Baran berjalan pelan menghampiri ibunya yang sekarang sedang menangis mengguncangkan tubuh Agra.
Baran mencoba memahami segala sesuatu yang sedang terjadi dihadapannya. Berbagai pertanyaan silih berganti merasuki pikirannya. Mengapa dan mengapa.
Javas yang telah keluar dari istana, langsung menuju ke tempat dimana Agra terbaring. Javas, Ava, dan Zea berdiri sedikit menjauh dari ratu, Baran, dan Agra. Mereka takut menganggu dan mencampuri urusan mereka.
Baran masih terpaku. Kedua matanya tidak terkedip. Baran masih berdiri dengan tatapan kosong dan diam membisu.
Ratu menangis sambil terus memanggil Agra. Kedua tangannya memegang kedua telapak tangan Agra. Agra berbaring dengan kepalanya berada di pangkuan ratu.
"Ibu, sebenarnya ada apa?" Baran bertanya pelan.
"Baran..." Ucap ratu dengan suara bergetar.
Tiba-tiba Agra mulai membuka matanya. Agra meringis menahan rasa sakit. Napasnya tersengal. Kedua matanya mengeluarkan air mata karena menahan rasa sakit.
Saat Agra memandang ratu yang sekarang memangku kepalanya, Agra tersenyum dengan senyum yang sangat indah.
"Agra...." Ratu mengelus rambut Agra.
Air mata mengalir deras dari kedua mata hazel ratu.
Agra masih tersenyum. Sesekali meringis karena menahan rasa sakit.
Baran tidak paham dengan semua ini.
"Ibu, katakan padaku, sebenarnya ada apa?" Baran masih berdiri terpaku.
"Nak, sebenarnya."
"Tidak, jangan katakan." Potong Agra sambil menggeleng memandang ratu.
"Tidak nak, semua harus mengetahui hal ini." Ucap ratu lirih.
Baran masih berdiri.
"Baran. Agra...Agra..." Ratu sulit untuk berucap karena isakannya.
Baran menunggu. Jantungnya berdetak sangat cepat. Hatinya gelisah.
"Agra. Sebenarnya Agra adalah kakakmu."
Seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Menghujam dirinya. Baran tertegun atas apa yang telah diucapkan ibunya. Dadanya sesak. Udara mendadak begitu dingin.
"Apa yang ibu katakan?" Tatapan mata Baran kosong.
"Agra adalah kakakmu nak. Agra adalah saudaramu."
Baran menggeleng cepat.
"Mengapa bisa ibu mengatakan seseorang yang ingin membunuhku adalah saudaraku?" Tangan Baran mengepal.
"Tidak nak. Agra bahkan telah berjanji pada ibu untuk tidak membunuhmu."Seperti ada sambaran petir yang menghantam hati Baran.
Baran menggeleng.
"Bagaimana ibu tahu bahwa Agra adalah anak ibu?"
"Bola matanya nak. Bola mata birunya. Tidak ada seorang pun di dunia lukisan ini yang memiliki bola mata biru, selain anak pertamaku. Kakakmu." Ratu terisak dalam tangisnya.
"Ibu dulu sempat menimang Agra. Saat Agra menghilang, yang teringat dalam ingatan ibu adalah bola mata birunya yang sangat indah nak." Ratu melanjutkan kalimatnya yang terpotong.
Baran merasa tubuhnya seperti dilolosi.
Baran menggeleng lagi.
"Ibu sudah benar-benar memastikan siapa Agra sebenarnya?"
Di sela tangisnya, ratu berusaha untuk berucap.
"Raja Gara sendiri yang mengatakan kepada ibu bahwa anak ibu sekarang adalah miliknya."
Baran terkulai lemas. Terduduk di samping ibunya. Terduduk di sambing tubuh Agra. Orang yang selama ini ia benci. Orang yang selama ini ingin ia kalahkan. Orang yang selama ini bertarung dengannya, dan orang yang dia bunuh, ternyata adalah kakaknya.
Orang bisa saja menyebut Baran ksatria hebat. Namin ketika dihadapan ibunya, dihadapan saudaranya yang terbaring lemas, Baran seperti orang yang tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Tubuh Baran bergetar. Baran memegang kepalanya. Merutuki dirinya.
"Apa yang telah aku lakukan."
"Mengapa ibu tidak mengatakan hal ini dari awal?"
"Ibu baru mengetahuinya saat menjadi tawanan nak."
Tentu saja ratu tidak dapat memberi tahu Baran.
"Apa yang telah aku lakukan." Baran menatap kedua telapak tangannya dengan tubuh bergetar.
Hati Baran terguncang hebat.
"A.dik.ku." Ucap Agra dengan suara yang terbata-bata.
Agra tersenyum. Pandangan mereka bertemu.
Agra meraih kedua tangan Baran, adiknya. Tubuh Baran terguncang hebat. Tangisnya pecah ketika Agra meraih kedua telapak tangannya.
"Apa yang telah aku lakukan kak?"
Agra tersenyum ketika mendengar Baran memanggilnya 'kak' untuk yang pertama kali.
Agra menggeleng.
"K kamu telah membebaskanku, adikku." Ucap Agra dengan suara menahan sakit.
Baran balik menggenggam erat tangan Agra, kakaknya.
"Mengapa kakak tidak mengatakannya dari awal kak?"
Agra tersenyum.
"Kita memegang prinsip kita masing-masing adikku. Jika aku mengatakannnya padamu, kamu akan mundur."
Baran meletakan genggaman tangannya di dadanya.
"Aku telah terikat sumpahku pada Raja Gara adikku. Tidak mungkin aku akan melanggarnya. Meskipun rasanya sangatlah pahit." Ucap Agra sambil terus tersenyum.
Kedua matanya yang indah mulai mengeluarkan air mata.
"Bagaimana bisa aku menanggung rasa bersalahku di sepanjang hidupku kak?" Genggaman tangan Baran bergetar.
Agra menggeleng.
"Kamu tidak bersalah adikku."
Agra berusaha menghapus air mata Baran, tapi tangannya begitu sakit hingga tak sanggup terangkat. Baran mengambil telapak tangan yang berusaha menghapus air matanya itu, lantas menggenggamnya kembali.
"Bagaimana bisa aku membunuh kakakku sendiri. Kakak yang seharusnya aku hormati." Air mata mengalir dari mata hazel Baran.
Agra menggeleng pelan.
"Tidak adikku. Ini adalah kesalahanku. Bagaimana bisa aku menodongkan senjataku kepada adikku sendiri. Aku melukai pantulan bayanganku sendiri. Ketika pantulan bayanganku sakit, aku juga akan merasakan sakitnya."
Agra berusaha mengambil napas yang semakin sesak. Baran semakin menggenggam erat tangan Agra.
"Maafkan aku kak."
Jika dulu keduanya saling bertatap dengan penuh kebencian, sekarang mereka saling bertatap dengan penuh kasing sayang. Kondisi yang berubah dalam sekejap mata.
Setelah mengetahui status keduanya, dengan mudahnya, api kebencian yang berkobar begitu besarnya padam seketika. Kekuatan cinta saudara yang tidak akan bisa didefinisikan.
Agra berusaha untuk tersenyum ditengah-tengah sakit yang sedang ia tahan.
Tangan kanan ratu merangkul Baran. Kini mereka bertiga saling menumpahkan kerinduan. Saling terisak dalam tangisnya.
Javas ikut terlarut ke dalam suasana, ia menitikkan air mata saat melihat peristiwa yang terjadi dihadapannya. Ava mengusap air mata yang terus saja mengalir. Zea membiarkan air matanya terus mengalir. Tangannya memegang kuat lengan Ava.

KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK LUKISAN
Novela Juvenil"Ava!! kamu punya kekuatan!" Seru Javas. Aku menatap kedua telapak tanganku dan rasanya tidak mungkin kekuatan itu berasal dari tanganku. Aku menggeleng ke arah Javas sambil mengerutkan dahiku. "Aku tadi melihat cahaya biru keluar dari tanganmu Va...