Beban

223 22 23
                                    

"Iya mii.. iyaa nanti Sadam transfer.." aku dengan jelas bisa mendengar suara Sadam di dalam kamarku tengah menelepon maminya.

"Berapa? Ya udah nanti sekalian ya mii.. iya sekarang mi.. malem ini juga Sadam transfer.." sambungnya. Entah apa yang di bicarakan maminya di seberang sana, yang aku simpulkan ini urusan uang.

"Mii.. aku neleppn tuh buat bahas- oh oke mii..ya udah nanti Sadam telepon lagi.."

Aku urungkan niatku untuk masuk ke dalam kamar. Turun kembali ke lantai bawah. Duduk di ruang tengah, bingung harus berbuat apa.

"Sher, belum tidur??" Tanya ibu yang keluar dari kamar dengan membawa botol minum milik Ayah.

Aku menggeleng. "Sadam mana?" Ibu melirik ke arah tangga lalu kembali menatapku.

"Di atas, di kamar.. lagi nelpon maminya.." jawabku. "Bu, aku mau tanya.." ibu yang berniat mengisi air minum untuk ayah itu pada akhirnya duduk di sebelahku.

"Kenapa nak? Mukanya gak enak gitu.." ibu mengusap rambutku yang terurai.

"Keluarga Sadam tuh gimana sih bu? Ibu tahu Sadam punya saudara seumuran dia tapi beda ibu? Maminya Sadam orang yang seperti apa? Jujur aku lupa, bahkan inget wajahnya juga samar-samar.."

Ibu mengangguk-anggukan kepalanya "ibu tahu semuanya.. sudah dari dulu papinya Sadam begitu, nyeleweng.. tapi ibu yakin Sadam anak baik.."

"Ibu tahu, Sadam banyak mendam masalahnya sendirian selama ini?? Sadam gak sebahagia itu loh bu.. jauh dari sebelum papinya meninggal, aku rasa dia sudah di tuntut untuk menjadi mandiri sejak kecil.." aku bersidekap, bersandar pada sofa.

Ibu menghela nafasnya. "Yang ibu tahu, Sadam itu anak dari hasil diluar nikah.. saat sidang pernikahan, mami sadam sudah mengandung dua bulan.. tujuh bulan kemudian Sadam lahir dan di akui sebagai bayi prematur.. Mami Sadam sejak dulu sibuk mengejar karir, Sadam ya di titip di rumah kita, itulah kenapa banyak sekali foto masa kecil kalian.." Jika kalian lupa, Ayah dan Papi Sadam adalah Abdi Negara, itulah mengapa harus melalui sidang pengajuan nikah sebelum akhirnya melangsungkan pernikahan.

Mendengar penjelasan ibu, rasanya hatiku seperti tersayat. "Tapi kok bisa pengajuan nikah nya di setujui padahal jelas sudah 'isi'? Sadam tahu soal ini??" Tanyaku penasaran.

"Kalau itu sih ibu kurang tahu Sher.." Jawab ibu sambil menghembuskan nafasnya, seolah ikut merasa lelah dengan kisah hidup keluarga Sadam.

"Tadi aku gak sengaja denger Sadam teleponan sama Maminya.. kayaknya di minta transfer uang.. selama ini aku gak pernah tahu tuntutan apa aja yang Sadam dapet dari maminya itu.." ibu kembali menyimak ceritaku dengan seksama. "Adiknya Sadam, menikah juga karena hamil duluan bu.. beberapa bulan yang lalu.. ibu tahu?"

"Maminya Sadam sempet cerita kalau Livia udah nikah.. tapi gak bilang juga kalau kayak gitu kejadiannya."

"Nanti, seandainya aku nikah sama Sadam.. aku juga akan ikut-ikutan ngalah terus dong bu buat mami sama adiknya dia?! Aku ragu, gak yakin sanggup.." aku menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa, menatap atap rumah, berpikir akan bagaimana kehidupanku jika jadi menikah dengan Sadam kelak?

"Sher, yang namanya anak laki-laki itu, seumur hidupnya tetap jadi anak ibunya, bertanggung jawab atas ibu dan saudara perempuannya. Surganya juga tetap ada di kaki ibunya, berbeda sama kamu ketika menikah, surgamu ada di suamimu.. tanggung jawab atas dunia dan akhiratmu juga berpindah ke suamimu bukan lagi di ayah atau ibu.." ibu mengusap-usap lenganku.

"Gimana mau ngebangun rumah tangga yang bahagia sih bu kalau terus di recoki begitu? Aku denger Sadam barusan aja rasanya ikut kesel, gimana nanti?!" Aku menegakkan lagi badanku.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang