Ragu

215 21 45
                                    

Akhirnya aku kembali keluar kamar, menemui ibu juga ayah yang tengah memperhatikan seisi apartemenku. Keduanya menoleh saat aku sudah duduk di sofa kembali meski mood ku masih berantakan saat ini.

"Enam bulan dari sekarang bu, Sher gak mau adain resepsi.. mungkin nanti cukup keluarga sama temen-temen deket aja yang di undang, gitu kan ya Sher?" ucap Sadam yang tiba-tiba menjelaskan keputusan yang sejujurnya aku masih ragu memutuskan itu.

"Yakin gak mau adain resepsi? Menurut ibu sih, sayang momentnya kalau sekedar akad aja.. sekali seumur hidup loh Sher.." Ibu kembali memperhatikan beberapa foto yang terpajang di dalam lemari kotak di ruang tengah.

"Ya udah, terserah.." jawabanku kali ini membuat ibu menoleh.

"Ya gak harus semewah Diana kemarin, resepsi sederhana aja, maksimal tiga ratus undangan lah ya Yah?" Ujar ibu lagi. Sadam menatapku seolah meminta pendapatku juga.

"Terserah, aku ngikut aja gimana baiknya.." jawabku malas.

"Sher.. kok gitu sih?" Ucap Sadam.

"Yaaaa.. aku ikut aja enak nya gimana.. kan ibu yang lebih paham?! Ya?" Aku menoleh ke arah ibu. Mengiyakan rencana pernikahan saja bukannya sudah cukup ya? Meski aku putuskan dengan setengah hati. "Udah ya, aku ada kerjaan.. bahas bertiga aja, aku ikut apapun itu keputusannya.." beranjak lagi masuk ke dalam kamar, mengunci pintu kemudian menyambar handphone yang terletak di atas nakas. Mencari kontak Vina disana.

"Sibuk gak Vin? Gue mau ke tempat lo dong, boleh gak?"

"Hari ini gue gak kemana-mana sih.. laki gue kan lagi ada urusan kantor, keluar kota dari kemaren lusa.." jawab Vina "kenapa nih? Tumben?"

"Pusing gue! Setengah jam lagi gue kesana ya!! Siap-siap dulu bentar.." setelahnya aku memasukkan laptop, jurnal dan beberapa barang yang sebenarnya tidak perlu ku bawa kedalam tas. Berganti baju dan sedikit memoles wajahku.

"Kemana Sher?" Tanya Ayah saat aku keluar dari kamar dengan tampilanku yang sedikit lebih rapi dari sebelumnya.

"Yaa mas, ini mau jalan kok.. oke.. iyaa.. iyaaa.." aku keluar kamar dengan menempelkan handphone di telingaku, menyalami ayah dan ibu bergantian, berlagak sibuk berbicara di telepon tanpa berniat menjawab pertanyaan Ayah.

"Apa sih sher? Tiba-tiba mas?" Vina di sebrang panggilan terdengar kebingungan.

"Iya ini jalan sekarang.." aku melangkah keluar apartemen meninggalkan tiga manusia yang bingung menatapku.

***

"Ya baguslah! Berarti si Sadam ya emang serius!" Sahut Vina setelah ku ceritakan semuanya.

"Gue belum siap Vin.."

"Alasannya belum siap?" Vina menuangkan ice coffee latte pada cangkir di hadapanku.

"Gak tahu, gue masih ragu aja sama Sadam. Takutnya dia berubah ya buat sekarang aja, gak tahu kan besok lusa atau abis nikah nanti tiba-tiba balik ke kebiasaan lama dia."

Vina menggeleng, berdecak kesal. "Heran gue sama lo.. Sadam udah berusaha keluar dari pergaulan malam nya aja itu udah point plus! Artinya dia emang mau jadi manusia lebih baik.." Vina meneguk kopinya. "Menikah tuh gak serumit itu Sher, gue aja di jodohin sampe sekarang baik-baik aja.."

Aku menatapnya. "Tapi kan lo nya juga emang udah mau nikah?! Kalau gue, belom mau!" Aku meraih cangkir di depanku, meneguk setengah isinya. "Lebih baik telat dari pada salah pilih orang kan?"

"Ada berapa cowok yang lagi deket sama lo emang? Yakin bisa kalau bukan Sadam orangnya?" Ucapan Vina kali ini dedukit menohok hatiku, membuatku berpikir sejenak, "Gue jadi Sadam sih pasti bingung sama lo ya.. ngaku nya lo cinta sama dia, giliran di seriusin lo ragu-ragu gini.. beneran cinta gak sih? Gue kalo ada di posisi Sadam sih nyesek ya lo giniin.."

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang