Setelah Agra mendapatkan dentuman mematikan itu, suasana mendadak sunyi. Tidak ada lagi pertempuran.
Baran masih berdiri di posisinya. Tangannya bergetar. Entah kenapa tiba-tiba air matanya lolos begitu saja. Baran menatap kedua telapak tangannya, lantas mengepalkannya.
“Baran….” Suara yang lembut memanggil Baran.
Baran menoleh ke sumber suara.
Tampaklah sosok wanita paruh baya yang sekarang berdiri tidak jauh dari Baran. Di samping wanita paruh baya itu ada Zea yang masih setia memegang lengannya.Mata Baran berbinar. Seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang selama ini ia cari keberadaannya. Seseorang yang selama ini berada dalam pikirannya di setiap detiknya. Air mata kembali lolos begitu saja dari matanya. Tidak pernah terlihat Baran meneteskan air matanya. Namun, di momen-momen ini, layaknya benteng yang telah Baran susun dengan kuat, seketika runtuh bergitu saja.
Dengan mulut bergetar dan senyum yang selama ini tak pernah tampak sebegitu indahnya dari wajahnya, Baran berucap, “IBUU…”
“Baran.
"Baranku…” Wanita paruh baya itu bahkan sudah sedari tadi meneteskan air matanya.Baran mendekat.
Dengan tangan bergetar, wanita itu mengusap air mata Baran, lantas menyapukan telapak tangannya di rambut baran, di muka Baran, hingga ke pundak Baran, seperti memastikan Baran baik-baik saja. Matanya langsung terfokus pada luka di pelipis Baran. Tangannya yang bergetar berada di atas luka Baran.
“A apa yang terjadi padamu anakku?” Wajah wanita itu khawatir.
Baran meraih kedua tangan ibunya, lantas menciumi kedua telapak tangan ibunya.
“Baran baik-baik saja bu.” Senyum Baran tidak hilang.
Wanita itu masih menatap wajah anak yang selama ini ia rindukan. Wanita itu tersenyum bahagia memandang wajah anaknya.
Keduanya lantas berpelukan dengan pelukan yang amat sangat erat. Melepas kerinduan. Wanita itu mengelus punggung Baran. Air mata mengalir tak terhenti dari wanita itu.
“Syukurlah. Syukurlah.” Ucap wanita itu sambil terus mengelus pundak Baran.
Setelah melepas pelukan. Kedua tangan wanita itu memegang wajah Baran. Matanya terus memandangi wajah Baran. Baran menghapus dengan lembut air mata wanita itu.
“Maafkan Baran ibu. Maafkan Baran. Baran tidak bisa menjaga ibu.” Ucap Baran bergetar.
Baran mengingat kembali perang masa lampau itu. Ibunya menjadi tawanan Raja Gara.
“Jangan berbicara seperti itu nak.” Wanita itu menghapus air mata Baran.
“Baranku adalah ksatria hebat. Ksatria pemberani. Ibu bangga padamu.” Wanita itu tersenyum sambil memegang pundak Baran.
Ratu Aica.
Ratu Aica adalah seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapan Baran. Ratu Aica adalah Ibu Baran. Wanita bermata hazel itu ternyata adalah ibu dari anaknya yang bermata hazel. Wanita yang sangat cantik di usianya yang paruh baya itu ternyata ibu dari ksatria tampan.
"Bagaimana keadaan ibu? Apakah mereke menyakiti ibu?"
Ratu Aica menggeleng.
"Tidak nak. Lihatlah, ibu sangat baik. Apalagi setelah melihatmu. Ibu sangat bahagia nak." Kedua tangan Ratu Aica memegang kedua pipi Baran.
Baran menyadari ada Zea di samping ibunya. Baran paham, Zea telah membebaskan ibunya.
“Terima kasih Zea.” Senyum Baran tidak pudar.
Zea mengangguk. Sudah sedari tadi Zea ikut meneteskan air mata, menyaksikan ibu dan anak yang saling melepas kerinduan. Ini adalah pemandangan yang sangat indah.
“Anakku, dimana Agra?”
“Ibu tenanglah. Agra telah kalah. Dia telah termakan oleh kesombongannya sendiri.” Baran tersenyum.
“Apa yang kamu katakan nak?” Raut wajah Ratu Aica berubah drastis. Terkejut.
“Agra telah kalah bu. Sesuai kesepakatan, Agra tidak hanya menyerahkan batu permata itu, tapi juga kerajaan ini.”
Ratu Aica mendadak lemas. Hendak terjatuh, tapi langsung ditahan Baran. Ratu Aica tampak memandang sekitar. Mencari sesuatu. Air matanya mengalir deras.
“Ada apa ibu?” Baran ikut panik.
Ratu Aica menggeleng, tidak menjawab pertanyaan Baran.
Matanya terus mencari-cari sesuatu di halaman luas ini. Hingga akhirnya mata Ratu Aica terhenti ketika melihat tubuh Agra yang tergeletak tidak berdaya.“Agraa!!!!”
Ratu Aica berteriak histeris. Ratu Aica langsung berlari menghampiri tubuh Agra yang sudah tergeletak di atas rerumputan.
“Mengapa ibu sebegitu paniknya melihat keadaan musuh anaknya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK LUKISAN
Ficção Adolescente"Ava!! kamu punya kekuatan!" Seru Javas. Aku menatap kedua telapak tanganku dan rasanya tidak mungkin kekuatan itu berasal dari tanganku. Aku menggeleng ke arah Javas sambil mengerutkan dahiku. "Aku tadi melihat cahaya biru keluar dari tanganmu Va...