- 49 -

199 16 17
                                    

✧༺🌹༻✧

Amaia mengaitkan resleting di tasnya lau menatap ke arah 2 tas lain. Saat berangkat ke Santutxu, ia hanya membawa satu totebag berukuran sedang, karena ia menyatukan pakaiannya di koper Hugo. Sekarang karena Hugo sudah kembali lebih dulu dan ia tak memiliki tas besar, ia harus membawa sisa pakaiannya ke dalam dua tas olahraga Raoul yang ukurannya tidak terlalu besar.

Amaia menatap ke sekeliling kamarnya, ia membawa semua barang-barang yang perlu ia bawa. Lalu berhenti di lemari miliknya yang nyaris kosong. Ia sungguh membawa semua pakaian yang harus ia bawa.

Kali ini aku tak akan mundur. Pilihanku hanya satu, yaitu mendampingi Hugo.

Amaia lalu berjalan ke pintu, sayup-sayup ia mendengar suara Kakaknya dan sahabatanya berbicara dalam nada rendah. Amaia mencoba menangkap apa yang sedang mereka bicarakan tapi suara keduanya terdengar terlalu halu. Amaia lalu mengambil salah satu medali milik Raoul dan menjatuhkannya dengan sengaja. Seakan memberi tanda pada kedua orang diluar bahwa ia akan keluar, dan jika pembicaraan yang keduanya sedang lakukan adalah rahasia, sebaiknya mereka berhenti bicara.

"Ups, maaf Raoul. Aku menjatuhkan medali berhargamu." Ujar Amaia keluar kamar sambil langsung berjalan ke meja makan, tempat dimana keduanya tengah bicara.

Raoul tak merespon, wajahnya tampak kesal dan rahangnya tampak mengatup rapat.

"Aww, Raoul. Kau semarah itu padaku? Aku tidak sengaja." Raoul kini melirik Amaia dengan pandangan aneh, "Aku mohon jangan marah."

"Aku tidak marah." Jawab Raoul bingung.

"Wajahmu terlihat seperti seseorang baru saja merebut bola darimu."

"Analogi yang aneh."

Amaia tersenyum, "Tersenyum lah tampan, aku akan meninggalkanmu sebentar lagi. Kau bisa memulai kehidupan dewasamu tanpa siapapun yang akan menilaimu buruk."

Raoul mendenguskan tawa.

"Bagaimana sakit kepalamu?" Tanya Sara sambil menuangkan kopi, lalu mengulurkannya pada Amaia.

"Sudah lebih baik. Gracias." Amaia mengangkat gelas dari Sara dan menyeruput kopinya dengan sediki susu dan gula palem. Ia mendecakkan lidahnya dan menikmati rasa kopi di lidahnya.

"Syukurlah." Sara membelai rambut pirang Amaia dan

"Sara, jika musim depan Hugo sungguh pindah ke London. Apa pendapatmu?"

"Kau sudah melihat reaksiku kemarin," Ujar Sara sambil membelalakkan matanya yang agak bengkak. Kombinasi dari kurang tidur dan menahan tangis. Tangis karena melihat Amaia kehilangan neneknya dan karena melihat Raoul dari dekat tapi terasa jauh sekali, "Aku senang sekali untukmu."

"Bagaimana dengan bisnis kue kita?" Tanya Amaia pelan.

"Apa yang kau khawatirkan?" Tanya Sara balik, tanpa menunggu jawaban Amaia, ia kembali berbicara, "Kita punya Juan. Para Junior chefs kita juga sudah cukup cakap."

"Bagaimana dengan toko kita yang baru?"

Sara tertawa, "Amaia, kau tidak membangun bisnis ini sendiri."

"Aku tau, tapi tidak adil jika kau melakukan banyak hal disini sementara aku hanya bisa diam saja disana."

"Jangan berpikir begitu. Kau tau kau bisa melakukan banyak hal disana."

Amaia terdiam, Sara memberikan validasi yang Amaia butuhkan. "Tapi rasanya seperti aku tidak bekerja karena kontribusiku pasti sangat sedikit."

"Kalau begitu ciptakan banyak kue dari sana, kunjungi banyak toko kue, cari inspirasi. Kalau perlu, kau ikut pelatihan disana." Ujar Sara menggebu-gebu hingga membuat Amaia tertawa, "Cari tau apa mereka punya kelas untuk menghias kukis, seperti yang pernah kau ceritakan padaku. Kau sangat penasaran dengan itu ya kan?"

back to youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang