Bab 41

310 19 0
                                    

"Ekspresimu tak perlu seperti itu. Aku bisa membaca pikiranmu dari wajah jelekmu."

"?!"

Ucapan tiba-tiba dari laki-laki itu membuat orang-orang disekitar terkejut. Sikapnya tampak arogan, dengan tangan terlipat di bawah dada dan sekejap memejamkan mata. Pupil Anya membulat mendengar perkataan tersebut seolah-olah tersambar petir.

"Dia bisa membaca pikiranku!?" batin Anya.

"Dari dulu, perkataanmu selalu kasar ya," ucap salah satu laki-laki teman sekelas mereka.

"Wah, hebat sekali, Tuan Damian. Bagaimana kau bisa membaca pikiran?," Wajah Ewen dan Emile terpaku pada Damian dengan tatapan kagum yang mendalam. Sementara itu, Becky mengernyitkan dahinya, melirik dan mendelikkan mata risih pada mereka.

"Ck, ck, ck, Damian, apa yang kau ucapkan sepertinya tak sejalan dengan isi hatimu. Meskipun Anya biasanya selalu terlihat kurang menarik, tapi bukankah kau merasa dia sangat cantik hari ini? Aku sudah capek medandani dia!" ucap gadis berpakaian gaun biru simpel, kemudian menghela napas pendek.

"Damian, aku juga bisa membaca pikiranmu, kau punya perasaan mesra pada Anya!"

Reaksi sekitar meledak dalam kejutan.

"Apa maksudmu? Apa yang kau bicarakan?!" Wajah Damian memerah, dicampur antara rasa malu dan marah.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, kau menyukainya!"

"Tidak perlu mengatakannya dua kali..." gumam Damian dalam hati, "Tidak! Aku sangat membencinya!" katanya dengan nada keras.

"Aku juga sangat membencimu, anak kedua." Anya mengepal tangannya, kesal.

"Anak kedua?" Terdiam sejenak, seperti sebutan itu mengingatkan mereka akan sesuatu.

Becky mengepalkan tangannya, bibirnya melengkung simpul, dan dia menatap keduanya seperti anak kecil.

Damian menggertakkan giginya. "Dasar cerewet, bodoh, dan jelek!"

"Aku imut, kau jelas jelek, dan wajahmu itu selalu basah, menjijikkan."

Mendengar perkataan dari Forger, wajah Damian semakin merah, dan seolah seluruh tubuhnya terbakar.

"Anak-anak muda, berhentilah melakukan kebisingan di sini. Ini hanya peringatan pertama, jika masih berisik nanti, kami akan memanggil petugas untuk mengusir kalian dari sini tanpa ampun!" Seorang pria dewasa berpakaian mirip polisi tiba-tiba muncul dan memberikan peringatan tegas.

Mereka mengangkat bahu dan wajah mereka terlihat panik, kecuali Damian.

"Aku adalah keturunan Desmond, mereka tidak bisa mengusirku sembarangan!" Laki-laki tersebut berpikir dalam hati.

"Sialan, dia menghina Damian! Perempuan itu..." Jane yang sedang bersama teman-temannya sejak tadi terus memantau keributan itu dari kejauhan.

"Jane, ada apa?" tanya salah satu teman Jane yang melihat dia mengepalkan tangannya.

"Oh, tak apa-apa," sahutnya sambil melepaskan tangannya.

"Mereka itu, ya? Mereka selalu membuat keributan di mana pun, bahkan merusak suasana pesta ulang tahunmu," kata teman Jane yang lain sambil memandang Anya dan kelompoknya.

"Lebih baik mereka, tak usah diundang," tambah teman yang lain lagi.

"Sejak kelas satu hingga sekarang, mereka selalu seperti anjing dan kucing."

Jane langsung menoleh pada teman-temannya, dengan raut wajah yang penasaran.

"Seperti anjing dan kucing?"

"Kau penasaran ya?"

"Ya, aku penasaran."

"Dulu Forger itu selalu bersikap aneh pada Damian."

"Aneh? Aneh bagaimana?"

"Dia selalu mengatakan ingin menjadi teman akrab Damian, dan selalu bertengkar."

"Seperti satu orang yang memiliki dua kepribadian!" ucap temannya yang lain.

"Ya seperti itu."

"Dia mungkin hanya mengincar nama Desmond."

"Ya benar!"

"Haha." Teman-temannya tertawa kecil, sementara Jane memandang mereka dengan tatapan bingung.

Dia kemudian, terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri, serta mengepal tangan kembali. Dia belum lama menjadi murid di Eden. Bahkan juga belum mengenal semua teman sekelasnya.

Seketika pikirannya pun tertuju pada hari itu.

Hari pertama dia masuk di Eden, sekitar sebulan yang lalu.

"Papa, aku khawatir tidak akan punya teman di sini."

"Tenanglah, Jane. Anak Papa ini cantik, pasti akan memiliki banyak teman."

Pria muda berseragam rapi yang jongkok di hadapan Jane mencium keningnya lembut, kemudian dia mengusap air mata putrinya.

"Dada, Papa."

Gadis itu melambaikan tangan saat mobil papanya meluncur menjauh.

"Harus berani, dan aku pasti akan memiliki teman!" pikirnya dengan tekad dan semangat yang kuat, dia pun melangkah.

Namun, mencari teman tidak mudah baginya. Dia cenderung pendiam dan kesulitan memulai percakapan. Di sekolah sebelumnya, bahkan dia tak punya teman dekat. Bukan hanya karena sifatnya yang pemalu, tetapi juga karena pesona kecantikannya yang membuat anak perempuan sekelasnya menjaga jarak, seolah-olah dia adalah bunga indah yang sulit dijangkau.

Hari ini, Jane memutuskan untuk lebih berani dalam mencari teman. Saat dalam perjalanan menuju kelas, dia tak sengaja terjatuh setelah tersenggol oleh laki-laki yang berlari lebih cepat dari dia.

"Maaf, aku tidak sengaja!" kata pria itu buru-buru, lalu melanjutkan larinya secepat kilat, seperti sedang mengejar sesuatu atau dikejar oleh setan saja.

"Sak-sakit!"

"Sial!" pikirnya yang terjatuh.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengulurkan tangan untuknya. "Kau tak apa-apa?

Suara itu adalah suara anak laki-laki!

"Aku baik-baik saja," sahut Jane setelah berdiri.

"Ya syukurlah."

"Ayo kita ke kelas," ucap anak laki-laki berambut lonjong kepada lelaki itu yang menolongnya barusan.

"Te-terima kasih! Siapa namamu?!" tanya Jane tiba-tiba.

Ketiga anak laki-laki di hadapannya pun tampak terkejut.

"Bodoh, bodoh, gila! Matilah aku, kenapa aku tiba-tiba harus menanyakan namanya!" Gadis tersebut mengutuk dirinya sendiri. Dia merasa malu, bagaimana cara memulai pertemanan yang benar? Saking malunya wajahnya sampai penuh oleh keringat.

"Damian Desmond."

TBC

Yuk absen, yang baca fanfic ini tinggalnya dari asal mana aja?

SPY X FAMILY Damianya Fanfic (Lagi di Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang