Pulih

231 22 26
                                    

Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca mobil di samping Sadam saat kami masih membahas apa yang baru saja kami lalui. Kalian tahu siapa yang mengetuk pintu? Betul, Halid berdiri disana.

"Halid?? Dam??"

"Pagi tadi, aku hubungi dia buat ketemu sebelum kita pulang ke Jakarta.."

"Kamu gak apa-apa ketemu dia??" Tanyaku sedikit khawatir mengingat kejadian semalam bagaimana reaksi Sadam saat tak sengaja bertemu saudaranya (?) itu.

"Aku gak apa-apa.. Betul yang kamu bilang. Bagaimana pun dia saudara aku, saudara kandung.. aku turun sebentar ya?" Setelahnya dapat ku lihat bagaimana dua orang bersaudara itu saling memeluk kemudian terlihat saling menguatkan satu sama lain. Entah apa yang mereka ucapkan pada satu sama lain.

Tengah asik memperhatikan interaksi mereka berdua, tiba-tiba Sadam membuka pintu "Sayang, turun dulu yuk bentar.. makan dulu di tempatnya Halid.." ujarnya.

Aku mengikuti Sadam, meski setelahnya sepanjang jalan, genggamannya terasa amat erat di tanganku. Aku mengusap lengannya dengan tangan kananku, membuat Sadam menoleh "i'm so proud!" Bisikku, melemparkan senyum pada Sadam yang seketika ikut tersenyum.

"Yaa ginilah usaha kecil-kecilan Dam.." ujar Halid saat kami memasuki cafe miliknya yang terletak tak jauh dari pantai. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu, tidak terlalu besar namun tidak bisa juga di bilang kecil. "Mau pada makan apa nih? Kebetulan disini makanannya vegan.. ada smoothies bowl juga.." Halid menyodorkan dua buku daftar menu ke hadapan kami.

"Pilihin yang enak ajalah kita, ya Sher?"

"Mmm... Aku pengen smoothies sih.. enak kayaknya siang-siang panas gini, makan yang dingin-dingin.." kemudian aku membuka buku menu di hadapanku. "Es teler smoothies bowl? Mmmm.. interesting.. aku mau itu ya!" Ucapku kemudian.

"Boleh.." Halid tersenyum menanggapi ucapanku. "kamu yakin gak mau milih Dam?" Halid sekali lagi memastikan.

Sadam mengangguk "Makanan apa aja yang penting enak.. tapi gak pedes, gak asam.. ngeri kenapa-kenapa nih perut baru abis operasi usus buntu soalnya.. mau nyetir jauh juga kan abis dari sini nih.." jelasnya.

"Operasi usus buntu? Aku baru bulan lalu loh kena!" Logat khas Yogyakarta itu terdengar.

Aku menatap keduanya bergantian, "kalian kayak anak kembar aja!" Ucapku. Tapi setelahnya suasana sedikit terasa canggung.

"Ekhemmmm.. a-aku siapin dulu pesanannya ya?! Kalian mau duduk disini atau mau di luar, biar bisa sambil lihat ombak?!"

"Di luar kayaknya lebih nyaman Dam?" Tanyaku.

"Kamu mau duduk di luar?" Sadam malah balik bertanya, aku mengangguk. "Kita di luar aja ya Lid.." ucap Sadam sebelum kami beranjak keluar dari ruangan menuju ke bagian belakang bangunan untuk duduk di bawah payung besar untuk menghalau matahari siang ini.

"Are you oke??" Tanyaku sesaat setelah kami berdua sama-sama terdiam menatap gulungan ombak.

Sadam mengangguk. "Agak berat, tapi... i'm oke.. jauh lebih lega aja rasanya.." kali ini aku benar-benar bisa melihat binar lain di mata Sadam.

"Aku seneng, ternyata meski harus marah-marah dulu kamu tetep mikirin apa yang aku bilang.." tanganku mengusap punggung tangannya. "I love you!"

"I love you too.." sahutnya.

"Ekheeemmm.. love bird.. silahkan makanannya.." Halid muncul membawakan pesanan kami. "Yang lagi sakit, air mineral aja kan minumnya?!" Ujarnya.

Sadam tersenyum "thanks ya.."

"Urwell bro! Gak usah sungkan gitulah.. aku tuh malah nunggu banget moment kayak gini, meski sempet malu sama kelakuan mama dulu.." Halid mengambil tempat duduk di seberang Sadam sedangkan aku berada di tengah seolah memang harus menjadi saksi interaksi mereka hari ini.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang