Kembali

279 26 24
                                    

"Hmmm.. Ini sih bener kata si... Siapa itu temen lo?" tanya Vina sesaat setelah kita mendengar rekaman suara yang dikirimkan Nathan padaku. Tentang alasan Sadam yang terkesan tidak bisa mengambil keputusan atas apa yang dirasakannya.

"Nathaaann..."

"Nah iya.. Gue rasa Sadam begitu karena memang terbiasa mendem semua sendirian. Jelas-jelas dia sayang sama lo, ragunya bukan karena lo, tapi karena keadaan dianya.." lanjut Vina.

Setelah mendengar penuturan Vina, aku tersadar selama kami dekat, hanya aku yang selalu bercerita tentang apapun itu pada Sadam. Terkadang dia balas bercerita jika situasi yang ku alami relate dengannya tapi itu jarang sekali terjadi. Satu hal lagi, aku bahkan tak pernah bertanya tentang bagaimana harinya berlalu karena aku selalu mengira dia baik-baik saja.

"Lo kasih jarak dulu aja, cari tahu dia bakal nyari lo atau engga?!" Usul Vina.

Aku tertawa geli "Yang ada gue yang kecarian dia Vin!! Ini kalau gak lagi sibuk event juga gue yakin gue gak akan bisa lama-lama diemin dia, ini pertama kali gue blokir nomor dia, nutup akses komunikasi sama dia padahal bulan ini harusnya kita ke Bandung sama-sama buat acara nikahan ponakan gue.."

"Bucin lo! Gengsi aja nolak-nolak di jodohin.." Vina melempar tisu ke arahku. "Lo balik kan malem ini? Gila aja lo udah kayak makhluk penunggu kantor kagak balik-balik!"

"Ya dari pada abis ongkos buk?! Hemat waktu juga, kelar tengah malem mulu balik ke rumah subuh, pagi-pagi udah di kantor lagi.." aku menjelaskan ritme jam kerja kita seolah Vina tidak mengetahuinya.

"Besok di Bandung berapa lama?"

"Pergi besok malem kayaknya, mungkin minggu pagi gue udah disini lagi Vin acaranya sabtu soalnya.." jelasku. Vina mengangguk-anggukan kepala di tengah kegiatan menikmati ice coffeenya.

Turun dari ojek online aku mengambil alih tas ransel ku yang penuh dengan baju dan beberapa barang lain dari abang ojek yang berbaik hati menawarkan untuk menaruh ranselku di bagian depan motornya. Melangkah masuk ke dalam lobi, menekan tombol lift kemudian masuk kedalamnya setelah pintu silver itu terbuka.

Sejujurnya aku ingin segera merebahkan diri saat ini namun keinginanku harus sedikit di pending karena aku dengan jelas melihat Sadam duduk tertunduk, meletakan kepala di atas lengan yang bertumpu pada lututnya. Setelah hampir satu bulan ini aku menghindarinya, sejujurnya saat ini aku ingin sekali melangkah cepat menghampirinya tapi tentu saja ku urungkan. Kali ini justru Sadam yang tergopoh menghampiriku berusaha mengambil alih ransel dari tanganku dan aku menepisnya.

Selain karena Sadam bersikeras meminta waktuku untuk berbicara hal yang padahal aku tahu apa yang ingin di bicarakannya. Ada sedikit rindu yang membuatku membiarkannya masuk ke dalam apartemenku, kemudian ku biarkan ia melihat kesibukanku mengemas barang-barangku yang akan ku bawa ke Bandung besok lusa. Oh bukan! Malam nanti.. ini bahkan sudah hari jumat dini hari.

Benar saja apa yang di bicarakan Sadam adalah apa yang tadi di kirimkan Nathan lewat voice note. Semua dapat ku tebak dengan mudah. Jika boleh jujur aku tidak suka dengan Sadam yang begini, banyak memendam masalahnya sendirian. Secara tidak langsung aku mengusirnya namun secara tidak langsung juga aku jadi memberikan kembali satu kunci apartemenku padanya.

Dan pagi ini kulihat Sadam berbaring meringkuk di sofa berbantalkan lengannya. Aku tak berniat mengganggu tidurnya dan melanjutkan niatku untuk membuat sarapan. Saat sedang menuangkan air panas pada gelas berisi kopi, aku di kejutkan dengan dua tangan yang tiba-tiba melingkari perutku. Beruntung reflekku tidak membuat air panas itu tumpah kemana-mana.

"Maafin aku Sher.." lirihnya. Kepalanya tertunduk di atas bahu kiriku. "Aku masih belum bisa tegas dengan perasaanku. Aku sayang kamu tapi aku terlalu takut nantinya nyakitin kamu.."

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang