Alur - 28

29 16 0
                                    

Malam harinya Aloka menggerjapkan matanya beberapa kali. Setelah mengumpulkan kesadarannya, menyadari di mana ia berada suasana hening menyelimuti dirinya.

Cowok yang membuatnya begini menemani dirinya sampai sekarang, ia menyentuh rambut cokelat tercampur hitam itu, raut wajahnya berubah sendu ingin marah tapi sadar diri karena semua ulah si cewek sialan itu.

Saatnya ia mengelus beberapa kali, cowok itu terasa terganggu dan mendongak tatapan mereka bertemu, dan Aloka cepat-cepat menurunkan tangan. Ia merasa malu ketauan melakukan itu kepada Ray.

"Gimana keadaannya?"

Hening.

Tidak ada sahutan dari sang empu, dia pun menghembuskan napas panjang. Ray tau ini salahnya tapi dia akan berusaha sekuat mungkin untuk meminta maaf kepada Aloka.

"Lo masih marah sama gue? Itu bukan kemauan gue, Loka. Lo cuma salah paham, gue nggak pernah mau ciuman sama dia."

Katanya!

Tetap bergeming seolah ungkapan Ray hanya angin lewat karena punya emosi setipis tisu, dia menahan sekuat mungkin untuk tidak sembarangan.

Secara perlahan memegang pipi sang pacar mengarahkan kepala Aloka ke hadapannya, Aloka terlihat sinis menghembus napas berat.

"Masih marah?"

"Iya," jawabnya ketus.

"Beneran masih marah?"

Ia mengangguk pelan tanpa permisi Ray mendekat, dan wajahnya makin dekat tidak ada jarak sedikitpun. Aloka yang ngerasa canggung mencoba mendorong namun begitu susah hanya hidung mereka saling bersentuh.

Membuat detak jantung tidak terkendali, Aloka yang menyadari menutup mata rapat-rapat seolah siap menerima serangan dadakan.

Ray menahan tawa, dan menyentil hidung mancung itu.

"Ngapain memejamkan mata?"

Pipinya merah merona malu. Aaa, sialan! Kenapa ia harus begini saat suasana begitu mencekamkan?

"Lo mikir gue bakal cium lo?"

Seketika matanya membulat menggeleng cepat seolah tidak terima tentang di bahas barusan walau kenyataan itu sebenernya terjadi.

Bibirnya berkedut melihat sang pujaan hati salah tingkah menambah kegemasan di matanya.

"Enak aja gue cuma mikir lo tuh nyeremin makanya mata gue tutup jangan bilang yang enggak-enggak ya."

Dia mendengus di kira Ray bodoh? Tentu saja tidak karena mengetahui tingkah Aloka yang sebenarnya sudah di kenal sangat jelas di matanya.

"Yang bener tapi gue liat lo tadi kayak nungguin gue cium bibir lo," katanya menyentuh bibir mungil Aloka. "Mau gue cium beneran?"

Sontak menutupi bibirnya dengan tangan kiri biar Ray tidak melakukan hal yang akan terjadi bencana untuknya kalo di pikir-pikir apa Arta akan ke sini? Karena perubahan wanita paruh baya itu benar-benar sangat jauh sekali.

Padahal ia berharap kalo Arta di sampingnya untuk menenangkan pikiran jahat ini, Aloka menatap wajah tampan itu yang tersenyum lembut.

"Mama udah dikasih tau?"

Ray mengangguk mengelus puncak kepalanya, dan sekali-kali mengecup kening Aloka.

"Jangan di pikirin tadi gue udah kasih tau Bi Ima, saat lo belum sadar Bibi juga khawatir banget sama lo tapi udah gue suruh pulang karena nggak mungkin nungguin entar dia kecapekan."

Bibirnya merenggut ke bawah, ah. Coba ada Arta mungkin ia akan meminta pelukan hangat apalah daya Aloka, ia tidak mau melihat tingkah Arta yang seperti benar-benar bukan Ibunya. 

Alora (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang