Alih-alih mengejar Sadam ke ruang tengah, aku lebih memilih merebahkan diri dan bersiap untuk tidur, menghindari perdebatan yang lebih gila lagi. Saat baru saja aku akan benar-benar terlelap, seketika kesadaranku kembali karena merasa berat dari tangan Sadam yang merambat memeluk perutku dari belakang. Aku mengernyit sebelum benar-benar membuka mata, melirik ke arah dimana tangan itu berada, memastikan jika itu benar tangan Sadam.
"Kirain udah berangkat.." ucapku dengan suara yang serak, khas orang bangun tidur.
"Gak jadi, mami bilang mertuanya Livia juga udah cukup membantu. Jadi aku kalau mau kesana buat nengok ya gak harus malam ini.." setelahnya bisa kurasakan Sadam menyamankan posisi kepalanya pada satu bantal yang sama denganku.
"Selalu duluin emosi kalau di kasih tahu, ujung-ujungnya omonganku ada benernya juga kan?" Ucapku.
"Ya maaf Neng, tapi kayak kamu enggak gitu aja.." tangannya menarik tubuhku, pelukannya mengerat.
"Minta maaf kok pake tapi!" Kemudian aku menepuk tangannya beberapa kali "Dam, bisa jauh-jauh ga?!" Kalimatku hanya di hadiahi dengan gumaman dari Sadam. "Mundurkan kenapa sih?!"
"Ish, kenapa sih? Masa peluk aja gak boleh??" Protesnya.
"Kamu gak lihat aku di pinggir jurang iniii?! Kamu mau bikin aku jatoh?? Di sebelah lho masih luas kasurnya!" Posisiku benar-benar berada di tepi kasur saat ini.
"Ya udah geserlah sini.." Sahutnya malas, justru menarikku untuk sedikit bergeser.
"Dam, aku belum siap melahirkan ya! Gak usah deket-deket!" Aku melepas paksa tangannya kemudian bangun dari tempatku lantas berpindah ke sisi lain tempat tidur yang masih kosong.
Terdengar tawa pelan disana, "Apa sih? Biasa juga gak apa-apa!"
"Enggak! Sebelum sah aku gak mau tidur deket-deket kamu!" Kemudian menaruh guling di antara kami sebagai pembatas.
***
"Pagi sayangku.." Suara Sadam membuatku menghentikan gerakan tanganku untuk sejenak menoleh ke arahnya. "Pagi banget udah sibuk di dapur.." bersamaan dengan itu tangannya merambat memelukku dari belakang, sebuah ciuman singkat mendarat di pipiku. "Operasi Caesar Livia berjalan lancar, anaknya laki-laki hanya saja harus masuk NICU untuk memantau kondisi vital bayinya.." penjelasan Sadam membuatku kembali menghentikan kegiatanku memotong-motong bawang untuk membuatkan nasi goreng pagi ini.
"Terus kamu ke sana kapan?" Tanyaku kali ini.
"Nanti ajalah udah anaknya bisa di tengok.. mungkin bulan depan sekalian jemput mereka kesini.." kali ini aku merasa berat di pundakku ketika Sadam menyandarkan dagunya disana. "Ngomong-ngomong semalem mami bilang, buat majuin tanggal nikah kita.. dua bulan lagi.. akadnya barengan sama syukuran anaknya Livia katanya.."
Kali ini aku nyaris mengiris jariku Karna terkejut. "Ngada-ngada kamu." Aku menyisihkan bawang yang sudah ku potong ke dalam wadah lain untuk kemudian memotong-motong dada ayam.
"Yeh, gak percaya.. nanti juga ibu bilang sama kamu.." kali ini Sadam melepaskan pelukannya, lantas berjalan ke sisi lain untuk mengambil wajan, seolah tahu apa yang akan ku masak pagi ini. "Kamu gak mau emangnya?" Setelahnya mengambil dua cangkir di tangannya.
"Bukan gitu, undangan aja kita belum cetak.. foto latar biru aja belum bikin.. kalau majunya secepat itu gak akan kurang prepare rasanya."
"Hanya akad loh neng, resepsinya ya bisa sesuai sama rencana awal.." jelasnya, menuangkan bubuk kopi ke dalam masing-masing cangkir di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Future
Fanfiction"Ini kalau anak kita laki-perempuan sepertinya lucu ya jeng kalau nantinya kita besanan.." ujar wanita yang nampak jauh lebih dewasa dibanding wanita yang lain. Bu Ardiwilaga, beliau akrab di sapa seperti itu. Wanita disebelahnya tersenyum sambil me...