Masalalu

234 24 44
                                    

"Aku mau tanya.." ucapanku membuat Sadam menoleh. "Kamu sama Halid ada komunikasi? Mmmm... Maksudku, hubungan kalian setelah tahu-"

"Hubunganku sama dia ya biasa aja.." Sadam menghela nafas "sebelumnya kan juga gak kenal.." ujarnya kembali menatap lurus ke arah tv yang sedang menayangkan drama korea yang memang sudah masuk ke dalam list tontonanku.

Aku menekan tombol pause, lalu menegakkan posisiku untuk duduk menghadap Sadam. "Kenapa?"

"Huuufftt..." Sadam ikut menegakkan tubuhnya. "Perlu banget aku ceritain ini?"

Aku mengangguk "Aku mau tahu semuanya.. tapi kalau kamu gak mau cerita ya udah.." aku merebahkan tubuhku di kasur, menyimpan guling di antara kami lalu menarik bedcover bersiap tidur jika saja tangan Sadam tidak menahan bedcover yang sudah menutup setengah badanku.

"Aku ceritain semuanya, pelan-pelan.. sebisaku.." ucapnya.

Aku tahu persis ini sama seperti menggores lagi luka yang sebenarnya belum sembuh betul. Tidak tega rasanya membuat Sadam harus kembali menggali rasa sakitnya, tapi jika di biarkan bukankah tidak juga membuatnya 'sembuh' dari lukanya? Aku membalik badanku menghadap Sadam yang ikut berbaring, menaruh kepalanya di atas guling yang ku jadikan pembatas untuk kami.

"Dua bulan sebelum papi meninggal, awal dari semua kejadian ini dari mami yang tiba-tiba nemu bukti pembayaran uang pembangunan sekolah atas nama Halid di saku celana papi.." tangan Sadam terulur menyingkirkan rambut dari pipiku. "Awalnya papi ngelak, selalu bilang itu nama anak teman papi, tapi jelas-jelas nama papi tertera disana sebagai wali.." Sadam terkekeh pelan "Pembohong kalau udah mulai ketahuan kan alasannya apa aja yang terlintas di kepalanya ya?!"

Aku meraih tangannya mengusapnya pelan tanpa berniat menginterupsi ceritanya.

"Tapi namanya perempuan.. mami datengin ke sekolahnya buat cari tahu siapa Halid ini.. udah gitu ya akhirnya papi ngaku sendiri.. dari situ juga aku tahu kalau aku ada sebelum adanya pernikahan.. bahkan papi bilang, mami beruntung karena orang tua mami punya power buat ngancam papi, sampai akhirnya papi lebih pilih mami buat jadi istrinya.." Sadam kemudian menggeser posisinya berbaring menatap langit-langit kamar. "Jadi pernikahan mereka selain karena sudah ada aku, tapi juga karena ancaman eyang, bukan karena cinta."

"Kalau gak karena cinta, gak akan ada kamu Dam.."

Sadam menengok ke arahku yang sudah menyingkirkan guling yang menghalangi pandanganku untuk menatap wajah Sadam "Halid juga?" Tanyanya. "Bukan cinta Sher, nafsu yang bikin akhirnya ada aku juga Halid.." kemudian Sadam memiringkan badannya menghadapku. "Sebenarnya aku sama Halid tuh sama-sama korban.. kita gak tahu apa-apa.. tiba-tiba lahir di tengah keluarga yang begini.."

Aku mengusap pelan lengannya. "Kamu gak mau ketemu Halid?"

Lagi-lagi Sadam menarik nafas dalam. "Ngapain?" Sadam terkekeh pelan. "Ada atau enggak, dia gak ada pengaruh apa-apa juga buat aku.."

"Yaaa, sebagai saudara kan? Kalian sama-sama korban.. bahkan Halid mungkin gak ngerasain kehadiran papi di hidupnya?! Kamu-"

"Lebih beruntung?" Sadam memotong ucapanku, kemudian duduk bersandar pada kepala ranjang. "Enggak juga Sher.. selama ini papi sering beralasan dinas luar kota, ngawal komandan, inilah itulah.. padahal ya pulang kesana.." tangannya terulur memainkam rambutku. "Malah kayaknya jauh dapet perhatian lebih si Halid daripada aku.."

"Maksudnya?"

"Halid anak tunggal, dapet perhatian penuh dari mamanya, papi juga sering pulang kesana, ke sekolah pun papi yang urus administrasinya.." terlihat senyum penuh luka tergambar disana. "Aku gak dapet itu.." Sadam terkekeh kemudian menengadahkan kepalanya. "Kadang suka malu kalau mau bilang Tuhan gak adil.. karena aku ada pun karena kesalahan jadi mungkin ini bentuk hukuman Tuhan buat aku.." Sadam mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Dear FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang