Alur - 23

33 20 0
                                    

Cewek rambut yang terurai tersenyum bahagia di saat ia mengetahui jika Mamanya sudah pulang dari kerja, selama dua bulan lamanya ia sangat rindu pelukan sang Mama.

Tentu! Siapa yang tidak merindukan sosok seorang Ibu di tinggal kerja hingga hilang kabar! Arta tidak sekali memberitahu Aloka tentang keseharian maupun kabar baik apa yang terjadi, selama itu Aloka sangat prustasi perubahan Arta membuatnya benar-benar merasa kehilangan.

Aloka turun dari tangga langsung terlihat dari meja makan seorang wanita paruh baya duduk di sana seraya memakan sarapan paginya terlihat dari sana, Arta begitu cuek tidak sama sekali melihat dirinya yang ada di atas tangga padahal Aloka sengaja sedikit menghentakan kakinya dari tangga tersebut.

"Mama," panggilnya dengan lembut Arta tidak sama sekali merespon melainkan memperhatikan anaknya menepatkan dirinya di kursi makan di dekat Arta.

Dehaman kecil itu balasan dari Arta, Aloka menerjapkan matanya beberapa kali merasakan jika tubuh Arta sedikit berisi tapi senyum jahil menghiasi wajah anaknya. Aloka menoel pipi Arta yang menyantap makanan menoleh dengan sinis.

"Mama, Aloka kangen banget kok Mama ngilang nggak ada kabar?"

Arta menoleh sejenak melirik Putrinya yang dari tadi memperhatikan wajahnya.

"Emang salah? Nggak usah cari Mama lagi, kamu udah besar," kesalnya melanjutkan makan.

Kata-kata yang muncul dari mulut Arta membuat Aloka diam-diam tersenyum getir, kenapa Mamanya berubah? Tiba-tiba moodnya hancur, dan ia berdiri membiarkan nasi goreng yang penuh di atas meja.

"Aloka pergi dulu," pamitnya menyodorkan tangan untuk menyalami Arta tapi tidak ada balasan.

Dengan kesal Aloka mendengus meninggalkan Arta sendiri di ruangan makan, Aloka berharap semoga Arta bisa berubah seperti Mama yang ia kenal.

•••

"Cok, kok nggak keliatan sih Efta ye," tanya cewek berkuncir satu dengan rangkulan dengan sahabatnya.

"Mana gue tau," jawabnya bergidik bahu melirik perilaku sahabat karibnya makin hari makin tidak waras.

Aloka hanya tersenyum kecil perihal Efta sekaligus rivalnya itu pergi entah kemana pasalnya semenjak kejadian putusnya Ray dan Efta. Cewek itu seperti hilang ditelan bumi kadang dia datang, dan sering tidak masuk sekolah.

"Kalo gue dengar-dengar, dia pindah sih ke sekolah lain gitu."

Seketika suasana yang tadinya ramai kini berubah lebih menyeramkan, perihal Efta pindah dari sekolah tatapan Aloka berubah menjadi tidak bersahabat.

"Salah gue ya?" tanya Aloka menunduk sedih.

Sulina dengan cepat merangkul Aloka dengan mengelus puncak rambut cewek itu dengan kasih sayang.

"Bukan salah lo kok, emang ini takdir yang udah di kasih buat kita jangan nyalahin diri lo sendiri," nasehatnya meraih tangan menggenggam dengan erat.

"Lo terbaik jangan ngerasa semua yang terjadi itu salah lo."

Aloka tersenyum samar mendengar kata-kata semangat sahabatnya. Entah, ia sangat beruntung di kirimkan sahabat seperti Sulina yang selalu ada di mana ia bahagia maupun sedih.

Tatapan sayu Aloka terlihat jelas dari  beberapa orang yang lewat tidak ada yang peduli. So? Untuk apa pedulikan urusan mereka, nambah masalah saja dengan Ray.

Yap! Semenjak perubahan Ray menjadi culun, ada beberapa orang membullynya ada juga yang tidak berani karena mereka tau tidak akan menganggu seseorang yang di cap  nakal sejak dulu, ada saatnya Ray bakal seperti dulu jika ada berani dengannya.

Sulina dengan cepat memeluk tubuh Aloka dengan erat rasa hangat mengalir di tubuh Aloka, ia sangat bahagia bertemu Sulina.

"Makasih ya."

Cewek itu hanya mengangguk tidak menjawab pertanyaan Aloka, mereka seperti Teletubbies. Ada memang yang iri dengan persahabatan mereka yang begitu erat.

•••

"Lo tau nggak sih Ray tambah ganteng aja nih loh!" ceplosnya tersenyum manis melihat wajah pacarnya yang salah tingkah.

Ray terpikal orang tidak malu nunjukkan ekspresi, dia pun meleyot di depan Aloka. Ray tersenyum bahagia dengan pujian Aloka yang manis itu, Aloka sendiri hanya tertawa karena tingkah Ray yang tidak ada malu.

"Apa tadi sayang? Ulang dong," bujuknya untuk meminta ulang perkataan itu.

"Nggak mau!"

"Yahhh kok nggak mau sih," ucapnya menatap sedih ke Aloka, kekehan kecil terdengar di mulut Aloka yang tengah duduk di sampingnya.

"Ada syaratnya," balas Aloka tersenyum menatap mata teduh Ray yang begitu indah.

"Apa emang syaratnya?"

Aloka menunjuk pipinya yang tembem, Ray hanya memperhatikan yang lain, cowok itu mengangguk mendekati wajah kekasihnya.

Cup

Bukannya pipi jadi sasaran tapi bibir Aloka yang di cium lembut oleh pacarnya, Ray yang jahil hanya terkekeh melihat ekspresi membeku Aloka yang tiba-tiba terdiam.

"Kok diem aja sih."

Aloka tetap diam hingga beberapa menit kemudian ia sadar pipinya yang mulai memerah karena ulah Ray, memukul pelan lengan Ray tertawa melihat ekspresi lucu pacarnya.

"Gemes banget sih!"

"SAKIT RAY, JANGAN DI CUBIT!" teriak Aloka kesal karena pipinya jadi sasaran empuk Ray.

Wajahnya yang cemberut terlihat lebih menggemaskan untung saja sudah pulang sekolah jadi puas menjahili pacarnya itu, mereka duduk di depan kelas yang sepi tidak ada yang menganggu selain Ray.

"Biarin aja wlek, soalnya gemes aja jadi pengen cubit terus."

"Tapi kan gue nggak mau Ray!"

"Masa nggak mau lo! Gemesin tau! Ayolah lagi cubit nih," cicitnya sudah ancang-ancang untuk menyubit Aloka

Tapi Aloka memilih kabur berlari kesana-kemari.

Ray pun mengejar hingga akhirnya mereka melepaskan tawa bahagia karena sudah begitu senang berduaan yang indah itu. Aloka tidak menyangka jika cintanya di balaskan begitu manis dan sekarang kebahagiaan muncul begitu saja.

Ia berharap akan lebih indah dari ini.


TBC

Pantangin terus men, ceritanya makin greget gak? Hahaha semoga dah.

Yang asli ada Ray ya, semangat bacanya!
Jangan lupa vote + komen.
Kalo mau kritik + saran boleh banget.

Palembang, 16 Juli 2024

Alora (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang