Kekuatan Ungu

162 19 0
                                    

Aku tersentak ke belakang. Aku mencoba menyeimbangkan tubuhku.

“Tahan Va!” Terdengar Zea berseru cemas.

Aku menggeram. Seperti ada daya tolak yang begitu besar. Berkali-kali kakiku mundur.

“Javas ayok kita bantu Ava!” Seru Zea.

Zea menahan bahu kiriku, sedangkan Javas menahan bahu kananku. Kali ini, aku tidak terdorong ke belakang lagi. Namun, tolakkan itu semakin kuat.

Terlihat kekuatan biru itu menjalar ke seluruh tubuh Baran. Kedua tangan Baran terlihat mencengkram tanah. Cahaya biru semakin pekat dan semakin menjalar luas di tubuh Baran.

“Argghhhh!!!”

Baran terlihat kesakitan.
Dari kejauhan, aku mulai melihat semburat cahaya merah dari tubuh Baran.

“Erghhhhh!”

Baran mencengkram kuat tanah dan terlihat memejamkan matanya. Daya tolak terasa semakin kuat. Tubuhku tersentak ke belakang, untunglah ada Zea dan Javas yang membantuku, sehingga aku tidak terpental ke belakang.

“ARGHHHH!!!”

Baran menggeram sangat keras.
Terlihat kesiur angin di sekitar Baran.  Cahaya biru semakin pekat, hingga mendekati warna hitam. Cahaya merah dari tubuh Baran pun terlihat semakin meluas. Tubuhku semakin terdorong ke belakang. Zea dan Javas menahan tubuhku lebih keras.
Aku menggeram merasakan kuatnya daya tolak itu.

“HARGHHHHFFF!!!”

Kesiur angin di sekitar Baran semakin besar. Kesiur angin membentuk lingkaran, mulai mengepung tubuh Baran.

“ARGHHHH!!!”

Cahaya biruku sekarang berubah menjadi warna hitam yang menyelimuti tubuh Baran. Cahaya merah menutupi cahaya biruku.

“ERGHHH!!!”

Sekarang tubuh Baran berada di tengah-tengah pusaran angin.
Tubuhku tersentak lagi ke belakang, kali ini lebih kuat. Javas dan Zea pun ikut tersentak ke belakang.
Aku berusaha mempertahankan posisiku.
Tiba-tiba, tanah mulai bergetar. Semakin lama, getaran tanah ini semakin kuat. Ini menambah kesulitanku untuk menjaga keseimbangan.

“Bertahan Va!” Seru Zea.
“ARGGHHHH!!!”

Cahaya merah lengkap sudah menutupi tubuh Baran, cahaya merah itu bersinar sangat terang. Aku menyipitkan mataku. Mataku perih.
Angin disekitar Baran bertambah kencang dan pekat. Tanah bergetar hebat. Javas dan Zea memegang tubuhku semakin erat. Kakiku semakin terdorong ke belakang.

“Arghh!” Kali ini aku yang menggeram.

Tubuhku semakin terdorong ke belakang. Javas dan Zea juga semakin terdorong ke belakang.
Cahaya merah itu semakin terang. Aku menutup mataku.

“AARRRGGGHHH!!!!!”

Baran menggeram begitu keras, lalu disusul seperti suara dentuman yang amat sangat keras. Suaranya sangat menggelegar.

DUUUUMMMMMM!!!!

Tepat setelah dentuman keras itu, aku merasakan dorongan yang begitu kuatnya, sehingga tubuhku tidak mampu lagi untuk bertahan. Tubuhku terlempar ke belakang.
BRAKKK
Tubuhku terjerembab diantara ranting pohon.
BUUKKK
BUKKKK
Javas dan Zea terlihat terjerembab ke tanah.

Aku meringis, pinggangku sakit.
Keringat mengalir deras. Aku mengatur napasku yang tersengal-sengal. Aku mencoba bangkit dan terduduk. Aku melihat Javas dan Zea mencoba untuk bangkit dan duduk.

“Kalian tidak apa-apa?”

Mereka mengangguk bersamaan. Terlihat mereka menghembuskan napas, mengatur napas. Di depan sana, debu-debu masih berterbangan. Aku belum bisa terlalu jelas melihat ke depan.
Kami bangkit berdiri.

“Bagaimana keadaan Baran Va?” Tanya Zea.

Aku menggeleng.
Kami segera mengecek keadaan Baran.

“Pangeran!” Javas berseru saat melihat Baran masih dengan posisi semula, namun sesaat kemudian tubuhnya terjerembab ke depan.

Javas membalik tubuh Baran.

“Pangeran tidak sadarkan diri.”

Selang beberapa saat, Baran mulai membuka matanya. Kulit putih bersih Baran memerah karena dahsyatnya peristiwa tadi.

“Pangeran tidak apa-apa?”
“Saya baik-baik saja, terima kasih.”

Javas membantu Baran untuk berdiri.

“Kalian tidak apa-apa?”
“Kami baik-baik saja pangeran.”

Baran beralih memandangku.

“Ava, aku tidak tahu lagi bagaimana berterima kasih padamu.”
“Eh jangan seperti itu Baran.” Aku bingung menjawab apa.
“Terima kasih banyak Ava.”

Aku mengangguk, tersenyum.

“Terima kasih juga Javas, Zea.”
“Kami juga sangat berterima kasih, Baran.” Ucap Zea.

Javas mengangguk takzim.

“Apakah kekuatan pangeran telah kembali?”

Baran mengangguk tersenyum, lantas mengarahkan telapak tangannya ke tanah. Terdengar suara berdentum, DUUMMM!!!, tanah itu langsung merekah.

Kami terkaget. Aku melihat cahaya merah keluar dari telapak tangan Baran. Artinya, Baran sudah mencapai tingkat kekuatan merah. Itu kekuatan yang tinggi, setara yang dimiliki oleh Nenek Merah. Nenek Merah di lukisan 1 maksudku, bukan Nenek Merah jadi-jadian itu!

Terlihat Baran tersenyum bahagia melihat kekuatannya telah kembali, dia berulang kali melihat telapak tangannya.

“Kalian siap masuk ke lukisan 3?”

“Siap pangeran.”

Kami bertiga mengangguk mantap.

"Ingat, 3 jam." Baran mengingatkan dengan sorot mata serius.

Kami mengangguk yakin.

“Ayok Va, keluarkan kekuatan birumu, arahkan pada pintu.” Ujar Baran.

Aku sedikit tergugup. Aku menghembuskan napasku. Mencoba tenang.

Kuarahkan kedua telapak tanganku ke pintu gerbang emas. Cahaya biru keluar dari kedua telapak tanganku. Kemudian dilanjut Baran yang mengeluarkan kekuatan merahnya.
Dua kekuatan bercampur menjadi satu. Semakin lama, campuran kekuatan biru dan merah itu berubah menjadi kekuatan berwana ungu. Ini luar biasa! Kekuatan ungu itu terlihat semakin terang dan berkilau.
Tanah bergetar sedikit dan pintu gerbang emas itu mulai membuka. Cahaya putih yang begitu menyilaukan itu membuatku menutup mata.

DI BALIK LUKISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang