04. Pulang Sekolah

2.6K 130 3
                                        

Bel pulang sekolah berbunyi, menandakan kelas sudah berakhir. Dari tadi, Rifka terus melirik-lirik punggung Arfian. Sampai tidak menyadari pelajaran Pak Yatno sudah selesai, rasanya baru tadi dia masuk ke kelas.

"Ram, gue duluan ya. Ada rapat OSIS," kata Arfian, pamit.

Akram dan Arfian memang dekat. Keduanya memiliki wajah tampan dan sama-sama pintar, meski lebih pintar Arfian. Mereka juga menyukai olahraga basket. Bedanya, Arfian sangat ramah dan aktif, sedangkan Akram bersikap dingin. Akram dan Arfian selalu menjadi rebutan cewek-cewek di sekolah.

Rifka mengangguk lalu tersenyum. "Hati-hati, ya."

Arfian menatapnya bingung. Ternyata, Akram di hadapannya masih terasa aneh, tak seperti Akram yang kemarin. Berusaha untuk tidak peduli, segera dia keluar dari kelas, menuju ruangan OSIS.

"Akram!" sapa Helly kemudian.

Rifka agak terkejut melihat Helly menghampiri. Biasanya, bila cewek berambut dikucir itu datang padanya, Helly akan mem-bully-nya. Entah itu melalui fisik ataupun verbal, jelasnya itu sangat menyakiti Rifka.

Rifka reflek mundur sedikit. Ia benar-benar takut didekati Helly, meski sadar kini dia sedang di tubuh Akram.

"Lo kenapa?" tanya Helly, khawatir.

Rifka menggeleng. Pertama kali dalam hidupnya, Helly bersikap baik kepadanya. Sekarang Rifka masih diam, ia benar-benar takut untuk berhadapan dengan Helly.

"Lo nggak apa-apa kan, Ram?" tanya Helly lagi.

"G-gue nggak apa-apa," balas Rifka seadanya.

"Pulang bareng, yuk?"

"Hah?"

"Kenapa, Ram?"

Rifka tidak menjawab, ia terkejut ada yang mengajaknya pulang bersama. Selama ini, dia tidak pernah pulang sekolah bersama orang lain.

Hanya saja masalahnya yang mengajaknya pulang kini adalah Helly, orang yang paling selalu membuatnya sakit dan sedih.

Helly tidak tahu saja sebelumnya yang dia tampar adalah Akram, bukan Rifka. Kalau ia tahu itu, pasti dirinya akan menyesal dan mohon-mohon kepada Akram untuk memaafkannya. Karena setahu Rifka, Helly suka kepada cowok dingin itu.

Rifka lalu melihat tubuhnya sendiri berjalan melewatinya, dia kembali terkejut karena belum terbiasa melihat dirinya sendiri dengan sudut pandang orang lain. Rifka yang melihat dirinya yang sebenarnya adalah Akram, baru ingat mempunyai janji bertemu ketika pulang sekolah.

"Maaf, Hell. G-gue ada keperluan. Nanti aja, ya," kata Rifka. Ia segera mengejar Akram sebelum cowok itu hilang entah kemana.

Helly tampak kecewa dan akhirnya ia pun keluar dari kelas dan langsung pulang.

Begitu Rifka keluar kelas, ia akhirnya melihat dirinya sedang berdiri di teras kelas sebelah. Rifka menghampiri. Ternyata, Akram tidak lupa. Mereka lalu berjalan ke tempat sepi agar tidak ketahuan orang lain karena pastinya, semua orang akan bingung apabila melihat cowok paling dingin dan cewek cupu mengobrol berdua.

"Gue kira lo lupa kita bakal ketemuan," kata Rifka memulai pembicaraan.

Akram tidak menjawab. Ia terlihat murung.

"Kenapa lo?"

"Capek," balas Akram datar. "Di tubuh lo, gue ngerasa energi gue gampang habis. Gini amat ternyata tubuh lo. Lemah."

"Maaf," kata Rifka. "Nanti juga lo terbiasa."

"Gue gak mau terbiasa jadi diri lo. Pokoknya, secepatnya gue harus dapatin tubuh asli gue lagi."

Rifka menghela napas. Ia bergumam, "Belum juga dua jam, udah bilang capek. Lemah."

"Apa lo bilang?"

"E-enggak! Gue gak bilang apa-apa." Padahal ia merasa mengucapkan itu pelan-pelan sekali, ternyata Akram mendengarnya.

Akram berusaha bersabar. Marah-marah terus membuat dirinya makin lelah.

"Gue kira lo diem terus habis ketemu setan itu lagi," kata Rifka.

Akram diam, lalu berkata, "Gue nggak ngelihat setan itu lagi."

"Setan aneh! Minta dibantu, tapi jarang muncul."

Akram hanya diam saja. Dia juga sebenarnya selalu melihat sekeliling untuk mencari setan itu untuk mengetahui apa maunya. Ia ingin cepat-cepat tubuhnya kembali seperti semula.

"Cepet. Gimana rencana lo sekarang." kata Akram

"Rencana ap--" Rifka sempat lupa. "Oh, iya!" Ia kemudian mengeluarkan ponsel Akram yang masih berada di kantong. Mereka lalu saling bertukar ponsel itu dengan ponsel milik mereka masing-masing.

Setelah itu, Rifka lalu mengirimkan link google map rumahnya ke nomor Akram yang ia dapat di grup kelas.

"Itu rumah gue. Nggak jauh, cuma sekilo dari sekolah," Rifka memulai. "Gue tinggal di rumah bertiga sama ibu dan adik cowok gue. Bapak gue udah meninggal. Adik gue masih kelas lima, namanya Coki. Hati-hati, dia agak bandel. Terus ... Apa lagi, ya?" Rifka tampak berpikir. "Entar deh, gue kirim lagi ke nomor WA lo. Untuk sekarang segitu dulu."

Akram hanya diam mendengarkan, tanpa menanggapi Rifka yang mengoceh banyak dari tadi.

"Sekarang giliran lo," suruh Rifka.

Setelah mengirimkan link alamat rumahnya ke Rifka, Akram menghembuskan napas. "Gue masih punya orangtua. Dua-duanya masih hidup. Adik gue, Sephia. Kelas lima juga."

Rifka menunggu Akram berbicara lagi, tetapi ia tak kunjung bersuara lagi. "Udah? Gitu doang?"

Akram mengangkat alisnya, menandakan ia membalas iya.

"Singkat banget! Gue masih bingung!"

"Apa lagi?" tanya Akram dingin.

"Ya apa kek, nggak sesingkat itu kali. Entar gue malah kelihatan bego pas ketemu keluarga lo."

"Kan emang bego."

"Gak bisa gitu lah. Kan entar yang mereka lihat bego kan diri lo."

Akram berdecak, muak berbicara banyak dengan orang yang sebelumnya tidak pernah berbicara padanya. "Terserah!" katanya. "Yang terpenting, lo jangan sampai malu-maluin diri gue di hadapan orang lain!"

Tidak lama setelah mengatakan itu, hantu berkepala bonyok yang membuat mereka bertukar jiwa muncul. Akram terkejut karena hantu itu selalu datang tiba-tiba.[]

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang