Nenek Merah?

208 19 0
                                    

Kami terus berjalan, terkadang menuruni bukit, terkadang menaiki bukit. Jika waktu normal, ini mungkin sudah pertengahan malam hari. Kami sekarang sedang bersitirahat di tanah yang cukup lapang.

Aku melihat Baran sedang memainkan panahnya. Kami bertiga menyaksikan Baran memanah dengan sangat presisi pada ranting pohon yang ada di atas. Kami lantas bertepuk tangan. 

Baran memerintahkan Javas melemparkan kotak kayu mungkin berukuran 5x5 cm yang cukup tipis ke atas. Javas lantas melempar kotak itu ke atas. Dengan secepat kilat, anak panah Baran melesat dan berhasil tepat menancap pada kotak itu sebelum kotak itu terjatuh ke bawah. Keren! Kami berdecak kagum.

"Ayok Javas sekarang giliranmu." Ucap Baran.

"Eh aku pangeran? Aku tidak bisa pangeran." Javas gelagapan.

"Coba dulu."

Baran menancapkan sebatang kayu mungkin berdiameter 10 cm dengan jarak yang cukup jauh.

"Bidiklah Jav." Perintah Baran.

Javas memposisikan diri. Javas mulai menarik busurnya. Lama sekali dia membidik, tak kunjung melepaskan anak panahnya. Javas melepaskan panahnya. Panahnya melesat, namun tidak mengenai kayu itu. Javas menghembuskan napasnya, kecewa. Baran menepuk pundak Javas.

"Zea, mau mencoba?" Tanya Baran.

Zea mengangguk mengiyakan. Zea lantas memposisikan diri. Dia mulai menarik busur panahnya. Zea mencoba untuk fokus. Setelah dirasa pas, Zea melepaskan anak panahnya. Melesat dengan cepat, namun belum mengenai sasaran. Zea mengaduh pelan dan kembali ke sampingku.

"Ava, berani coba?" Tanya Baran, sedikit menantangku.

Aku langsung maju dan memposisikan diriku. Kusingkirkan terlebih dahulu rambut yang menghalangi mataku. Aku menghembuskan napasku, mencoba untuk fokus. Kulihat sejenak sasaran itu. Lantas kutarik busur panahku. Aku membidik sefokus mungkin, sepresisi mungkin. Kulepas anak panah dan melesat cepat. Tepat! Mengenai sasaran. 

Javas dan Zea bersorak. Baran bertepuk tangan sambil tersenyum melihatku. Sebentar, jantungku kenapa berdetak sangat cepat. Ada apa ini, kenapa aku nerveous. Kendalikan dirimu Ava! Aku langsung buru-buru kembali ke samping Zea. Entah kenapa aku tergugup.

"Kenapa Va?" Tanya Zea.

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum ragu-ragu.

Kami melanjutkan istirahat kami, memakan bekal makanan. Bermain panah tadi mungkin cara Baran untuk menghilangkan rasa capek dan bosan kami.

"Pangeran, semenjak kita istirahat, pangeran belum tertidur. Sekarang, biar aku yang berjaga saja pangeran." Ucap Javas.

Baran tampak berpikir sejenak lalu akhirnya mengiyakan. Kami beristirahat cukup lama kali ini. Sangatlah lelah.

"Ze, kamu tahu aku rindu apa?"

"Mama papa kamu Va?"

"Itu sudah pasti."

"Kak Kava?"

"Itu juga udah pasti si."

"Lantas siapa? Pak satpam kumis tebal?"

Aku mendelik.

"Ehehe maaf Va, lagian siapa Va?"

"Aku rindu hujan Ze. Aku rindu malam. Aku rindu bulan." Ucapku sambil menyenderkan tubuhku di pohon dan memandang langit.

"Iya juga ya Va, di sini sama sekali tidak ada hujan, malam, apalagi bulan." Zea terdengar menghela napasnya.

"Tapi kamu harus terbiasa dengan kondisi seperti ini Va." Ucap Zea.

DI BALIK LUKISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang