Manusia Baru

241 26 38
                                    

Lulus SMA. Aku dan Sadam memutuskan untuk bersama-sama kuliah di Ibukota. Satu Universitas sama hanya saja berbeda fakultas. Sadam mengambil Arsitektur sedang aku memilih Desain Komunikasi Visual. Kami juga tinggal di satu gedung apartemen yang sama meski berbeda unit hingga saat ini setelah kami sama-sama mendapatkan pekerjaan.

Senin malam. Hari ini aku pulang kantor dengan di antar Haidar. Sosok yang menjadi orang spesial untukku sejak satu bulan yang lalu. Apa ibu dan ayahku tahu tentang dia? Tentu tidak, oh bukan! Belum! Aku belum mau mengenalkannya pada kedua orang tuaku di Bandung karena hubungan kami masihlah seumur jagung. Namun mereka tentu sudah mengenal Haidar karena ia teman SMP ku dulu dan secara kebetulan kami berada di satu naungan perusahaan yang sama, hanya berbeda divisi dan berbeda blok gedung saja.

Sampai di depan lobi apartemen aku segera turun dari mobilnya setelah berucap terimakasih. Berdiri sejenak di sana menunggu ia berlalu untuk juga segera pulang ke tempatnya tinggal. Berbalik badan, ingin segera sampai di unit apartemenku di lantai sebelas, tiba-tiba aku di kejutkan dengan kehadiran Sadam disana.

"Siapa tuh?" wajahnya penuh selidik, menatap ke arah jalanan yang mana mobil Haidar saja sudah tidak ada disana.

"Haidar. Temen waktu SMP." Jawabku, berdiri di depan lift menekan tombol disana. "Tumben udah pulang? Gak nongkrong dulu?" sambungku sambil melirik singkat ke arah Sadam yang berdiri di sebelahku.

"Enggak." jawabnya singkat. "Aku mau cerita!" ia mengikutiku masuk ke dalam lift saat pintunya sudah terbuka lebar. "Lagi capek gak?" manusia satu ini memang kadang banyak bicara jika tengah excited dengan sesuatu.

"Cerita apa?" sahutku datar. "Pilihin cewek lagi?" bukan hanya tebakan. Ini adalah hal yang sudah berkali-kali terulang sejak kami SMA. 

"Tahu aja!" lengannya menyebrangi pundakku, jemarinya mengacak rambutku.

Aku menyingkirkan lengannya dari pundakku, "Gak usah rangkul-rangkul, berat!" kemudian kami keluar dari lift setelah benda berbentuk kubus itu mengantarkan kami di lantai sebelas di mana dua unit apartemen kami berada. Sadam masih mengikutiku masuk ke dalam ruangan yang ku anggap 'rumah'ku selama di Jakarta. 

Aku melempar tasku sembarang dan menjatuhkan diri di atas sofa, sedangkan Sadam langsung menuju pantry, mengambil dua buah gelas dan mengisinya dengan air putih. "Yang dua minggu lalu kamu kasih lihat fotonya sama aku itu kenapa emang? Siapa namanya? Rena? Hena?" aku berusaha mengingat siapapun nama perempuan cantik yang tempo hari Sadam tunjukan fotonya sepulang ia dari party dengan teman-temannya.

"Dena!" Ia menyodorkan satu gelas ke arahku. "Simpenan om-om. Ngeri ah!" jawaban Sadam kali ini membuat aku yang tengah meneguk air putih yang di berikannya terbatuk, tersedak.

"Kalau mau dapet cewek yang baik-baik ya nyarinya jangan di club lah! Kok bodoh.." aku beranjak dari sofa untuk kemudian masuk ke dalam kamar, meninggalkannya duduk sendirian di sana. "Aku mandi dulu!" teriakku sebelum menutup pintu kamar. 

Sehabis mandi, nampaknya Sadam sudah pulang ke apartemennya karena tak ku dapati ia di ruang tengah. Namun perkiraanku salah. Baru saja aku duduk dan menyalakan televisi berniat menonton series One Piece yang belum rampung ku tonton, Sadam kembali dengan dua kantong plastik berisi makanan juga minuman dingin.

"Taraaaa" ujarnya saat sudah menutup kembali pintu apartemenku. "Nih aku pesenin makanan favorite kamu, soalnya aku juga lagi pengen makan ini.." ia membuka kantong plastik dan mengeluarkan dua kotak berisi nasi dan ayam pedas dengan saus keju sebagai cocolannya. Kalian pasti tahu nama brandnya apa.

Aku memutar bola mata menanggapi ucapannya sebelum merosot turun, duduk di atas karpet. "Yeee, ini mah judulnya kamu yang emang pengen! Bukan beliin aku!" tanganku sibuk membuka plastik lain yang berisi minuman dingin berwarna pink.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang