Menua Bersama

236 26 16
                                    

Satu jam setelah tindakan operasi dan observasi, ayah sudah bisa di pindahkan ke ruang rawat. Ini tentu hal yang sudah kami nantikan sedari tadi. Ketika pintu ruang rawat terbuka dan ibudan tante Fanny muncul setelahnya, giliranku dan Sadam untuk masuk menemui Ayah.

"Hai sayangnya ayah.." sapa Ayah saat aku baru saja masuk ke dalam ruangan dan ini membuat airmataku otomatis mengalir. "Waduuuhh.. jangan nangis dong Sher.." ujarnya saat aku sudah berdiri tepat di sebelah ranjangnya bersama Sadam ynag selalu sibuk mengusap-usap punggungku ketika aku menangis.

"Ayah tuh bikin khawatir! Aku baru minggu lalu nemenin Sadam operasi, sekarang malah ayah yang begini.." aku berusaha keras menahan tangisku di hadapan ayah, tapi sia-sia saja, semakin ku tahan, tangisanku justru kian deras.

"Maaf ya nak.." Ayah meraih tanganku yang sibuk mengusap air mata untuk kemudian di kecupnya. "Ayah udah gak apa-apa kok.." kemudian tatapan Ayah beralih pada Sadam "Kamu apakabar Dam? Ibu bilang tadi kamu abis operasi usus buntu ya?"

"Baik Yah, lusa harusnya check up buat lepas jahitan.. tapi mungkin bisa di tunda kalau Sher masih mau di Bandung.." jawab Sadam.

"Jaga kesehatan dong Yah.. jangan kayak gini.. anak perempuan ayah satu-satunya ini belum nikah! Nanti siapa yang jadi wali kalau ayah gak jaga kesehatan?!"

Ayah merentangkan tangannya. "Sini nak.." Aku menuruti keinginan ayah untuk memeluknya. "Ayah janji, setelah ini ayah akan jaga kesehatan ayah biar bisa lihat kamu menikah, punya anak.. hidup bahagia sama... Sadam.."

Aku menjauhkan diri dari Ayah, terpaksa melepas pelukan kami. "Pasti ibu udah cerita ya?!" Ayah kemudian mengangguk dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Ayah titip Sherina ya Dam.. Ayah juga titip Sadam sama kamu.. saling sayang, saling jaga.." ayah menggenggam tanganku dan tangan Sadam untuk di satukan.

"Maafin ayah ya, bikin kalian harus repot-repot ke Bandung.."

"Apa sih Yah.. gak repot loh.. aku malah tadinya mau berangkat dari semalem cuma di larang ibu sama Sadam.." gerutuku.

Ayah terkekeh "ya bahaya dong sayang.. ibu pasti bikin panik ya karena ayah di ICU?"

Aku mengangguk "Pikiran ku udah kemana-mana semalem!" Kemudian duduk di kursi sebelah ranjang sedangkan Sadam masih berdiri di sebelahku. "Ayah bisa pulang ke rumah kapan ini?" Tanyaku kemudian.

"Kalau terus stabil kayaknya nginep semalam aja disini Sher.." Jawab Ayah, membetulkan letak selang oksigen di hidungnya.

"Aku sama Sadam ikut jaga disini boleh ya??"

***

"Sher, ibu mau tanya.." ujar ibu saat kami tengah menunggu makanan yang kami pesan siap.

"Kenapa bu? Sadam?" Tentu saja aku sudah tahu persis kemana arah obrolan ibu malam ini.

"Sejak kapan kalian? Pacaran kan sekarang??" Ibu menatapku.

Aku mengangguk. "Baru beberapa minggu ini kok, belum lama.. aku sama Sadam masih berusaha untuk percaya satu sama lain.. kalau harus di ceritain sih panjang ceritanya bu."

Ibu mengangguk "Kayaknya banyak hal yang ibu lewatkan ya? Kok kamu gak pernah cerita-cerita sama ibu?"

"Cuma gak mau bikin ibu sama Ayah khawatir aja.."

"Jadi, kenapa akhirnya mutusin buat pacaran sama Sadam?" Tanya ibu lagi.

Aku tersenyum, rasanya jika mengingat perasaanku pada Sadam yang ternyata sebegininya hatiku dengan otomatis merasa hangat. "Pada akhirnya aku sadar bu, cinta yang aku cari ternyata berada gak jauh.. karena selama ini baik aku atau Sadam pasti akan kembali ke satu sama lain kalau putus dari pacar kita masing-masing." Aku terkekeh kemudian mengingat banyak kejadian pahit yang jika di ingat kembali saat ini justru jadi terasa lucu kecuali kejadian mengerikan yang di lakukan Haidar, aku menceritakannya dengan sedikit rasa takut yang muncul. Mungkin trauma?!

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang