka malah bersendawa dengan wajah polosnya. "Mantap," gumamnya.
Arfian tertawa melihat tingkah kocak antara Coki dan Rifka. Tetapi kemudian dirinya kembali memikirkan perkataan dari adik Rifka itu untuk menjaga Rifka. Ia sangat bingung. Arfian merasa dirinya tidak dekat-dekat amat dengan Rifka. Sebagai ketua kelas, ia juga harus mengurus seluruh orang di kelas, bukan hanya Rifka. Apalagi ditambah dirinya mengikuti organisasi. Jadi dia tidak tahu apakah dirinya sanggup menjaga Rifka sedangkan ia sendiri begitu sibuk?
Jujur saja, ketika mendengar Rifka hampir bunuh diri Arfian sangat merasa kasihan dan tak tega.
Mungkin nanti akan dia pikirkan lagi. Sekarang, ia harus segera kembali ke kelas sebelum jam pelajaran Bu Yurita selesai.
"Rif, gue balik ke sekolah ya," kata Arfian pamit.
Rifka yang masih pucat tersenyum. Melihat wajah tampan Arfian, sedikit demi sedikit pusingnya seperti hilang begitu saja.
"M-makasih ya, Arfian, udah antarin gue," kata Rifka.
Setelah itu, Arfian pergi meninggalkan Coki yang tantrum karena masih belum bisa terima mie instannya dihabiskan oleh kakaknya.
[.]
"Arfian?" panggil Akram begitu Bu Yurita keluar dari kelas.
Arfian menoleh. "Apa, Ram?"
"Gimana si cupu?" tanya Akram.
"Nggak apa-apa dia, katanya sih masih pusing. Cuma butuh istirahat aja. Kayaknya demam. Masih pucat banget mukanya," jawab Arfian sambil merapikan alat tulisnya.
Akram menghela napasnya sesaat. Syukurlah jika Rifka tidak sakit parah, pikirnya.
Arfian mengerutkan dahinya bingung. Ia tersenyum sedikit. "Kenapa emang?" tanyanya.
"Kenapa apa?" Akram tidak mengerti.
"Kenapa lo nanyain Rifka?" balas Arfian. "Tumben amat lo nanyain orang. Apalagi orang itu Rifka."
Akram tampak melirik ke segala arah. Dia salah tingkah, terlihat dari tangannya yang menggaruk tengkuknya.
"Cuma mau tahu aja." Akram bingung sekaligus kesal karena raut wajah Arfian yang seperti memikirkan hal aneh mengenai dirinya terhadap Rifka. Akram lalu segera membereskan alat tulisnya, tidak menghiraukan pertanyaan Arfian itu. Jangan sampai temannya itu tahu bahwa kini, Akram sedang mengkhawatirkan Rifka.
"Eh lo tahu gak Ram, kata adiknya, Rifka kemarin mau bunuh diri tahu. Adiknya tadi sampe minta tolong ke gue buat jagain Rifka, tapi kan gue sibuk banget, ya," kata Arfian bercerita. Tetapi tak dihiraukan Akram.
Sedangkan Akram pura-pura tidak mendengarkan. Ia masih tetap memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Mendengar cerita Arfian tentang Rifka yang sampai mau bunuh diri, membuat Akram merasa bersalah.[]
Wadaw, Akram kenape lu? wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Teen FictionAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...