Alur - 48

66 22 5
                                    

Angka menuju 8 bulan, Aloka mengelus lembut perutnya penuh kasih sayang tidak pernah membayangkan akan mengandung anak seseorang sangat ia benci, namun Aloka sama sekali tidak membenci anak di kandungnya karena itu bukan salah si kecil.

"Maafin Mommy sayang jika suatu saat kamu di gunjing banyak orang," lirih Aloka mengakui kesalahan di alaminya sekarang.

Ia juga tidak pernah menyangka akan terjebak dalam situasi seperti sekarang, Aloka berusaha keras untuk waras biar si kecil di dalam perutnya tidak tertekan karena banyaknya masalah di hadapi.

Sekeliling dengan lampu terang-benderang selalu ia rasakan beberapa bulan terakhir, selain tidak boleh keluar. Aloka hanya duduk berdiri membaca buku kadang di kasih seorang pelayan yang menemaninya, ada juga hal buat ia merasa kesal adalah Brita tidak menemui Aloka semenjak mengetahui kehamilannya.

Tapi itu lebih baik di bandingkan di siksa terus-terusan, matanya membulat sempurna tiba-tiba saja ada orang masuk tanpa permisi memberitahu hal penting.

"Sekarang kamu bebas."

Seorang lelaki paruh baya itu menampilkan wajah datar tidak bersahabat, sedangkan Aloka yang ngeblank diam karena keadaan sekarang begitu mengejutkan baginya.

"Kamu dengar tidak? Saya bilang kamu boleh keluar atau masih mau di sini sampai tua?" pungkasnya menghampiri Aloka menarik tangannya untuk pergi dari kamar tersebut.

Pintu terakhir menghubungkan dengan pintu keluar, jantung Aloka berdetak kencang karena ini pertama kali dalam hidupnya akan keluar kembali melihat dunia.

Saat pertama kali melangkah kakinya, sinar matahari langsung menerpa indra penglihatannya. Cahaya yang begitu terang, Aloka seketika menangis haru tidak menyangka jika hari yang di tunggu-tunggu telah tiba.

Sebuah mobil muncul di hadapan keduanya tanpa pikir panjang lelaki paruh baya itu membukakan pintu dan mendorong pelan tubuh Aloka untuk masuk kedalam. Aloka dengan gugup menatap kaca spion, ada seorang menyetir tersenyum ke arahnya.

"Jangan takut saya hanya mengantarkan kamu sampai tujuan."

"I-iya makasih." Hanya itu balasannya, ia juga bingung harus berkata apa karena lama sekali tidak berinteraksi dengan orang sekitar membuat Aloka jadi kaku.

Tidak ada obrolan setelah itu, Aloka lebih sibuk memperhatikan perjalanan kali ini takut akan terjadi sesuatu tidak di duga seperti dulu. Tanpa sadar ternyata Aloka tertidur sedangkan sopir tersebut tersenyum kecil walau merasa sedih karena nasib wanita kursi penumpang begitu buruk.

"Saya harap kamu akan baik-baik saja setelah ini," gumamnya prihatin, sungguh dia tau tentang wanita ini yang selama 8 bulan penuh hanya di dalam rumah besar itu.

Di culik tanpa ada yang menolongnya, hal sangat membuat batin maupun mental bisa rusak kapan saja tapi lelaki itu kagum karena wanita di belakangnya masih bisa kuat bisa menghadapi sampai sekarang.

Setelah perjalanan jauh dari rumah besar hingga ke kota, Aloka yang masih tertidur membuat lelaki itu harus membangunkannya walau tidak tega.

Aloka terusik menggeliat membuka mata perlahan, mendengus kesal tapi ia harus sadar diri. Aloka membuka pintu mobil sembari melambaikan dan berterima kasih sudah mengantarkannya, lelaki itu mengangguk membalas ucapan itu, langsung mengancap gas untuk pergi dari sana.

Ia membalikan badan, tubuhnya menegang karena tiba-tiba saja rumahnya begitu ramai. Aloka bergeming melihat bendera kuning tergantung di tiang secara sadar kakinya meluncur masuk ke rumah tersebut.

Orang-orang di sana menjadikan Aloka pusat perhatian, jelas selama itu tetangga memang tidak terlalu kepo dengan kehidupan orang lain jadi tidak ada yang akan menggunjing maupun bergosip tentang masalah orang.

Alora (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang