Berbagi

241 23 25
                                    

Pagi ini aku sengaja mendiamkan Sadam sejak bangun tidur pagi tadi hingga saat ini ketika kami duduk di depan meja makan bersama Ayah dan Ibu untuk menikmati sarapan.

"Sadam masih belum boleh makan makanan yang tekstur nya keras kan ya? Nih ibu beliin bubur ayam di depan tadi sekalian cari donat gula.." ujar ibu.

"Makasih ya bu.." jawab Sadam.

Ayah yang sedari tadi hanya memperhatikan kami terlihat mengerutkan keningnya. "Ini kalian kenapa? Berantem? Di perhatiin dari tadi kok kayaknya diem-dieman?"

"Gak apa-apa Yah.. lagi gak mood aja!" Jawabku sekenanya, menyuapkan sereal ke dalam mulutku kemudian menyambar donat gula yang ibu letakkan tepat di sebelah mangkuk serealku.

"Gak boleh gitu ah, gak baik.. kalau ada masalah tuh ya di bicarain baik-baik.. selesaikan saat itu juga jangan di biarin keruh terus berhari-hari.." ujar Ayah. "Namanya hubungan, masalah mah ada aja.. tapi kembali ke masing-masing orangnya.. mau nyerah sama masalah atau bikin masalahnya 'menyerah'?!" Sambungnya.

Aku mengendikkan bahu.

"Salah Sadam sih Yah.. gak mau dengerin saran dari Sher.." aku sedikit terkejut mendengar Sadam mau menjelaskan apa yang menjadi masalah kami kali ini. "Maaf ya neng.." ujarnya kemudian membuatku terbatuk karena tersedak.

"Owalaaah.. Sher... Sher... Kasih pendapat ya boleh, tapi jangan memaksa.. gak baik kayak gitu.."

"Dari kecil sampe sekarang karakter yang itunya gak hilang-hilang.." ibu kali menggelengkan kepalanya. "Obatnya Yah.." kemudian meletakkan beberapa butir obat di hadapan Ayah.

"Aku kasih saran juga kan demi kebaikan Sadam.. bukan saran yang menyesatkan.." aku tidak bisa jika tidak membuat pembelaan "lagian aku gak masalah saranku di tolak. Yang jadi masalah, Sadam gak mau aku terlibat sama urusan keluarganya.. kalau kayak gitu mana bisa aku jadi istrinya? Dari sekarang aja udah tertolak kan?!" Suara sendok dan mangkok yang beradu cukup menandakan jika aku menahan kesalku mati-matian pagi ini.

"Udah siap jadi istri emangnya?!" Ayah menggodaku dengan ucapannya.

"Gak lucu Yah!" Jawabku, mendelik.

"Bukan gitu loh Sher maksud aku.." ujar Sadam berusaha menjelaskan lagi, yang aku tahu penjelasannya pasti akan sama dengan apa yang dia ucapkan semalam. Sedangkan ibu dan ayah mengamati perdebatan kami.

"Ya terus apa maksudnya? Bener dong kata aku? Kamu gak mau aku ikut pusing sama urusan keluarga kamu kan?! Dari situ aja udah jelas kamu membatasi aku biar gak masuk terlalu jauh.. sedangkan pernikahan itu bukan cuma tentang aku sama kamu Dam!"

"Sher, akan ada waktunya untuk itu.. untuk sekarang, mereka biar jadi beban aku aja.." saat ini kami berdebat seolah tak ada ibu dan Ayah di dekat kami.

"Kapan waktunya? Nanti kalau sudah resmi menikah? Gimana ceritanya adaptasinya baru nanti setelah menikah?!"

"Eekheeemmm..." Ayah dan ibu berdehem berbarengan, membuatku menoleh menatap keduanya bergantian.

"Udah bahas nikah-nikah aja.. udah nentuin tanggalnya memang?" Tanya ibu.

Aku reflek menggeleng, apa yang aku dan Sadam bicarakan sepertinya terlalu jauh. Padahal jika di ingat boro-boro nentuin tanggal, kami membahas soal menikah saja belum.

"Udahlah, aku kenyang!" Aku beranjak dari tempatku menuju kamar di lantai dua. Membereskan pakaian kotor milikku dan Sadam dan bersiap untuk kembali ke jakarta.

***

Sepanjang perjalanan menuju Jakarta aku sama sekali tidak bersuara. Sedari tadi hanya Sadam yang terus bertanya tanpa ku jawab.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang