Ucapan Sadam kali ini berhasil membuatku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Aku menundukkan kepala, menyembunyikan airmata yang kian mendesak meminta untuk di loloskan beriringan dengan rasa sesak di dadaku.
"Ya udah, aku balik ya.. biar kamu bisa makan dengan nyaman tanpa harus lihat aku.." Sadam beranjak dari kursinya, bahkan disaat makanannya belum sepenuhnya habis.
Dengan gerakan cepat aku ikut bangun dari tempatku, meraih ujung tshirt bagian belakang yang di kenakan Sadam, membuatnya membalikan badan. Perlahan aku mendongakkan wajahku yang basah, menatap Sadam yang juga tengah menatapku. "Jangan pergi!" Ujarku dengan isakan yang sudah tak bisa lagi ku tahan, menghambur memeluk Sadam yang menatapku dengan sedikit terkejut.
Bahkan tidak sampai satu menit, aku merasa pundakku di dorong halus. Sadam menjauhkanku dari tubuhnya, membuat jarak di antara kami. "Sher, aku gak mau maksa kamu untuk merasa nyaman sama keberadaanku.. kita perlu jarak untuk sementara, mungkin sebelum hubungan kita ini balik jadi temen biasa lagi?!" Sadam kali ini melepaskan tanganku yang menggenggam erat tshirtnya.
Aku menggeleng dengan perasaan yang teramat kacau. Sadam berniat mengakhiri hubungan kita hanya karena kelakuanku kemarin???
"Aku balik ke unitku, oke?! Jangan lupa di habisin sarapannya.." Sadam bahkan tersenyum tipis saat menggenggam kedua tanganku dan mengusapnya pelan sebelum akhirnya melepaskan genggamannya untuk kemudian berbalik, melangkah menuju pintu.
"Maafin aku.. aku gak maksud buat nyakitin kamu Dam.." aku sedikit berteriak setelah mengumpulkan tenaga untuk bersuara, tak hanya hatiku, bahkan rasanya kedua kakiku terasa lemas saat ini setelah mendengar pernyataan Sadam.
Sadam terlihat menghentikan langkahnya, sesaat menengadah sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Iba sama cinta itu beda tipis Sher.. kamu perlu cari tahu dulu, rasa yang kamu kasih ke aku itu iba atau benar cinta?!" Sadam berujar tanpa sedikitpun mendekat ke arahku. Raut wajahnya terlihat begitu dingin dan terluka.
Kepalaku rasanya berdenyut sakit, suhu tubuhku memanas bersamaan dengan air mata yang rasanya mengalir semakin deras. Rasa takut kehilangan ini menyiksaku pagi ini, rasa sakit hati yang berasal dari kebodohanku.
"A...aku cinta kamu Dam! Hanya saja aku terlalu bodoh.. aku gak tahu gimana caranya untuk utarain keinginan aku ke ayah ibu kemarin.. aku gak mau bikin mereka kecewa, tapi di lain sisi aku gak bisa maksain diri untuk sepenuhnya setuju.." setelah menghela nafas akhirnya aku bisa mengeluarkan apa yang ada di pikiranku. "Meski aku tahu, aku gak akan bisa kalau bukan kamu orangnya! Please Dam! Jangan pergi! Maafin aku!!" Aku terduduk di lantai setelah merasa kakiku kian melemas.
Sadam terlihat bergegas menghampiriku sesaat setelah aku jatuh terduduk dengan isak tangisku. "Ssstttt... Its oke Sher.. aku ngerti.. aku ngerti.." Sadam mengusap kedua sisi lenganku. "Tapi kamu perlu waktu untuk benar-benar tahu perasaan kamu.." mendengar ini aku menggelengkan kepala.
"Aku jelas tahu, aku cinta sama kamu! Aku butuh kamu di samping aku!! Aku cuma terlalu banyak pertimbangan, terlalu sibuk sama pikiran negatifku, sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang belum tentu kejadian.. maafin aku Dam.." aku mendongakan wajahku yang pasti sangat terlihat kacau pagi ini, menatap Sadam sebelum akhirnya aku memejamkan mata saat Sadam merengkuhku dalam pelukannya.
"Gak harus minta maaf Sher, aku penyebab semua itu kan? Its oke.. bahkan kalau kamu benar-benar menolak pun rasanya aku gak apa-apa. Gak berhak buat maksa kamu untuk mau nikah sama aku.." Sadam mengusap punggungku pelan.
Aku masih terisak dan Sadam masih sibuk menenangkanku dengan usapannya, bertahan pada posisi ini beberapa menit hingga tangisku sedikit mereda. "Sudah tenang?" Sadam melepas pelukannya, dia memegang dua sisi lenganku dan menatapku lekat. "Sudah dong nangisnya.." Sadam menghapus air mataku dengan jemarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Future
Fanfiction"Ini kalau anak kita laki-perempuan sepertinya lucu ya jeng kalau nantinya kita besanan.." ujar wanita yang nampak jauh lebih dewasa dibanding wanita yang lain. Bu Ardiwilaga, beliau akrab di sapa seperti itu. Wanita disebelahnya tersenyum sambil me...