Alur - 47

46 23 0
                                    

Tidak ada tanda Ibunya pulang, satu hal yang sangat membuatnya sakit di mana orang di sayangnya pergi tanpa mengajaknya. Ray tidak habis pikir tentang itu, padahal dia baru saja keluar beberapa jam tapi apalah dunia ini jahat kepadanya.

Hampir setiap hari mencari Rara, wanita paruh baya itu menghilang seperti di telan bumi. Napasnya memburu ingin keluarkan air mata selama ini dia tahan sebagai seorang anak, Ray akan benar-benar hancur apalagi orang itu adalah Rara sudah melahirkan dan merawatnya dari kecil.

Efta menyadari memeluk tubuh itu yang bergetar, Efta mengerti keadaan Ray yang hancur. Efta berpikir untuk apa berdiam diri lebih baik membalas dendam.

"Jangan sedih lagi, gue bakal tetap di sini dukung lo," ucapnya menepuk-nepuk punggung Ray pelan.

Tidak ada jawaban dari cowok itu, Efta hanya bisa menghela napas mengetik pesan ke seseorang senyum miring terlukis di bibir mungilnya.

"Gue bakal balas semuanya yang udah nyakitin lo," batinnya penuh tekad.

Di tempat lain suara tidak senonoh memenuhi ruangan hingga akhirnya suara itu berhenti, wanita cantik itu menangis sejadi-jadinya karena sudah seminggu lamanya berada di tempat itu.

"Gue mau pulang, lo jahat! Gue benci sama lo, gue nggak akan biarin hidup lo tenang, sialan!" teriaknya mengutuk Brita yang terbaring di sebelahnya.

Tubuh mereka di selimut hingga ke dada, Aloka tidak berhenti menangis dari pertama kali. Jika ia tidak makan maka Brita akan mengancamnya dengan menyebarkan video adegannya dengan Brita di tambah jika Aloka melakukan bunuh diri maka Arta lah yang akan menanggung perbuatan Aloka.

"Sayangku, kamu bahkan menyebut namaku setiap permainan kita. Apa kamu tidak menyukai itu?" Brita menggodanya tapi Aloka berdecih jijik.

"Lo maksa gue manggil nama lo! Kalo nggak lo pasti akan siksa gue," kata Aloka terisak kecil tenggorokannya tercekat mengingat adegan panas terjadi seminggu belakangan ini.

Ia tidak tau apa yang terjadi kedepannya, mungkin Aloka hanya bisa menahan rasa malu dan berusaha melahirkan anak di kandungnya nanti.

"Kamu kenapa marah?" cicitnya menarik pinggang polos Aloka biar mendekat. "Jangan marah sayang, kamu terlihat menggemaskan."

Dan sekian kali ia menyesali mengingat kebodohannya telah percaya dengan Keo telah membohonginya.

"Please, gue mau ... mau keluar." Aloka sesegugukan dengan mata bengkak.

Ia tidak berhenti menangis bahkan memaki Brita setiap saat, hatinya sakit di jatuhi orang terdekat maupun musuhnya secara bersamaan.

Padahal semua terjadi itu karena Mamanya, kenapa ia harus menanggung semua penderitaan ini. Sungguh tidak adil!

"Cup cup sayang, seburuk itu gue sampai-sampai lo nggak mau main sama gue?" sergahnya menatap tajam Aloka sudah menunduk dalam-dalam karena ketakutan.

Rasa keberanian selama ini hancur seketika menghadapi tingkah Brita saat ini.

"Maksud gue— "

"Kenapa gugup gitu atau mau lagi?" potongnya menyeringai.

Aloka menggeleng-geleng cepat membalas pelukan Brita tidak kalah kuat memasuki wajahnya di dalam dada Brita lalu memejamkan mata berharap Brita tidak melakukan hal itu.

Sungguh bagian intinya sakit membuatnya susah berdiri, selama seminggu juga ia di bantu oleh Brita.

"Yaudah, sekarang tidur nanti kita main lagi," tutur Brita, ia mulai terisak kembali di mana dada polos Brita basah dengan air matanya.

Alora (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang