Percaya

235 26 21
                                    

"Maksud kamu??" tanganku yang sedari tadi sibuk mengusap surai hitam Sadam seketika berhenti "Salah??" tanyaku lagi.

Sadam mengangguk kecil kemudian menyamankan lagi posisi berbaringnya. "Kamu sadar gak dari awal, gak ada kepercayaan di hubungan kita.. entah kamu ke aku atau aku ke kamu.." Sadam kemudian meraih tanganku yang berdiam di kepalanya untuk ia taruh di dadanya. "Bahkan dari sebelum kita berubah status pun kamu udah sering curigain aku Sher.."

Sejenak aku berpikir, benar apa yang di ucapkan Sadam. Sejak kami berubah status, selalu dibarengi dengan kecurigaan satu sama lain. "Ya gimana, penyebab kecurigaannya juga kan berasal dari kamunya juga.." aku reflek menepuk-nepuk pelan dada Sadam. "Gitu juga kamu ke aku kan?"

Lagi, Sadam menggeleng "Kalau aku ya karena emang cemburu aja.. aku tahu kamu gimana.. tahu juga kalau cowok-cowok itu gak ada arti apa-apa buat kamu.. tapi kamu di mata mereka bisa jadi 'lain'.. kamu kan gak tahu persis isi hati sama pikiran mereka.. contohnya Nathan, gak salah dong aku cemburu sama dia?!"

"Ya terus maunya kamu sekarang ini kita gimana kalau kamu ngerasa hubungan kita ini salah?? Udahan? Balik jadi temen biasa??" Pertanyaanku kali ini sontak membuat Sadam bangun dari posisi berbaringnya dengan sedikit meringis, merasa nyeri di bagian perutnya. "Pelan-pelan Dam..." Aku mengusap bahunya, berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakitnya.

"Sejak kapan kita jadi temen biasa?? Jadi sebelumnya kamu nganggapnya begitu ya? Padahal buat aku kamu tuh prioritas aku.. gak inget waktu aku di putusin Kirana gara-gara pulang tiba-tiba setelah terima telepon dari kamu?! Gak inget waktu aku pulang kantor lebih cepet cuma gara-gara kamu gak bisa pasang gas?! Lupa gimana emosinya aku waktu liat Hai-" aku menempelkan jariku di depan mulutnya yang berbicara tanpa jeda.

"Aku inget Dam.. aku tahu.." ujarku kemudian.. "yang aku tanya, kamu mau kita sekarang gimana??"

Sadam menyandarkan tubuhnya, menggeleng pelan. "Bisa gak sementara cukup kita berdua dulu aja??" Sadam menoleh menatapku. "Menurutku, kita butuh waktu buat bangun kepercayaan satu sama lain.."

Aku menghela nafas, ikut bersandar di sofa "gimana ceritanya sih kayak gitu Dam? Aku kerja kamu juga kerja.. mana bisa cuma kita berdua aja??"

Sadam menggeser duduknya mendekat, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. "Kamu libur kan dua minggu ini? Aku juga sama.. bisa gak dua minggu ini cuma kita??" Aku ikut menyandarkan kepalaku di kepalanya. "Dua minggu aja..." Ujarnya terdengar putus asa.

"Kok dua minggu aja? Setelah dua minggu ini terus udah?" Aku menegakkan lagi posisiku begitu juga dengan Sadam.

"Ya gak gitu Sher.." lalu Sadam berdiri, melangkah ke arah dapur. Mengambil gelas lalu mengisinya dengan air putih. Aku mengikutinya, berniat melanjutkan kegiatanku sebelumnya, memasak bubur untuk Sadam.

Aku nyalakan lagi kompor lalu sibuk mengaduk-aduk bubur yang masih berbentuk nasi di dalam panci. "Kamu beneran cinta gak sih sama aku??" Tiba-tiba Sadam bertanya, berbarengan dengan tangannya yang melingkari perutku.

"Kok gitu nanyanya?!"

"Ya kamu gak pernah panggil aku pakai sebutan lain selain Dam?!"

Aku terkekeh. "Gara-gara itu di anggap gak cinta?! Aku cuma perlu waktu buat adaptasi sama kita yang sekarang.." Sadam yang menyandarkan dagunya di pundakku kali ini justru menenggelamkan wajahnya di tengkukku. "Ya udah mau di panggil apa? Sayang? Cinta? Baby? Honey? Sweety?"

"Ya gak gitu jugaaaa.." Sadam tiba-tiba melepaskan pelukkannya di perutku.

***

"Sayaaaang... Makan yuk, udah waktunya minum obat.. nanti lanjut tidurnya.." aku menepuk pipi Sadam yang sepertinya ketiduran di sofa.

Yang di bangunkan mengembangkan senyumnya "gitu kek dari kemarin pas di rumah sakit kan enak dengernya.." ujarnya dengan suara serak. "Suapin!" Ucapannya kali ini terdengar seperti perintah.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang