Sesal

255 27 28
                                    

Sadam's POV

Sesampainya di bandara Adisutjipto, terlihat Livia sudah menunggu kedatanganku bersama dengan Gilang, lelaki yang membuatku harus berada di sini untuk turut terlibat menanggung jawab apa yang dua manusia ini perbuat. Tanganku terkepal kuat, rasanya ingin ku tumpahkan segala amarahku saat ini jika saja aku tak ingat ucapan Sherina kemarin. "Hidup Livia memang tanggung jawab kamu Dam, tapi kejadian ini di luar kendali kamu. Livia yang punya badan, keputusan sepenuhnya dia yang pegang atas itu, lagian Livia juga sudah bukan anak kecil. Sudah paham mana boleh dan tidak." bahkan suaranya saat ini terdengar sangat jelas. Aku melangkah mendekat ke arah mereka beberapa kali menghela nafas berusaha meredam emosiku.

"Mami tahu kalau mas pulang?" tanya Livia begitu aku sudah berada di hadapannya. Aku menggelengkan kepala.

"Ayo, langsung ke rumah saja.. Mas gak punya banyak waktu!" Aku melangkah mendahului mereka sebelum Gilang melangkah cepat menuju mobilnya.

"Mas, maafin Livi.." ujar adik perempuanku satu-satunya, jemarinya menggenggam lenganku.

"Ya udahlah Liv, mau gimana lagi.. Ayo cepet!" jujur, sesungguhnya aku ingin memaki-maki dua manusia ini. "Harusnya kalian bisa bertanggung jawab sendiri atas ini.. melakukannya aja gak pake mikir.. udah begini malah bikin repot orang!" ujarku ketus saat mobil sudah melaju menuju rumah.

Lagi-lagi aku menghela nafas saat jarak menuju rumah sudah semakin dekat. Bagaimana cara memberi tahu mami tanpa membuatnya kaget, tidak terbayang reaksi mami nanti. Kepalaku berdenyut pusing saat ini.

"Aku takut mas.." Cicit Livia saat aku menatapnya, mengajak dia untuk segera turun.

"Cepatlah Liv, terus-terusan bergulung dengan takut emang bisa selesaikan masalah?" jawabku sedangkan Gilang sama sekali tak ku dengar suaranya dari saat aku tiba tadi.

"Mas yang ngomong ya?!" permintaan Livia kali ini membuatku memijat pelan kepalaku.

"Dia lah yang harusnya bilang! Dia yang lakuin, kenapa jadi harus Mas yang ngomong?! Cepetlah!" Aku kemudian turun dan bergegas melangah menuju pintu rumah. Saat aku baru saja akan mengetuknya, pintu itu terbuka dengan sosok mami berada disana.

"Ya ampuuunn mas!!!" Mami langsung memelukku erat. Jika di ingat memang sudah lama aku tidak pulang. "Kok gak bilang-bilang kalau mau pulang? Aduh.. mami belum siapin apa-apa.." Tangan itu menangkup wajahku sebelum kembali memelukku. Ada rasa bersalah kembali menyeruak dalam hatiku saat ini.

"Gak apa-apa Mi, kayak kedatengan tamu aja.." ujarku setelah pelukannya terlepas. Tak lama, Livia juga Gilang mendekat.

"Liv, akhirnya pulang juga.. berapa hari tuh kamu menginap di rumah Ines?! Mami sendirian di rumah, kalau gak karena tugas kuliah kamu sih mami gak akan kasih kamu menginap lama-lama.." kali ini berganti, Livia yang di peluk Mami "Ayo masuk... masuk.. Nak Gilang, masuk nak!" Raut bahagia di wajah mami itu aku yakin hanya akan bertahan beberapa menit ke depan.

"Pasti pada lapar ya? Sebentar ya mami belikan makanan dulu di warung Mbah Min.. kebetulan Mami sekarang lagi jarang masak.. wong sendirian ya siapa yang mau makan?!" Mami baru saja akan berlalu masuk ke dalam kamarnya saat aku tahan tangannya.

"Mi, Sadam kesini sebenarnya karena Gilang sama Livia mau bicara sesuatu sama Mami.. Bisa mami duduk dulu?" aku kemudian menatap dua manusia di depanku yang saat ini terlihat saling menggenggam tangan, membuatku muak saja.

Dengan ragu, Gilang menyampaikan niatnya untuk menikahi Livia sesegera mungkin, di sahuti oleh Livia yang menceritakan tentang kandungannya. Seketika itu tangisan Mami pecah dan dengan mendengar itu aku merasa semuanya terasa sangat kacau.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang