Alur - 26

33 20 4
                                    

Semua siswa berhamburan keluar termasuk cewek cantik itu dengan senyum kecil, ia mengemasi barang-barangnya saat guru sudah keluar dari kelas. Beda lagi cowoknya langsung melongos pergi, ia bahkan mengerutkan keningnya bingung biasanya cowok itu akan menunggunya.

Tapi mungkin dia ada urusan jadi Aloka berpikir positif saja karena sudah menyelesaikan mengemasi buku-bukunya. Aloka keluar menuju parkiran mobil, ia melirik mobilnya berwarna hitam.

Memasuki mobil tersebut dengan senyum mengembang mengingat apa di katakan Ray.

"Gemes banget sih sayang gue?"

"Jangan sedih, gue juga sayang lo percaya semua nggak akan terjadi, kita akan bisa tetap bersama Loka."

Aloka menggigit dalam bibirnya menahan senyum, deru napasnya tidak beraturan. Aloka kegirangan di dalam mobil, pipi yang memerah menambah kalo Aloka beneran salah tingkah.

Dia pun melajukan mobil keluar dari area parkiran tanpa sengaja melihat Ray dengan seseorang yang ia kenal. Syok!

Aloka mengikuti mereka yang hanya menggunakan sepeda berdua lebih tepatnya berboncengan, Aloka yang geram mencengkram kuat setir mobil.

"Mereka mau ngapain? Nggak mungkinkan ada hubungan di belakang gue?" serunya dengan lirihan sesak.

Dengan jarak sedikit jauh biar tidak ketauan, setelah beberapa menit keduanya berhenti di kawasan sekolah SD, Ray maupun cewek itu— Efta duduk di sebuah ayunan yang sebelahan.

Mereka mengobrol asik tanpa menyadari Aloka memperhatikan, Efta yang kaget ada sesuatu di kepala Ray pun mendekat. Tatapan mereka bertemu mata Aloka mendelik tidak suka, ia hitung beberapa menit Efta menarik tengkuk lehernya dengan sengaja.

Terjadilah ciuman panas di mana Ray sudah berusaha melepaskan tapi Efta memaksakan memperdalam ciuman itu, untungnya tidak ada yang melihat kecuali Aloka.

"Ray? Lo tega .... "

Sesak, sakit tidak bisa di jelaskan lagi tangannya terkepal kuat mengatur napas secara perlahan ia berusaha kuat, Aloka keluar dari mobil menghampiri keduanya yang masih berciuman.

Tepukan tangan Aloka membuyarkan keduanya, Ray gelagapan takut mendorong kuat Efta hingga terjatuh walau begitu Efta tersenyum miring sudah berhasil melakukan aksinya di mana dia sudah tau kalo Aloka mengikutinya dari pertama keluar parkiran.

"Loka, gue nggak ngelakuin itu dia tiba-tiba aja cium gue," paniknya mendekati tapi langsung di tepis Aloka. "Sayang? Lo nggak salah pahamkan?"

"Semua sudah jelas Ray," celetuknya menunduk berkaca-kaca. "Lo jahat banget sama gue? Tega banget berciuman dengan cewek itu!" Aloka menunjuk Efta yang diam tersenyum mengejek.

Secepat mungkin Ray mengenggam tangan Aloka, dia takut kalo ceweknya itu akan pergi lagi darinya sudah berapa kali mereka mengalami perpisahan, tidak! Tidak, Ray tidak mau itu terulang lagi apalagi Ray yang menolak Aloka berkali-kali tapi cewek itu tidak nyerah sama sekali.

"Loka, lo pasti liatkan kalo nih cewek duluan cium gue."

Efta mendelik tajam terasa di libatkan.

"Tapi lo nggak nolak," sahut Aloka sinis ke arah Efta. "Lo nggak ada niatan jatuhin dia pas gue datang baru lo dorong, apa maksudnya, hah?"

"Bukan gitu, gue udah coba dorong tapi dia malah narik tengkuk gue," katanya membela diri.

Cewek itu lalu berkata, "Ngeles lo padahal menikmati ciuman gue."

Sesaat ia memejamkan mata dengan geram menatap tajam ke arah Efta yang begitu tenang.

Ia bimbang menghembus napas lelah menatap manik mata hitam Ray yang bergetar, Aloka tau kalo cowok itu panik karena takut tapi bagaimana lagi? Aloka merasa di khianati sekarang!

"Lepasin Ray! Gue nggak mau ketemu lo," putusnya menghempaskan tangan cowok itu. "Gue kecewa sama lo."

"Loka jangan pergi, lo cuma salah paham!"

Cewek itu pergi meninggalkan keduanya memasuki mobil menekan pedal gas mobil sehingga Ray tidak sempat untuk menghalangi jalan Aloka.

Matanya menoleh ke arah Efta tersenyum senang tapi Ray tau kalo cewek itu hanya melakukan trik untuk membuat hubungannya hancur.

"Gue benci lo! Jujur kalo gue nyesel pernah pacaran sama lo Efta!" serunya sinis pergi begitu saja menaiki sepedanya.

Efta di sana hanya bergeming berikutnya tersenyum miring seolah tidak terjadi apa-apa.

"Iya, itu yang gue mau Ray! Sebenci apapun lo sama gue, lo harus tetap jadi milik gue," gumam Efta pelan bersekedap dada.

•••

Saat ini ia bingung harus bagaimana, Aloka ingin menenangkan diri, entah pergi kemana tempat tujuan selalu ke Arta tapi Mamanya akhir-akhir ini jarang pulang. Tatapannya kosong, ia memberhentikan mobil di jalan takut terjadi kecelakaan tanpa sengaja memikirkan suatu tempat yang jarang ia kunjungi.

"Maaf kalo jarang temui Papa ..., " lirihnya pelan langsung menuju ke kawasan TPU.

Entahlah Aloka gugup mungkin karena dirinya jarang ke sana membuatnya merasa bersalah. Jantungnya berdetak kencang untuk sesaat ia berdiri di depan pintu TPU dan memasuki kuburan yang cukup luas. Matanya menyelidik satu-persatu makam, sejujurnya Aloka sedikit lupa tapi untungnya, ia langsung menemukan makam di tujunya.

Aloka menyamakan dirinya dengan makam, mengelus sisi batu nisan bertuliskan Ferdeyan Bin Abi Namu. Dadanya tiba-tiba sesak, air mata begitu saja mengalir tanpa disuruh. Aloka menepuk dada beberapa kali, sungguh sakit.

"Pa ..., " panggilnya lirih.

Aloka memejamkan mata sejenak.  "Mama berubah Pa." Aloka berkata seolah mengadu sesekali mengelus batu nisan tersebut.

"Bahkan Ray? Dia, dia jahatin Loka. Kenapa dunia jahat banget sama Loka? Papa pergi cepat banget, Loka sendirian di sini Pa, Papa tau nggak? Mama marahin Aloka biasanya Mama nggak bakal ngelakuin itu, Mama sekarang sampai ngebentak Loka."

Tenggorokannya tercekat menelan ludah saja sulit, nyeri sekali dadanya sedikit meremas dan jujur baru kali ini rasanya benar-benar menyakitkan.

Belum lagi Arta berubah dan sekarang Ray?

"Mereka jahat ... Pa, Loka takut gimana ini, Tuhan?" serunya terisak menciumi batu nisan.

Sekali dunianya hancur tidak ada satupun orang di dekatnya. Baik Sulina, Arta maupun Ray. Entahlah Sulina pergi kemana beberapa hari ini juga cewek itu tidak masuk sekolah, Aloka berharap tidak terjadi sesuatu kepada Sulina semoga saja.

Dengan tangisan terisak, Aloka mengusap pipinya yang tampak basah.

"Aloka nggak kuat di sini! Boleh Loka ikut Papa?" pintanya tanpa ada jawaban ia mendengus berat. "Capek Pa .... "

"Kalo bisa ikut Papa, Loka lebih baik bareng Papa kalo Loka di jahatin terus, Loka mau ngadu ke siapa? Selain sama Papa," ucapnya terpejam menangis tersedu-sedu.

"Papa ..., " teriaknya prustasi untung tidak ada siapapun selain dirinya.

"Capek, nggak ada lagi yang peduli sama Loka," ucapnya dalam hati.

Tanpa sadar membuka tasnya terlihat mistar besi berukuran panjang, a melamun membayangkan semua akan baik-baik saja kalo dirinya ikut bersama Papanya.

"Ma, maafin Loka kalo belum jadi anak yang baik."

Ucapannya berhenti sebentar, ia pun mengusap pipi sebelah kiri yang basah mengarahkan mistar itu ke tangan.

"Buat lo Ray, gue sayang banget sama lo jangan lupain gue sayang," kata Aloka lirih mencoba menggesekkan mistar tersebut ke tangan cukup kencang.

Sehingga goresan kecil terlihat mengeluarkan darah,.Aloka menelan saliva walau tidak berani ia tetap melakukan hingga akhirnya goresan itu cukup dalam.

Aloka merasakan pusing menguasai diri, terakhir kali ia liat adalah seorang lelaki menghampirinya dengan penuh kepanikan.

"Lo nggak boleh pergi," serunya menepuk pipi Aloka sudah tidak sadarkan diri.

TBC

YAYAYAHHH, yuhu begitu guys ceritanya.
Jangan ketinggalan cerita Alora ini bakal di revisi habis-habisan asal kalian tau!!!

Palembang, 18 Juli 2024

Alora (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang