Malam ini, kami beristirahat di rumah besar Baran. Aku dan Zea berada di kamar di ruang depan, sedangkan Javas di kamar belakang. Rumah ini tampak antik dengan segala interior di dalamnya. Dinding kayu dengan ukiran-ukiran di setiap sudut rumah menambah kesan mewah.
"Va, rumah ini sangat nyaman yah, betah nih lama-lama di sini." Celetuk Zea sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang terbilang lumayan empuk. Kasur ini sangat nyaman, kainnya sangat sejuk.
"Oh ya Va, kita disini sampai kapan?"
"Ya nggak lama-lama lah, katanya kamu pengin cepet keluar dari dunia lukisan?"
"Iya sih, artinya perjalanan selanjutnya kita akan bersama Baran juga Va?" Tanya Zea.
"Iya, untunglah ada yang bisa membantu kita. Javas cuma bisa ngomel terus."
"Eh Va, jangan salah, tadi yang melumpuhkan kepala kelompok pengejar kita itu Javas loh."
"Iya juga, eh kenapa Javas bisa juga bertarung Ze?"
Zea tertawa
"Asal kamu tahu Va, Javas itu dulunya ikut kelas bela diri loh. Menurutku, Javas mampu membagi semuanya dengan seimbang. Tidak hanya kemampuan akademiknya saja yang baik, tapi Javas juga baik di bidang nonakademiknya." Aku hanya manggut-manggut mendengarkan Zea. Mungkin selama ini aku terlalu meremehkan Javas.
"Va ngomong-ngomong tentang Baran, dia luar biasa yah Va. Diusianya yang masih muda sudah dibebani tanggung jawab yang besar." Zea tumbenan lebih banyak bicara kali ini.
"Tapi mungkin tidak nyenyak tidurnya itu Ze. Orang sibuk itu tidurnya biasanya sedikit."
"Kok malah membahas tidur si Va."
Tidur adalah hobiku.
"Oh iya Va, besok pagi Baran meminta kita ke belakang rumah mau ngapain ya." Zea masih terus berbicara, sedangkan aku sudah menguap berkali-kali.
"Mungkin Baran mau melatih kita cara bertarung yang baik Ze." Jawabku sekenanya.
"Waw pasti seru! aku pengin bisa memanah kaya Baran. Keren banget Va tadi siang Baran. Dia gerakannya cepat, tatapan matanya tajam, wibawanya tinggi, tampang keturunan bangsawannya sangat menonjol." Aku agak kaget, sejak kapan Zea banyak bicara kaya gini.
"Sudah Ze, kita tidur sekarang. Rasanya sudah lama aku tidak merasakan tidur senyaman ini. Besok kita harus bersiap, lusa kita melanjutkan perjalanan."
"Baiklah."
****
Rasanya baru terlelap, terdengar pintu kamar diketok dengan kencang oleh suara yang kukenali, ya itu Javas. Javas memerintahkan agar aku dan Zea segera bersiap ke halaman belakang.
Kulihat suasana luar dari jendela kamar. Suasananya masih sama seperti pertama kali aku menginjak di lukisan 2 ini, tanah gersang, asap dimana-mana. Untunglah masih tersedia air di rumah Baran, sehingga kami bisa membersihkan badan kami. Untunglah Nenek Merah membekali kami dengan beberapa baju.
Aku dan Zea segera menuju ke halaman belakang. Aku terbelalak melihat halaman belakang rumah Baran. Ini sungguh di luar dugaan, di luar prediksi. Di halaman belakang rumah Baran terhampar padang rumput yang sangat luas, seluas lapangan sepak bola, bahkan lebih luas. Bahkan bukan hanya itu, di samping lapangan juga terdapat seperti sebuah tempat untuk berkuda, kemungkinan tanah berpasir. Aku tidak menyangka, masih ada tempat sehijau ini di tengah-tengah keadaan kacau di luar.
Tapi dimana Baran dan Javas?
Selang beberapa saat, Baran muncul dari arah daerah tanah berpasir dengan menunggang kuda. Dia memacu kudanya ke arah kami. Suara ketukan langkah kuda terdengar berirama, sangat indah. Kali ini Baran memakai pakaian berwarna cokelat dengan dikombinasikan kain kulit, walaupun ini lebih ke baju biasa, tapi tetap terlihat keren.

KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK LUKISAN
Novela Juvenil"Ava!! kamu punya kekuatan!" Seru Javas. Aku menatap kedua telapak tanganku dan rasanya tidak mungkin kekuatan itu berasal dari tanganku. Aku menggeleng ke arah Javas sambil mengerutkan dahiku. "Aku tadi melihat cahaya biru keluar dari tanganmu Va...