Aku mengernyit saat sinar matahari menembus kaca jendela di kamar melewati celah tirai tipis disana. Ku mendudukkan tubuhku, menatap jam dinding yang sudah menunjuk ke angka sembilan. Sadam pasti sudah berangkat kerja. Menurunkan kakiku yang terasa pegal, duduk sesaat di tepi ranjang mengingat-ingat kejadian semalam, namun sia-sia saja aku sama sekali masih belum bisa mengingat dengan detail semua kejadiannya.
Ada luka gores di pergelangan tanganku serupa cakaran saat aku beranjak menuju kamar mandi di dalam kamar setelah menyambar jubah mandiku. Menatap pantulan diriku di cermin, bisa kulihat jelas beberapa titik merah di sana, ulah Nathan. Astaga! Apa semalam aku nyaris berubah menjadi jalang?
"Sher???" Pintu kamar mandi di ketuk. Suara panik Sadam menyapa telingaku. "Sher? Kamu gak apa-apa? Sayang??" Teriakannya membuatku kembali membuka pintu kamar mandi.
"Erica cuma ninggalin noda lipstik di leher kamu, tapi Nathan?? Terus kamu masih bisa panggil aku sayang? Kamu gak marah Dam? Gak benci sama aku?" Tanyaku, tiba-tiba air mata itu kembali turun dari mataku yang masih sembab ini.
"Bukan kamu yang mau kan? Dia yang maksa kamu.. its oke.." betapa enteng ucapan Sadam terdengar, tanpa emosi. Tangannya bahkan terulur untuk mengusap air mataku "Kamu mau mandi? Pakai air hangat ya, abis itu sarapan, nanti kita obatin.." ucapnya, menerobos masuk ke dalam kamar mandi mengisi bathtub dan memastikan airnya cukup hangat.
"Kamu beneran gak marah?" Aku menahan tangannya saat ia kembali melangkah hendak keluar dari kamar mandi. Sadam menggeleng. "Sedikit pun gak marah?"
"Marahnya kan udah semalam, kamu sama sekali gak ingat ya? Udah gih mandi dulu.. abis itu sarapan.. aku kerjain kerjaan aku dulu.." Sadam kemudian menghentikan kembali langkahnya di ambang pintu, menoleh ke arahku yang berdiri mematung menatapnya "Bisa mandi sendiri kan sekarang?" setelahnya ia benar-benar berlalu meninggalkanku di saat pipiku terasa memanas karena pertanyaannya.
Duapuluh menit berlalu, bisa kulihat Sadam sepertinya tengah fokus pada laptop di hadapannya. Aku meraih tas yang ku gunakan semalam, mencari-cari dimana handphoneku berada.
"Sebelah tv Sher, aku charge tadi.." ucap Sadam seolah tahu apa yang aku cari saat ini. Saat kubuka lockscreennya ada beberapa notifikasi disana, salah satunya dari nomor asing yang kemarin mengirim foto Sadam bersama Erica. Ku abaikan. Beralih mencari kontak Vina untuk mengabari jika aku akan masuk jam dua siang nanti.
"Ada chat dari nomor asing tempo hari, gak usah di buka. Kalau perlu langsung hapus aja Sher.." ucap Sadam.
"Kamu tahu isinya apa? Chatnya sama sekali belum di buka.." jawabku.
"Aku yakin yang di kirimnya sama dengan apa yang dia kirim ke nomorku.." jawab Sadam.
"Apa?"
Kali ini Sadam beranjak dari tempatnya di depan meja makan, mendekatiku. "Foto, sama persis kayak waktu dia kirim fotoku sama Erica." Ucapannya kali ini membuatku membelalak. "Sini handphonenya biar kuhapus.." Sadam merebut benda itu dari tanganku dengan wajah yang mengeras. Marah? Tapi aku merasa wajar jika dia marah.
Tiba-tiba kepalaku mengingat jika semalam Sadam mengurusku hingga menggantikan pakaianku "Dam.. semalem, kamu gak a-"
"Apa-apain kamu? Enggak lah Sher, gantiin baju kamu aja aku mikir berkali-kali.." setelahnya Sadam kembali meletakkan handphone ku di samping tv, menyambungkannya lagi dengan aliran listrik untuk mengisi ulang baterainya.
"Di pahaku ada bekas cakaran.. mirip sama yang di pergelangan tanganku.. kamu tahu?"
Sadam mengangguk "kayaknya itu karena kamu masih sempat berontak.." ujarnya kemudian memijat pelipisnya pelan. "Maaf ya, aku beneran terpaksa gantiin baju kamu, gak tahu harus minta tolong siapa..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Future
Fanfiction"Ini kalau anak kita laki-perempuan sepertinya lucu ya jeng kalau nantinya kita besanan.." ujar wanita yang nampak jauh lebih dewasa dibanding wanita yang lain. Bu Ardiwilaga, beliau akrab di sapa seperti itu. Wanita disebelahnya tersenyum sambil me...