Kalimat dari tante Fanny rasanya terus menerus terputar ulang di kepalaku. Mengganggu fokusku bekerja hari ini hingga beberapa kali harus mencetak ulang beberapa approval desain karena aku lupa untuk mensetting ukuran kertasnya.
"Sher.. Sher.. dari tadi bolak-balik terus kayak setrikaan! Fokus makanya!" tegur Vina satu-satunya partner perempuanku di divisi Production House. "Lagi mikirin apa sih lo?"
"Hhhh..." aku menatap Vina sambil menunggu printer selesai mencetak semua file. "Kalau lo di hadapkan sama dua pilihan. Memulai dari nol dengan orang baru atau meneruskan dengan orang yang sudah lo kenal lama... Tapi konteks orang lama di sini bukan mantan ya Vin.. Lo akan pilih yang mana?" tanya ku. Tanganku meraih selembar kertas yang baru saja keluar dari mesin printer, memastikan kali ini hasil cetaknya tidak lagi keliru.
"Ya tergantung orangnya lah.. Tapiii... Kalau lo sama kayak gue, males buat mulai lagi sama orang baru, ya pilih si orang lama lah.." Vina kali ini mengambil satu kertas lain, ikut mengecek kesesuaiannya. "Sadam ya?" dengan mudah wanita yang umutnya satu tahun lebih tua dariku ini menebak.
"Kok Sadam?"
"Ya elah Sher.. orang yang baru kenal sama lo aja bakalan mudah nebak kalau Sadam orangnya.. dari cara lo cerita apapun tentang dia, ngomel-ngomel tentang apa yang terjadi sampe bikin lo jadi kurang tidur.. apalagi gue yang kenal lo udah hampir empat tahun ini?! Udah khatam!" jelasnya. "Elo tuh sayang sama dia Sher!! Lagian kalau nginget umur ya Sher, gue sih udah gak akan ragu lagi buat iyain perjodohan itu.. Secara nih kita tahu gimana keluarganya, dia juga sudah di terima dengan baik sama keluarga kita.. Ya apa lagi?" Vina menatapku sejenak. "Manusia itu bisa berubah Sher.. Lagian lo gak benar-benar tau gimana Sadam di luar.. Yang lo tau cuma judulnya aja.. Suka clubbing, minum, ganti-ganti cewek.. Tanpa lo tau persis apa yang dilakuin dia sebenernya, ada alasan apa di baliknya.."
Aku merapikan beberapa lembar kertas di depan mesin printer, masih berpikir apa yang seharusnya aku lakukan.
"Coba tanya hati lo.. Yang paham perasaan lo kayak gimana kan diri lo sendiri.. Tapi ya menurut gue, yang tadinya gak ada rasa aja seiring berjalan waktu ya jadi cinta juga kayak gue sama Ardana.." kemudian aku ingat, pernikahan Vina satu tahun lalu juga karena perjodohan.
"Tapi masa cewek duluan yang confess?? Gengsi lah!"
"Haduuuhh.. Jaman sekarang mah mau cewek atau cowok yang duluan gak masalah kali Sher! Kalau lo yakin ya kenapa enggak di coba dulu.. Kalau menurut gue sih Sadam lebih ke gak berani aja buat gerak duluan.. Lo nya aja under estimate dia mulu kayak gitu.." Vina saat ini sedang memisah beberapa hasil cetak kemudian ia pasangi paper clip. "Gak semuanya yang terlihat buruk itu benar-benar buruk Sher.." Vina menepuk bahuku, "lo kalo mau pulang duluan, duluan aja Sher.. gue mau kasih ini ke mas Haris dulu.."
Aku menatap jam dinding di ruangan kemudian kembali ke meja kubikelku. Meraih handphone yang tergeletak di samping mouse.
Sadam
Sher, aku udah di parkiran dekat pintu kafetaria ya..
21.10Bergegas merapikan meja kerjaku agar bisa segera pulang, di saat yang sama terdengar langkah kaki datang dan berhenti di belakangku.
"Sher.. Aku mau ngomong, sebentar.." suara itu. Iya kalian benar Haidar. Sulit untuk menghindarinya jika situasi kantor dan ruanganku sudah sepi. "Aku antar pulang sekalian ya?"
Aku membalik badanku dan mendapati Haidar berdiri tak jauh dari tempatku. "Sorry, gue di jemput Sadam hari ini.. Lagi pula lo mau ngomong apaalagi? Minta maaf? Udah gue maafin kok.. tapi buat balik lagi sama lo, gue gak bisa.. Gue gak suka sama cara lo nge-treat gue.." aku menyambar tas ku kemudian melangkah melewatinya dan segera masuk ke dalam lift ketika pintunya terbuka, masuk dalam kerumunan beberapa orang yang juga baru saja akan pulang.
Tiba di lantai satu, aku masih harus berjalan lagi menyusuri lorong dengan sedikit berlari kemudian menuruni anak tangga untuk sampai di kafetaria. Haidar di belakangku berusaha mengejar hingga usahaku sia-sia rasanya ketika ia berhasil menahan tanganku. Aku berusaha mencari Sadam tapi percuma penerangan di area ini begitu minim karena sedang dalam masa perbaikan.
"Apalagi sih? Lo mau apa?!"
"Sher, kasih aku kesempatan sekali lagi..."
"Kesempatan apa?? Gue gak mau HAIDAR!" kepalaku menengok ke kanan dan kiri berharap ada seseorang melintas disana, bahkan di dalam kafetaria pun saat ini sangat sepi, aku baru menyadari jika ini hari sabtu dan tidak semua divisi masuk kantor.
"Ikut aku!" Haidar menarikku paksa, melawanpun percuma saja tenagaku kalah besar dengan tenaganya.
"Lepasin gue! Gue mau balik!!!" teriakku sambil sesekali menghentikan langkahku namun lagi-lagi terseret.
"Gue anterin!"
"LO GOBLOK ATAU GIMANA SIH? GUE BILANG GAK MAU!!!" kali ini aku berteriak sebelum Haidar mendorongku kencang, membuat punggungku membentur tembok dengan keras hingga menimbulkan bunyi, sesaat nafasku terasa sesak dan tak bisa melakukan apapun ketika Haidar mengunci wajahku dan memaksa menciumku tepat di bibir membuatku memejamkan mata karena takut hingga suara teriakan Sadam dan suara pukulan keras itu mengusik indera pendengaranku. Sialnya sebelum Haidar melepasku ia sempat menggigit keras bibirku hingga dapat ku rasakan ada darah dalam mulutku. Setelahnya yang dapat ku lakukan hanya terduduk di tempat, menangis sejadi-jadinya atas apa yang baru saja terjadi.
***
"Sher, kita harus ke rumah sakit.. di visum mau ya? Kita lapor ke kantor polisi! memarnya luas loh ini.." Sadam berujar saat aku sibuk menempelkan es batu di dalam handuk kecil pada bibirku. Sedangkan ia baru saja selesai mengoleskan obat berbentuk gel yang mengandung bahan aktif heparin atau obat pengencer darah, yang dapat digunakan pada kulit yang memar atau cedera pada punggungku.
Tidak hanya memintaku visum untuk melaporkan Haidar pada pihak yang berwajib, Sadam bahkan memintaku untuk resign dari kantor selama Haidar berada di satu kantor yang sama denganku.
"Aku gak bisa tenang kalau kamu masih satu kantor sama dia.. sekarang begini, gimana kalau besok lusa dia bisa lebih nekat lagi?!" ujar Sadam kemudian ketika aku kembali mengenakan bagian atas piyamaku. "Kita harus cari rekaman cctvnya sebagai bukti. Karyawan psiko begitu gak bisa dong di biarkan tetap kerja disana?" dapat kulihat jelas kekhawatiran di wajahnya saat aku merubah posisi duduk kembali menghadapnya.
"Cctv disana mati, listrik di area luar itu lagi di benerin.." jawabku. Sadam kemudian mengusap wajahnya frustasi.
"Senin, managernya ada? Aku yang menghadap deh.. aku saksi mata kejadian tadi!" ia bersikukuh dengan keinginannya menyingkirkan Haidar dari kantor.
"Dam, ini masalah pribadi.. gak bisa di kait-kaitkan sama kerjaan.."
"Ya terus kamu mau pasrah aja gitu? Aku gak bisa ya!" nada suaranya sedikit meninggi.
Aku mencoba menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa, namun karena rasa sakit di bagian sana membuatku mengurungkan niat. Seperti sepanjang perjalanan pulang tadi aku sama sekali tidak bisa duduk dengan nyaman di mobil.
"Sakit banget kan punggungnya? Kenceng tadi tuh Sher.. Ayo ke rumah sakit, meski gak untuk bikin bukti visum.. periksa aja.."
Aku menghela nafas, sejenak berpikir. Inikah waktunya untuk aku mengutarakan semua? "Dam, kenapa kamu sekhawatir itu sama aku?" Sadam menatapku dalam, ada raut sedih di antara kekhawatirannya.
"Ya karena kamu bagian dari hidup aku, kita sahabatan dari bayi Sher.."
"Gak ada alasan lain selain itu? Karena aku kayaknya gak bisa kalau bukan kamu.." sesungguhnya ini di luar rencanaku. Pikiranku masih menolak untuk ini, tapi jika mengingat kejadian tadi, melihat untuk ke dua kalinya bagaimana Sadam begitu penuh emosi ketika menjauhkan Haidar dariku, aku jadi sadar tidak ada satu pun manusia lain yang mau melakukan itu untukku dan tidak ada manusia selain orang tuaku yang mengkhawatirkanku sebegininya. Kali ini, kubiarkan perasaanku memenangkan pertandingan, apa pun jawaban yang akan kudengar dari Sadam akan kuterima sekalipun mungkin ini akan merusak kedekatan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Future
Fanfiction"Ini kalau anak kita laki-perempuan sepertinya lucu ya jeng kalau nantinya kita besanan.." ujar wanita yang nampak jauh lebih dewasa dibanding wanita yang lain. Bu Ardiwilaga, beliau akrab di sapa seperti itu. Wanita disebelahnya tersenyum sambil me...