Tangis

248 29 28
                                    

Tidak banyak yang kami lakukan tiga hari ke belakang ini karena Sadam masih belum benar-benar stabil. Kegiatannya hanya bangun tidur, makan, minum obat lalu kembali tidur. Sedangkan aku, mengerjakan beberapa pekerjaan design diluar kerjaan kantorku. Lumayan mengisi waktu juga menambah nominal di rekeningku.

"Sher???!" Panggil Sadam saat keluar dari kamarku dengan handpone di tangannya.

"Ya??? Kenapa???" Sadam berjalan menghampiriku kemudian menyodorkan handphone nya padaku. Tertera nama Ibunya Sher dilayarnya.

"Kamu di telepon gak nyambung-nyambung katanya.. ada yang mau ibu sampein ke kamu itu.." Sadam menjelaskan saat aku bertanya tanpa kata. Dan dengan segera aku menempelkan handphonenya pada telinga.

"Iya bu?? Handphone ku lagi di charge.." sesaat kemudian terdengar ibu sedikit terisak. "Buu?" Tanyaku lagi.

"Kamu yang tenang ya Sher, sabar.. Ayah masuk ICU sudah dua hari ini, serangan jantung.." ucapan ibu kali ini rasanya membuat telingaku berdenging, badanku seketika lemas. Beruntung Sadam berdiri tepat di sebelahku, ia sigap mengusap lenganku menenangkan, sepertinya ia sudah tahu ini lebih dulu.

"Tapi kamu jangan maksain pulang malam ini ya neng, besok pagi aja.. Doakan Ayah baik-baik aja dan segera membaik biar bisa segera operasi pemasangan ring jantung.." ibu terdengar berusaha tegar disana. Aku hanya mengangguk lemah, perasaanku tak karuan.

"Sadam mana Sher? Ibu mau bicara.." kemudian aku menyerahkan kembali handphone ditanganku pada pemiliknya.

"Iya bu..?? iyaa siap.. iya bu.. besok pagi Sadam temenin ke Bandung.. ibu yang sabar ya.. jaga kesehatan jangan sampai drop juga.. besok kami kesana ya bu.." entah apa yang ibu ucapkan pada Sadam yang aku dengar hanya jawaban dari Sadam barusan sebelum akhirnya panggilan berakhir.

"Sabar ya sayang.. aku tahu persis bagaimana rasanya.." kemudian Sadam menunduk mengecupi puncak kepalaku.

"Aku gak bisa kalau gak ke Bandung sekarang Dam.. tapi aku juga gak bisa ninggalin kamu sendirian.." kali ini air mataku sudah tak lagi bisa ku tahan. Khawatir dan bingung dalam waktu yang sama.

Sadam menarik kursi lain sebelum duduk di sebelahku "Sher.. sayang... Denger aku... Besok yaa.. besok pagi, subuh deh kalau kamu gak bisa nunggu pagi buat berangkat ke bandung.." jemari Sadam mengusap airmata di pipiku. "Ibu udah titipin kamu ke aku, kamu gak harus bingung harus ninggalin aku.. aku temenin kamu ke Bandung besok.. ya?" Kemudian Sadam menarikku dalam pelukannya. "Sabar yaa..." Dan berkali-kali kecupannya mendarat di pelipisku.

"Kamu belum boleh nyetir Yang.. kita pakai kereta aja ya? Kereta cepat?!" Aku meraih handphone Sadam, membuka kuncinya dengan pola yang sudah aku tahu persis.

"Ngapain?" Tanya Sadam.

"Cari tiket kereta.." masih dengan tangisanku.

"Cintakuuu.. tenang dulu sebentar bisa??" Usapan Sadam beralih pada punggungku.

"Dam! Ayah di ICU mana bisa aku tenang?!" Dengan reflek suaraku meninggi.

"Ya dengan kamu kayak begini emang bisa bikin ayah seketika sembuh?! Tenang dulu sebentar biar gak salah langkah gak bisa?!" Sadam balas meninggikan suaranya dan ini dengan otomatis membuat aku mematung, menghentikan niatku untuk mencari tiket kereta untuk keberangkatan malam ini.

"Kamu gak tahu gimana rasanya! Kamu gak ngerti!!" Aku melangkah ke arah kamar kemudian menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, menangis dengan menenggelamkan wajahku di bantal.

"Justru karena aku tahu betul bagaimana rasanya! Papi ku meninggal Sher kalau kamu lupa!" Teriak Sadam yang sepertinya mengikutiku ke dalam kamar.

Hening, hanya isak tangisku yang terdengar. Sampai aku rasakan pelukan dari samping kiriku. "Maaf Sher, gak maksud aku bentak kamu.. tapi tolong, kamu tenang dulu.."

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang