Menuju

247 21 9
                                    

Satu persatu persiapan menuju hari sakral itu mulai kami siapkan, Mami bahkan dengan senang hati menyiapkan dokumen yang di perlukan Sadam untuk mendaftarkan pernikahan kami ke KUA.

Salah satu hal penting yang sudah ibu wanti-wanti sejak satu minggu yang lalu adalah medical check up pranikah. Bahkan ibu juga yang melakukan pendaftaran via online untuk pemeriksaan kami di salah satu rumah sakit di Jakarta.

"Jalan sekarang?" tanya Sadam yang hari ini lagi-lagi harus mengambil jatah cutinya. Aku mengangguk mengiyakan. "Kenapa sih Yang? Tegang banget kelihatannya?" Sadam meraih tanganku yang terasa dingin. "Sakit?" sebelah tangannya yang lain menyentuh dahiku, memastikan suhu tubuhku dalam keadaan normal.

"Agak tegang aja sih.." jawabku pelan.

"Karna mau medical check up?" ketika ku anggukan kepalaku, di saat yang sama Sadam terkekeh lalu mengacak rambutku. "Santai, cuma ambil darah aja sayang.. sama paling kamu dapet suntik tetanus nanti.." jelas Sadam. "Hhhh.. aku lupa kamu takut jarum suntik!" Sadam menghela nafasnya.

"Bisa-bisanya lupa!" gerutuku.

"Aku temenin deh, kamu duluan nanti yang ambil darah sekalian suntik.. ya?" Sadam kembali meraih tanganku kemudian menarik tanganku agar segera keluar dari apartemen.

Sesuai janjinya, selama proses ambil darah hingga mendapat suntikan vaksin itu, Sadam terus berada di dekatku. Bahkan semua pertanyaan dokter, Sadam yang jawab meski ia ada sedikit kesal ketika dokter menanyakan sejauh mana 'hubungan' kami. Dan ternyata proses check up nya tidak semengerikan yang ku bayangkan.

"Sampai apartemen kita kompres lengannya sama air hangat ya?" Ucap Sadam saat kamu baru saja masuk kembali ke dalam mobil. "Sakit kan bekas suntiknya?" tanyanya kemudian.

Dengan otomatis senyumku mengembang hanya karena ucapannya "Sakit, sedikiiitt.." jawabku.

Sadam mengusap kepalaku, salah satu bentuk sentuhan yang sekarang menjadi favorite ku "Kita beli makanan dulu ya, biar gak usah repot masak.." aku mengangguk setuju.

Hening sejenak ketika mobil keluar dari area rumah sakit, melaju di tengah jalanan Jakarta yang sedikit lengang hari Jumat ini.

"Makasih ya Yang.." Ucapku, menoleh sesaat ke arah Sadam dengan senyuman lebar ku.

"Apa sih tiba-tiba makasih?" Senyuman itu juga muncul di wajah Sadam. terlihat ia menggelengkan kepalanya pelan, mungkin terheran dengan ucapanku?

"Ya karena udah selalu peduli aku hingga hal terkecil.." gumamku.

"Sama-sama sayangkuuu.. tapi kan itu udah jadi tugasku buat mastiin kamu baik-baik aja.." Kali ini tangannya menarik lembut tanganku untuk kemudian di kecupnya. "Hari ini, sisa harinya di pake istirahat aja ya! Dokter bilang reaksi setelah suntik selain tangan kamu nanti bisa aja bengkak, badan kamu juga mungkin akan demam.." lagi, tanganku di kecupnya.

Dan benar saja, dua jam setelah tiba di apartemen selepas makan siang ku merasa tubuhku mulai tak enak saat Sadam dengan telaten menempelkan handuk hangat di lengan kiriku.

"Mulai gak enak ya badannya?" Sadam bahkan bisa tahu hanya dengan melihat wajahku. "Mau pindah ke kamar biar bisa nyaman tiduran?"

Aku menggeleng, lantas merebahkan diri di atas sofa dan menjadikan paha Sadam sebagai bantal. "Disini aja, rebahan bentar.." jawabku menyamankan posisiku.

Tangan Sadam kali ini sibuk mengusap kepalaku "Kalau sakit perut atau mual bilang ya.." Ku jawab dengan anggukan ucapan Sadam barusan sebelum benar-benar tertidur.

Aku terbangun ketika merasa tubuhku melayang dan kembali di baringkan pelan di atas kasur. "Lohh.. kok bangun?" tanya Sadam saat melihatku membuka mata. "Masih pusing?"

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang