Manis

235 22 27
                                    

"Ekhemmmm.. kalung baru nih di lihat-lihat.." ujar Vina saat jam makan siang di kafetaria kantor. "Lo hutang banyak cerita sama gue ya! Sebel deh dari pagi gak ada kesempatan ngobrol banget!" Gerutu Vina kemudian.

Hari pertama kembali ke kantor, sejak pagi aku sibuk dari meeting satu ke meeting yang lain. Bertemu para promotor festival yang mempercayakan kantor sebagai partner untuk segala design yang mereka perlukan.

"Ada apa nih jadi?" Lagi, Vina bertanya. Membuatku memutar ingatan ke hari kemarin, bagaimana Mami memberi restu, juga mengingat Sadam yang perlahan mau berdamai dengan keadaan. "Nyet! Malah senyam-senyum." Tisu yang sudah dikepal Vina itu mengenai keningku.

"Nagih ceritanya galak amat kayak nagih utang!"

"HEH! Kan gue bilang, lo HUTANG cerita sama gue!" Vina menimpali.

"Gak usah nyolot kali.." aku mengaduk coffee latte di hadapanku. "Gue sama Sadam.. apa ya di sebutnya? Lamaran sih enggak, tapi kemarin Mami nya kasih gue ini.. semacam bukti kalau beliau kasih restu.." aku memegang liontin pada kalung yang ku kenakan.

"Ya dipinang itu namanya.." jawab Vina. "Nyokapnya Sadam pasti siapin itu dari lama.. Yakin banget ya siapin inisial S.."

"S for Sadam kan juga bisa Vin!"

"Iya sih... Terus-terus? Di Yogya tiga hari tuh ngapain aja kalian?" Vina menggeser mangkuk yang isinya sudah habis tak bersisa seolah benda itu menghalangi informasi yang akan di terimanya.

"Gak ngapa-ngapain.. cuma di kenalin ke temen-temen akrabnya dia disana. Ah iya! Ini yang bikin gue seneng.. Sadam mau ketemu sama saudara sebapaknya. Yang waktu itu gue ceritain ke lo.. Halid.." kemudian aku menceritakan detail kejadian sebelum aku dan Sadam kembali ke Jakarta. Vina tampak berdecak, ikut tersenyum mendengar semua ceritaku.

"Ya baguslah, itu artinya si bocah yang suka grasak-grusuk ini bisa kasih pengaruh positif buat dia.. bikin dia mau berubah atas kesadarannya sendiri itu keren sih!" Vina mengangkat dua ibu jarinya sebelum menyambar air mineral di sebelahnya. "Terus kapan dong?" lanjutnya.

"Kapan apaan?"

"Married-lah! Apalagi?" ucapan Vina kali ini membuatku terkekeh.

"Jangankan married Vin.. lamaran resmi aja di tunda sampai adiknya dia lahiran dulu.." aku meneguk minumanku. "Gak pengen buru-buru juga sih gue, Sadam masih berproses buat damai sama dirinya sendiri.. gue gak mau ngedesak dia sama yang begini-begini.. kalau udah waktunya, pasti jadi juga kan?!"

"Ya gak salah sih, tapi ya inget umur.. tahun depan udah mau tiga satu, udah bukan masanya penjajakan lama-lama, lagian udah saling kenal juga kan?!" Vina kembali mengemukakan pendapatnya.

Aku menghela nafas, bercerita bagaimana dua minggu yang cukup seperti roller coaster itu pada Vina, entah berapa kali aku dan Sadam harus berdebat lalu kembali berbaikan, saling mencemburui tapi kemudian berusaha untuk saling percaya lagi.

***

Seperti janjinya pagi tadi, Sadam tiba di kantorku tepat saat aku baru saja keluar dari gedung bersama Aryo dan Vina.

"Taksi onlinenya udah langganan kayaknya nih sekarang?!" Celetuk Aryo saat melihat Sadam melambaikan tangannya ke arahku dari jendela mobil. "Wah, amankan mata-mata perempuan di kantor ini! Gue yang cowok aja silau liatnya!" Sambungnya.

"Seneng gue liatnya, kalau yang lagi fallin love tuh muka nya cerah-cerah.. gak kayak lo, kusut mulu!" Vina sedikit mendorong pundak Aryo.

"Kok jadi sayaaa.." gerutu Aryo pelan.

"E-eehh.. gue duluan ya guys! Bye!" Aku pamit terburu-buru ketika melihat Sadam turun dari mobil dan hendak menuju ke tempatku berdiri. "Ayo pulang!" dengan segera aku memutar tubuhnya agar segera masuk kembali ke dalam mobil.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang