Prasangka

248 25 34
                                    

Air mataku masih saja sesekali mengalir. Rasa kesal masih bergumul di sudut hati meski berkali-kali Sadam berujar jika Erica hanya temannya.

"Kalau di depan banyak orang aja dia berani kayak gitu, gimana kalau situasinya cuma berdua? Aku gak tahu kamu beneran jujur atau enggak, gak tahu juga sekarang ini aku harus percaya atau enggak?!" Aku menatap Sadam yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit. "Selama ini banyak hal yang kamu tutupi dari aku, wajar kan kalau aku sekarang ragu?!" Aku mengusap lagi airmata yang baru saja turun, menimbulkan rasa hangat dan basah di pipiku. Sejujurnya aku sudah tidak ingin menangis, hanya saja air mataku memang sulit berhenti.

Sadam yang sedari tadi juga menatap ku terlihat menghela nafasnya. "Sher, beneran.. aku sama Erica itu gak ada apa-apa.. aku juga gak tahu kenapa tadi dia tiba-tiba cium aku kayak gitu.." lalu Sadam terdiam sejenak, berpikir sebelum berujar kembali "kita impaslah, satu sama.. kamu juga di cium Haidar waktu itu.. di gigit lagi.."

Reflek aku memukul pahanya, bisa-bisanya insiden mengerikan itu dia jadikan pembanding. "Jahat banget kamu! Situasinya aja beda!!" Dan lagi-lagi pipiku basah.

"Udah dong nangisnya.. muka kamu udah sembab gitu, mata mu bengkak loh ituuu.. besok pagi pas dokter visit bisa-bisa diledekin kamu tuh.. pacarnya operasi doang nangisnya sebegitunya.."

"Sadaaammm!!!" Kesal. Kali ini aku beranjak, berdiri dari kursi yang ku duduki di samping ranjang, berniat menjauh dari Sadam sebelum akhirnya ia menarik tanganku, membuatku terduduk di tepi ranjang "Lepasin gak?!" Protesku, namun kemudian tangan kiri Sadam yang di pasangi infus itu menahan tengkukku dan dalam hitungan detik, bibirnya mengecup bibir tipisku. Membuatku membulatkan mata, kaget.

"Maaf ya buat kejadian tadi.." ujar Sadam setelah melepas kecupannya. "Aku berani sumpah, aku sama Erica gak ada apa-apa.." bisiknya di depan wajahku, iris cokelatnya menatapku dengan penyesalan yang tersirat.

Ciuman pertamaku dengan Sadam yang berlangsung secara tidak romantis barusan membuatku terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi namun lain dengan jantungku yang tiba-tiba memompa darah lebih cepat,

"Sher?!" Sadam sedikit mengguncang tubuhku, membuatku sedikit mengerjap. "Kamu kenapa?!" Tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, lalu reflek memegang tangan dengan infusan yang saat ini sibuk mengelus pipiku. "Astagaa! Darah!!" Pekikku saat melihat cairan merah yang justru mengalir ke arah atas. "Kamu tuh tangannya bisa diem gak sih?! Darah nya naik itu!" Lalu aku menekan tombol untuk memanggil suster.

"Gini doang Sher.. gak sebanding sama nangisnya kamu.." tak lama seorang suster masuk untuk membetulkan aliran infus di tangan Sadam dan sesaat menatapku heran sebelum akhirnya keluar lagi dari ru BBangan.

"Nah kan, suster aja ngeliatin kamu begitu.. sembab banget mukanyaaa.." tangan kanan Sadam terulur mengelus pipiku.

"Gara-gara kamu!" Aku mencebik kesal. Kembali duduk di kursi samping ranjang.

"Tapi aku heran deh, mereka tahu aku disini dari siapa ya?! Aku aja gak pegang-pegang handphone dari kemarin?!" Tanya Sadam.

"Nathan.. dia marah tahu gara-gara kamu usir.."

"Marah?! Sama aku?"

"Kita, Dam.." setelahnya aku menceritakan apa yang terjadi tadi saat teman-teman Sadam yang entah siapa saja itu datang.

"Nathan naksir kamu kayaknya." Aku menggenggam tangan Sadam yang sedari tadi masih terus sibuk mengelus pipiku.

"Naksir gimana?! Selama ini dia jadi tempat curhat kita?!"

"Sher, aku laki-laki.. dan lebih banyak waktu ngomongin kamu sama Nathan. Gak sekali kok dia bilang kalau dia mau sama kamu seandainya kita gak sedeket ini .. dan lagi, ngapain dia datengin orang banyak biar kita gak cuma berduaan aja sedangkan dia sendiri gak ikut gabung sama yang lain tadi?!"

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang