Kaca Pos Penyelamat

529 49 0
                                    


Benar saja, saat aku dan anak itu turun, gerbang sekolah telah tertutup rapat. Satpam dengan kumis tebal bekacak pinggang di depan gerbang sekolah. Aku mengusap wajahku yang basah terkena tetesan gerimis. Anak itu langsung berlari menuju gerbang, tampak berbicara memohon kepada satpam kumis tebal itu. Akupun membuntutinya.

"Tidak bisa. Apapun alasannya, kamu tetap telat datang ke sekolah!" Pak satpam berkata tegas, kumisnya bergerak naik turun.

"Hei kamu juga! kenapa kamu telat?!" Pak Satpam menoleh ke arahku.

"Ban mobil papaku bocor di tengah jalan Pak." Jawabku singkat.

"Tetapi kamu tetap telat, apapun alasan itu!" Ucap Pak satpam ngegas.

"Lah tadi Pak Satpam tanya kenapa saya telat?" 

"Kalian berdua kena hukuman! Copot sepatu kalian, lalu lari memutari lapangan ini sebanyak sepuluh kali putaran, jangan jalan apalagi berhenti, harus lari!" Gertak Pak Satpam.

Sial! ini hari pertamaku masuk di sekolah ini, malahan sudah berhadapan dengan masalah. Gerimis semakin deras.

"Ini tidak adil pak." Anak berambut panjang itu langsung menoleh ke arahku saat dia sedang melepas sepatunya.

"Tidak adakah toleransi di sekolah ini? Kami berdua telat bukan karena kami malas berangkat sekolah, tapi karena ada kendala mendadak. Yang tidak bisa kami prediksi kejadiannya pak. Coba pak satpam pikirkan, kalau saja saya bisa tahu kalau nantinya ban mobil papa saya bocor, pasti saya sudah naik angkot sedari awal." Ucapku mencoba mempengaruhi Pak Satpam satu ini.

"Ini sudah peraturan sekolah, kalau semua siswa punya alasan, maka bisa dipastikan tidak ada siswa yang dihukum karena telat. Mereka akan menganggap enteng masalah telat sekolah, karena tidak ada yang menghukumnya." Balas pak satpam.

"Tapi ini gerimisnya semakin deras pak, Pak Satpam akan tetap menyuruh kami lari 10 putaran? Baju kami bisa basah kuyup pak." Aku tetap mencoba menolak hukuman itu.

Pak satpam tampak berpikir sejenak.

"Itu sudah menjadi resiko kalian." Pak satpam ini tidak bisa sedikitpun dibujuk.

Anak berambut panjang itu menatapku dan menggeleng kepadaku, aku tahu maksudnya. Maksudnya ialah biarlah kami menjalani hukuman tersebut. Tapi aku balas menggeleng, aku belum menyerah.

"Pak satpam mau bertanggung jawab jika kami demam? Kami tidak bisa mengikuti pelajaran jika kami demam pak." Ucapku sekali lagi.

"Itu bukan urusanku." Jawab pak satpam.

Aku mendengus kesal. Berpikir bagaimana cara membujuk orang yang satu ini. Gerimis semakin deras, tak lama lagi mungkin akan turun hujan. Ini semakin bagus, kami bisa terhindar dari hukuman ini. Terdengar gemuruh geledek, tapi tidak begitu besar. 

Di seberang jalan terlihat anak kecil dengan memakai seragam sekolah yang tampak kesulitan menyebrang jalan dengan banyak kendaraan melaju cepat. Aku memperhatikan anak kecil itu. Dia sendirian, tidak ada teman dan juga tidak diantar orang tuanya. 

Tanpa kusangka, anak kecil itu berlari cepat menyebrang jalan. Sebuah mobil truck sedang melaju dengan kencangnya. Supir truck tampak mengklakson anak itu beberapa kali, anak itu tetap berlari. Klaskson semakin terdengar keras, beberapa pengemudi motor berusaha untuk meneriaki anak itu, tetapi anak itu tetap berlari. Truck semakin dekat dengan anak itu, mungkin jaraknya tinggal tiga meter lagi. Aku berteriak panik, meneriakki anak itu, truck tidak berhenti, terus melaju. Di saat aku berteriak, PRANGGG!!!, aku menoleh ke arah suara. Kaca pos satpam selebar pintu itu pecah berserakan. Kami semua teralihkan perhatiannya, hingga tak disadari anak itu berhasil lolos dari truck tadi, aku menghela napas lega, anak itu selamat. Sekarang pak satpam tampak cemas melihat kaca posnya pecah berkeping-keping.

Perhatian pak satpam teralihkan dan mungkin sedang memikirkan alasan kenapa kaca itu bisa pecah, padahal tidak ada apapun yang menyebabkan kaca itu pecah. Pak satpam tampak bolak-balik memeriksa pecahan itu, sambil sesekali berbicara dengan para petugas sekolah yang lainnya.

Aku segera menenteng sepatuku dan memegang tangan anak berambut panjang itu. Aku berlari sekencang mungkin dengan menggandeng dia. Dia tampak cemas dan ragu-ragu. Tetapi aku terus membawanya masuk ke gerbang selanjutnya, yaitu gerbang menuju ruang-ruang kelas dan berhenti di gazebo. Aku memakai kembali sepatuku.

"Emm bagaimana kalau pak satpam itu mengejar kita?" Itulah kalimat pertama yang ia katakan.

"Tidak usah cemas. Aku yakin masalahnya jauh lebih besar, dia tidak mungkin akan mengurusi kita, sedangkan dia sendiri sedang sibuk memikirkan alasan kaca pecah" 

"Kamu kelas berapa?" Tanyanya sambil mengikat tali sepatu.

"Aku kelas XI, murid baru di sini. Duluan ya! Aku  harus segera ke ruang BK."

Dari raut mukanya, dia sempat terheran karena aku murid baru di sini. Tetapi dia juga harus segera pergi ke kelasnya, karena pelajaran akan segera dimulai. 

DI BALIK LUKISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang