Satu Tuju

230 24 34
                                    

"Hallo Sher?" Suara ibu terdengar saat aku menempelkan handphone pada telingaku pagi ini. Dengan segera aku beringsut bangun menatap jam dinding. Ada apa ibu pagi-pagi buta begini?

"Kenapa bu?" Tanyaku.

"Baru bangun ya?" Tanya ibu kemudian aku mengangguk percuma, ibu tak melihatnya. "Ibu udah on the way ke Jakarta nih sama Ayah.. dua jam lagi lah kira-kira sampe sana.."

Tunggu! Apa aku melupakan sesuatu? Aku gak merasa ada janji sama ibu dan ayah di weekend ini. Tanganku menepuk Sadam yang masuh terlelap membelakangiku kemudian mengguncangnya pelan.

"Ada apa bu? Kok gak bilang dari semalem?"

"Loh, ketemu anak sendiri harus atur waktu juga ya sekarang? Harus ada apa-apa dulu gitu baru boleh berkunjung?"

"Ya enggak gitu.. nanya aja.. kan tumben ibu sama ayah tiba-tiba ke Jakarta.." jawabku. Sadam di sebelahku terlihat mengerjapkan matanya dengan wajah bingungnya, jangan lupakan rambutnya yang berantakan.

"Ada yang mau ibu sama ayah bicarain.. nunggu kamu pulang ke Bandung tuh lama Sher.. jadi ya sekali-kali ayah sama ibu aja yang ke Jakarta, sekalian nengok kalian kan?! Gak usah repot siapin apa-apa, ibu bawa makanan dari Bandung kok.."

"Ya udah deh bu, hati-hati yaa.."

"Iya sayang.. sampai ketemu nanti.." kemudian ibu menutup teleponnya.

"Bangun! Ibu sama ayah mau dateng.. udah di jalan.." aku turun dari atas kasur kemudian menarik bedcover untuk merapikannya.

Dengan malas Sadam mengikuti ucapanku, tanpa di minta ia membantu merapikan bantal tanpa bereaksi apapun.

Dan sejak ibu dan ayah sampai di apartemenku, selalu terlihat tatapan menyelidik dari ibu. Kenapa? Mencurigai sesuatukah?

"Jadi gimana Dam?" Tanya Ayah saat kami baru selesai menyantap sarapan yang di bawakan ibu jauh-jauh dari Bandung.

"Ih ayah, pake aba-aba dulu dong.. tuh lihat, anaknya bingung.." ibu menunjuk ke arahku hanya dengan tatapannya sambil merapikan piring-piring kotor di meja.

"Urusan Ayah kan sama Sadam Bu.." celetuk Ayah.

"Apa sih? Kenapa? Urusan apa nih?" Tanyaku bingung.

"Ya ini, jadi gimana tuh habis pulang dari Yogya kemarin Dam?!" Lagi-lagi pertanyaan Ayah tertuju pada Sadam. Clue nya sudah sangat jelas, kali ini aku tebak kemana arah perbincangan mereka ini.

"Ya, Sadam sih maunya sesegera mungkin buat nikah Yah.." meski sudah bisa menebak, aku yang tengah meneguk air putih saat ini auto tersedak karenamendengar ucapan Sadam yang dengan sangat ringan itu terlontar dari mulutnya.

"Ya ampun Sher.." ucap ibu saat melihat aku berlari ke arah sink. Kalian tahu rasanya ketika minum lalu air keluar lagi dari hidung kalian? Nah!

"I'm oke!" Teriakku.

"Jadi mau kapan?" Ayah melanjutkan pertanyaannya.

"Mungkin tujuh-delapan bulan lagi dari sekarang?" Kali ini aku ikut menjawab.

"Sher, kelamaan.." sahut Sadam menatapku penuh protes.

"Loh? Pertimbangannya kan bayi nya Livia, Dam.." 

Sadam terlihat berpikir, menatap ayah sebentar "Ya tiga empat bulan lah bisa."

"Yang bener aja?! Delapan bulan, setahun lah paling cepet!" Aku beranjak menuju sofa, berpindah tempat duduk.

"Malah makin mundur sih Sher?" Kali ini suara ibu yang memprotes.

"Bu, itu apartemen Sadam aja belum ada yang sewa, gimana ceritanya tiba-tiba nikah?!" Baru saja berniat merebahkan diri di sofa ku urungkan. Kembali duduk tegak menatap tiga manusia yang juga balas menatapku. "Lagian kenapa tiba-tiba mau nikah cepet-cepet sih Dam?!"

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang