Alur - 34

35 14 0
                                    

Pagi-pagi sekali Aloka bangun hanya ingin memasak makanan untuk sang Mama karena ingin membuat suasana berbeda dari biasanya.

Ia tau harus jadi anak berbakti ke Mamanya, Aloka takut semakin lama ia biarkan Arta makin menjauh jadinya Aloka bangun pagi sekali sudah bersiap memakai baju sekolah menuju dapur.

Tertampilah nasi goreng spesial di tambah ayam goreng menggunggah selera walau ia kadang malas tapi Aloka bisa memasak karena sering membantu Mamanya jika disuruh kalo tidak Aloka akan bermalas-malasan seharian full.

Lihatlah senyumnya mengembang cerah layak mentari pagi hingga suara tangga membuat Aloka teralihkan wajah wanita paruh baya yang masih sangat cantik walau di makan usia.

"Mama," panggilnya senang lalu mendekat sembari memeluk erat tidak ada balasan hanya air muka yang datar.

Tidak ada sahutan maupun rasa senang di hati Arta saat ini, dia mendorong bahu sang anak hingga Aloka tersentak kaget karena perilaku Arta tidak seperti ia harapkan.

"Kenapa Mama nggak bales?"

"Terus saya harus apa?"

"Ma?" lirih Aloka menghembuskan napas panjang.

"Saya bukan Mama kamu jangan mengaku anak saya."

Aloka tidak membalas ia memberikan senyuman tulus beralih menatap makanan di atas meja bundar.

"Ayo makan, Ma." Aloka mengajak Arta makan tapi di tepis olehnya.

Hingga langkah kaki jenjang itu malah pergi ke ruangan tamu, Aloka mengikutinya sampai ia melihat ke kagetan di mana seorang lelaki paruh baya menyambut dengan senang hati.

Aloka menegang saat itu juga.

"Sayang, aku kangen."

Suaranya menghunus telinga Aloka sampai-sampai ia ingin kabur saja dari dunia ini.

"Kamu udah makan?"

Tidak berhenti dari itu ciuman menyentuh kedua bibir sepasang kekasih tersebut, matanya melebar menahan amarah. Tangan mengepal kuat hingga Aloka lebih memilih pergi.

"Kenapa dia sayang?"

"Anak kurang ajar nggak usah di urusin," sahut Arta tanpa peduli ada rasa malu melakukan hubungan intim di rumah.

Aloka sedari tadi melamun di dalam perjalanan menuju sekolah, banyak orang-orang memarahinya karena tidak mematuhi peraturan lalu lintas.

Saat ini menggunakan motor di bandingkan mobil kesayangannya, wajah kusut terlihat mata yang biasanya penuh binar menjadi sedikit menggelap.

Aloka akui jika suasana hatinya akhir-akhir ini sudah lama tidak ada daya semangat saat mengingat kejadian di rumah tadi membuatnya merasa bersalah karena itu menyangkut seseorang.

"ALOKA!"

Suara teriakan itu membuat Aloka menoleh di mana seorang cowok selalu bisa menenangkannya, Ray— dialah orangnya di manapun berada cowok itu adalah orang yang sangat penting baginya.

Tidak ada satupun yang bisa menggantikan sosok cowok tampan di hadapannya sekarang.

"Sayang kangen," rengeknya langsung memeluk, Aloka meringis malu di lirik anak-anak terkekeh geli. "Kamu kenapa nggak bales chat aku? Bales dendam ya?" tuduhnya terlihat menggemaskan.

Tanpa di sadari sudut bibirnya berkedut tertarik ke atas tertampilah senyum manis. "Aku cuma nggak sempat chat kamu, tau kan aku ada masalah aja jadi jangan heran."

"Masalah apa?" tanyanya menampilkan Puppy eyes sok imut.

Aloka terdiam menatap sekitaran, memilih tidak membalas ucapan sang kekasih. Atensinya tertuju ke sebuah mading di penuhinya orang-orang.

Alora (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang