Luka (2)

300 31 24
                                    

Sadam sesekali meringis saat aku menempelkan es batu yang di balut dengan handuk kecil, ini pun aku lakukan setelah bertanya pada dokter online yang menurut informasinya luka lebam harus di kompres dingin atau es untuk meredakan pembengkakan dan peradangan yang terjadi, kompres air dingin juga dapat membantu meminimalisasi jumlah darah yang keluar dari pembuluh darah kecil ke jaringan di sekitarnya. Dan harus di lakukan selama dua hari baru setelahnya di kompres air hangat untuk memperlancar aliran darah, serta mempercepat perubahan warna kulit agar kembali seperti semula. Lalu aku berpikir, bagaimana Sadam bisa bekerja dengan wajahnya yang babak belur?

"Pelan-pelan Sher.." keluhnya saat aku mulai membubuhkan salep pada bagian wajahnya yang memar.

Aku akhirnya menghentikan kegiatanku. "Sakit banget ya?"

Sadam menggeleng, "Masih lebih sakit kalau ingat Livia sih.." matanya dengan otomatis berkaca-kaca. Rasanya pasti campur aduk mendengar orang yang berusaha ia jaga dan menjadi harapannya justru malah merusak masa depannya sendiri. Kecewa pasti, aku saja masih tidak menyangka karena Livia yang kukenal adalah adik perempuan yang baik, bahkan Sadam sering kali membanggakannya karena prestasi Livia. 

Sadam mengerjapkan matanya, menahan agar air matanya tidak terjatuh lagi. "Kalau masih mau nangis, nangis aja Dam.." aku mengusap lengannya pelan. "Gak apa-apa loh nangis itu, kenapa harus di tahan-tahan?" Setelah ucapanku, Sadam kembali menundukan wajahnya. Menangis tersedu. Aku menariknya agar bisa bersandar di bahuku.

"Salah banget aku! Harusnya waktu aku udah kerja, aku bawa mereka berdua juga ke Jakarta ya Sher? Biar gak kejadian begini.." desis Sadam saat tangisannya mereda.

"Kenapa jadi kamu yang salah? Hidup Livia memang tanggung jawab kamu Dam, tapi kejadian ini di luar kendali kamu. Livia yang punya badan, keputusan sepenuhnya dia yang pegang atas itu, lagian Livia juga sudah bukan anak kecil. Sudah paham mana boleh dan tidak." Aku menepuk-nepuk punggungnya, Sadam masih nyaman bersandar di bahuku.

"Ngomong-ngomong soal Livia, yang lakukan itu pacarnya kan? Sekarang Livia di mana? Kamu bilang dia kabur kan? Pacarnya mau tanggung jawab tapi kan?" semua pertanyaan di kepalaku tertuang. Sadam mengangguk, entah mengangguk untuk jawaban dari pertanyaanku yang mana.

"Aku harus ke Yogya buat beresin ini, bantu Livia buat jelaskan ini ke mami sekalian aku cari pacarnya untuk meminta dia ikut tanggung jawab atas perbuatan mereka berdua." Sadam mengangkat kepalanya, kemudian menghela nafas. Lelah. "Jadi anak pertama ternyata seberat ini, apalagi setelah papi meninggal. Semua beban rasanya menumpuk di pundakku semua." kali ini Sadam menunduk di sebelahku. Aku mengusap punggungnya, berusaha menenangkannya. Aku tidak tahu berapa banyak beban yang ia simpan sendiri, tentang masalah keluarganya Sadam tidak pernah bercerita secara gamblang selama ini.

"Perlu aku temenin ke Yogya?"

"Gak usah Sher, makasih ya." Ia menegakkan tubuhnya, bersandar ke sofa kemudian tangannya terulur mengusak kepalaku. "Makasih ya udah selalu ada buat aku, ngerepotin kamu terus tiap kali pulang clubbing.." aku menoleh ke arahnya.

"Bisa berhenti minum-minum gak sih kamu tuh Dam? Itu kan gak juga bisa selesaikan masalah kamu! Rokok juga, sejak kapan kamu jadi perokok berat?" yang ku tanyai hanya tersenyum tipis. "Berapa banyak cewek yang jadi temen one night stand kamu? Apalagi yang aku lewatkan tentang kamu selama ini?" kali ini nampak Sadam mengerutkan kening dengan ekspresi terkejutnya.

"Separah itu ya aku di mata kamu? Sampai kepikiran aku sering booking cewek buat jadi temen one night stand? Parah kamu Sher! Padahal jelas-jelas setiap kali mabuk aku pulang ke kamu! Pernah gak aku apa-apain kamu waktu aku dalam keadaan sama sekali gak sadar? Pernah gak?" aku menggeleng, benar juga sih. Kalau tujuan Sadam ke club untuk mencari teman tidur, bisa saja dia pulang dengan open room, bukan ke pulang ke tempatku.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang