Luka (1)

237 25 15
                                    

Sabtu tengah malam, tiba-tiba pintu apartemenku diketuk dengan berisik, kalian tidak salah jika menebak itu adalah Sadam karena penghuni di sini hanya dia yang aku kenali. Apalagi tengah malam begini, cuma dia yang berani mengganggu waktu tenangku. Aku berjalan mendekati pintu, namun kemudian menyadari ada dua suara ketukan berbeda di pintu, satu ketukan dengan ritme cepat dan satu lainnya adalah entakkan keras yang berjeda.

"Sebentaaarr!!!" teriakanku membuat satu ketukan yang bertempo cepat itu berhenti, tidak dengan yang satunya. Sadam datang dengan siapa kira-kira? "Apa- - -Astaga!!" aku merasa sangat terkejut kali ini. Bukan hanya sekali aku menerima kepulangan Sadam dengan keadaan mabuk. Namun kali ini kondisinya juga babak belur di beberapa bagian wajahnya. Sudut bibirnya berdarah, ujung mata kanannya nampak merah keunguan dan sepertinya pendarahan di hidungnya baru saja terhenti karna hanya menyisakan jejak merah darah yang sudah di usap disana. Tuhan! Manusia begini kapan taubatnya sih?! 

Bau alkohol menguar, menusuk indera penciumanku saat Sadam dan temannya yang aku tahu bernama Nathan itu melangkah mendekatiku. Namun kemudian aku menahan keduanya.

"Di sana aja! Di unitnya dia!" Aku tidak mau terulang lagi kejadian Sadam memuntahkan isi perutnya di atas karpet seperti yang sudah-sudah. Nathan yang sepertinya tidak mabuk itu akhirnya mengikuti arahanku. Memapah Sadam ke arah unit apartemennya.

"Haduhhhh.. badan doang gede! Kalau mabok nyusahin aja lagi!" gerutuku saat sedang membuka pintu apartemennya setelah mendapatkan kunci dari dalam slingbag yang Sadam bawa. "Ini babak belur kenapa? Gak mungkin cuma karena minum dia sampe begini kan Than?" cecarku pada Nathan. Bisa di bilang ini kali pertama aku melihat Sadam babak belur begini, setahuku Sadam tidak pernah suka yang namanya adu fisik.

"Gue juga gak tahu jelasnya gimana. Gue sama sekali gak ada di tempat kejadian Sher karena emang lagi gak pengen ikut, tiba-tiba aja di telepon anak-anak yang lain buat bantu bawa dia pulang. Tapi keterangan yang lain sih dia tiba-tiba nyerang pengunjung sampai akhirnya di keroyok." Nathan menidurkan Sadam di atas sofa yang bentuknya sama persis seperti yang ada di unitku, hanya berbeda warna saja.

"Hadeuuhh... jadi gue yang pusing! Tapi makasih ya lo udah mau bantuin Sadam, Than.." Nathan hanya mengangguk dengan wajahnya yang nampak kelelahan. Ya kalian bayanginlah, dari basement terus ke lobi, masuk lift hingga akhirnya sampai ke tempat dimana kami berada, Nathan harus memapah manusia yang punya badan cukup berisi dengan keadaan setengah sadar, meski badan Nathan jauh lebih tinggi di banding Sadam, namun perawakannya jauh lebih kurus, kebayang dong beratnya jadi Nathan kayak apa?! Kalau jadi Nathan sih ogah ya bantuinnya! "Terus ini, lo balik gimana Than?" tanyaku karena tahu mereka pulang dengan mobil milik Sadam.

"Ya pakai ojek online paling, balik ke bar buat ambil motor di sana." jawab Nathan.

"Pakai mobil Sadam aja. Besok atau lusa biar dia ambil ke tempat lo. Gak apa-apa nanti gue yang ngomong. Kurang ajar aja kalau dia marah-marah karena mobilnya lo bawa!" setelah berpikir sejenak akhirnya Nathan menyetujui saranku. Membawa mobil Sadam untuk kendaraannya pulang ke rumah.

Lalu apa yang harus aku lakukan pada Sadam yang tampak nyenyak terlelap di sofa sekarang? Menyeka badannya? Mengobati lukanya? Atau biarkan saja dulu lalu aku kembali lagi besok pagi? Melihatnya aku tidak tega, tapi ada kesal juga rasanya! Aku masih berdiri dengan jarak beberapa langkah dari sofa setelah mengantarkan Nathan tadi. Mengedarkan pandanganku ke sekeliling apartemen yang luasnya sama persis dengan yang aku tempati, hanya saja kondisinya tidak serapi unitku. Aku lupa kapan terakhir kali aku berkunjung ke apartemen Sadam lalu berakhir membantunya merapikan semuanya. mungkin lima, enam atau tujuh bulan lalu? Satu lagi yang baru aku sadari, ada puntung rokok juga abunya yang nyaris memenuhi asbak. Aku baru tahu juga jika Sadam sekarang menjadi perokok berat! Sejak kapan ya? Astaga banyak hal yang aku lewatkan sepertinya!

Saat aku masih sibuk dengan pikiranku, samar aku dengar Sadam bergumam. Entah apa yang dia ucapkan, tidak begitu jelas. Kemudian dia terbatuk, yang aku ingat dari kejadian sebelumnya biasanya setelah terbatuk begitu ia akan muntah dan yang aku tahu dari google, orang mabuk tidak boleh di biarkan tidur terlentang karena akan menyebabkan ia tersedak jika muntah. Baiklah, terpaksa aku mendekat ke arahnya berniat menggeser posisi nya agar bisa tidur miring meski aku yakin tenagaku tidak cukup kuat untuk itu, tapi akan kucoba membangunkannya dulu.

Saat tanganku akan menepuk pipinya, rasanya bingung. Pipi yang mana yang bisa ku sentuh? Yang kiri nampak merah dan sepertinya sudut bibirnya ada luka cukup besar karena berdarah disana. Sedangkan pipi kanannya tampak merah keunguan dari tulang pipi hingga ujung matanya. Akhirnya aku putuskan untuk mengguncang tubuhnya saja.

"Dam, miring Dam!" aku mengguncang kedua pundaknya dengan posisiku yang membungkuk di sampingnya. "HEH! Bangun!" ujarku saat Sadam hanya melenguh. "Dam!!" Aku menyerah kemudian duduk di lantai, bersandar pada sofa dimana Sadam terbaring di belakangku. Bau alkohol sudah tak lagi aku pedulikan. "Kamu tuh mau sampe kapan sih kayak gini? Buang-buang duit cuma buat beli minuman yang bikin kamu kayak gini! Ada uang tuh di tabung loh Dam! Inget Mami kamu di Yogya! Buat biaya kuliah Livia juga kan! Pantes kamu dapet cewek tuh yang begitu-begitu terus, sekalinya ada yang bener di putusin tiba-tiba juga kan!!" Aku mengoceh tanpa tapi. Hingga terdengar suara kain yang bergesekan dengan sofa di belakangku, Lalu aku melihat jelas dua kaki Sadam berada di kanan-kiri badanku.

"Aku gak mabuk Sher.." ujarnya. Lalu berat di atas kepalaku saat Sadam menyandarkan dagunya di sana. Dua tangannya melingkar ke depan dadaku dan aku baru menyadari ada luka juga di buku-buku jarinya. "Minum sih iya, tapi bau alkoholnya karena kena tumpahan waktu aku di keroyok tadi.." sambungnya. 

Kemudian hening sejenak.

"Livia...-" Sadam menjeda katanya dan sukses membuatku tercengang setelahnya "-hamil.." Aku mengatur reaksiku agar tidak terkejut berlebihan dan berusaha tetap membiarkan Sadam bercerita. "Kesal baca chat dari Livia, aku ninju meja kaca disana. Terus nyerang orang random disana." dan bisa-bisanya Sadam terkekeh setelahnya. "Livia kabur dari rumah, dia minta tolong aku buat bisa bawa dia ke Jakarta. Aku belum jawab apa-apa, rasanya kecewa. Aku biayain dia kuliah, tapi balasannya kok begini. Dia juga gak pikirin mami. Kalau dia di jakarta, mami mau sama siapa di Yogya sana? Bakal gimana kecewanya mami kalau tau Livia kayak gitu?" Sepanjang aku mengenali Sadam, ini kali ke duaku mendengar ada kesedihan di nada bicaranya meski aku tak menatap wajahnya dan membaca lewat matanya. Aku menghela nafas kasar, namun tetap membiarkan Sadam dalam posisinya.

"Aku harus apa sekarang Sher? Aku bingung.. Aku gagal jadi anak. Gagal jadi abang yang baik buat adikku satu-satunya. Andai papi masih ada, sengamuk apa papi Sher?" Sadam menangis tanpa aku bisa melakukan apapun untuk menenangkannya selain mengusap lengannya yang ada di depanku.

Jika ini bukan hal sensitif, rasanya aku ingin memaki Sadam agar ia sadar, ini karma! Ia kecewa dengan adiknya, tapi ia tak pernah tahu apakah almarhum papinya bangga melihat dia yang sekarang menjadi versi dia yang lebih negatif dari dia yang dulu, saat papinya masih ada. Aku tahu kalian akan bilang, Sadam masih sangat manis memperlakukanku. Iya, aku pun tahu akan hal itu, sifat Sadam pada orang-orang tersekatnya tidak pernah berubah. Tapi seseorang akan di nilai dari lingkungan pergaulannya bukan? Ada pepatah yang mengatakan begini, kalau ingin berbau wangi, maka bergaul lah dengan para penjual minyak wangi. Dan kalau Anda ingin berbau minyak tanah, maka bergaul lah dengan para penjual minyak tanah. Karena lingkungan itu menular dan lingkungan itu pelan-pelan akan mengubah dirimu.

Perlahan Sadam melepas pelukannya saat aku menyodorkan beberapa lembar tissue saat merasa air matanya menetes di atas kepalaku. Setelah itu aku beranjak dari tempat dudukku, mencari wadah apapun yang bisa aku gunakan untuk menampung air hangat agar aku bisa mengompres wajah Sadam. Namun sia-sia saja. bahkan di sini hanya ada beberapa alat makan saja. Aku kembali ke tempat dimana Sadam masih berusaha menghentikan tangisnya, membuat aku harus berlutut agar bisa melihat wajahnya.

"Urusan itu, kita pikirkan nanti ya Dam.. Sekarang kamu bersih-bersih. Kita ke tempatku buat obatin lukanya.." aku menatap matanya yang sembab. Kemudian ia mengangguk menyetujui keputusanku sebelum akhirnya beranjak dari tempatnya. Aku melihat Sadam yang berbeda kali ini, Sadam yang aku tahu baik-baik saja dengan kehidupan malam bersama teman-temannya beberapa tahun ke belakang ini ternyata memiliki sisi lain yang juga rapuh. 

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang