Pasien No. 5

5.9K 407 26
                                    

Tubuh Rona tersentak ketika seseorang menyeruak memaksa keluar dari bus, padahal pemberhentian selanjutnya masih berjarak beberapa ratus meter dan mereka baru saja berangkat dari pemberhentian sebelumnya.

Sambil meringkuk, Rona memeluk tas ransel yang digendong di depan dengan satu tangan. Tangan lain, tepatnya dua jarinya, berusaha memegang pegangan plastik di atas kepalanya. Setiap kali bus bergerak, mati-matian Rona mengeratkan pegangannya. Takut tubuhnya ikut terhuyung dan mendorong penumpang di sebelahnya.

Suara pengumuman sudah mulai berkumandang. Mengumumkan waktunya bersiap-siap karena bus akan berhenti. Penumpang lain mulai bergerak memutar tubuh mereka menghadap depan, bersiap menerobos penumpang yang menetap agar mereka bisa turun.

Begitu bus berhenti, Rona menunggu sampai gilirannya turun. Itu pun sulit, karena penumpang yang baru akan naik sudah tidak sabar dan mendesak masuk.

Perjalanan Rona dilanjutkan dengan naik angkot yang lewat depan klinik. Kira-kira beberapa blok sebelum klinik, Rona turun untuk mampir ke minimarket.

"Popmie aja kali, ya?" gumamnya setelah mengelilingi satu minimarket untuk mencari makanan yang bisa membuatnya kenyang, tetapi harganya di bawah Rp20.000. Hari ini Rona sudah bertekad mau berhemat setelah semalam menghabiskan Rp100.000 untuk ongkos pulang. Bahkan dia sudah menghitung perkiraan pengeluaran biaya untuk satu hari sampai pulang nanti—dan sampai gaji pertamanya cair.

Usai membayar sebuah Popmie dan sebungkus roti isi, Rona memilih jalan kaki menuju klinik. Di balik masker, dia mencebik.

Sebenarnya, hari ini suasana hati Rona jauh lebih baik dibanding kemarin. Saat bangun tadi pagi, tubuhnya memang sedikit nyeri di sana-sini, terutama bagian betisnya dan masalah itu selesai usai menenggak sebutir obat pereda nyeri. Namun, yang mengherankan adalah semangatnya untuk bekerja sama sekali tidak padam.

Seolah-olah kejadian semalam tidak pernah terjadi.

Dan kalau mengingat apa yang terjadi semalam sejujurnya Rona malu!

Dia terus menangis selama perjalanan sampai-sampai si driver terpaksa menepi dekat warung demi membeli sebungkus tisu dan air mineral gelas. Pria itu berbaik hati menunggu sampai Rona sedikit tenang sebelum mengantar pulang.

Begitu menginjak lantai kamarnya, Rona langsung tumbang di atas tempat tidur tanpa sempat mandi atau sekadar melepas pakaiannya.

And to be very honest, she likes how she slept last night.

Sepertinya sudah lama dia tidak merasakan tidur yang begitu pulas. Biasanya, dia akan terbangun satu kali tengah malam, lalu menjadi gelisah, dan kembali tidur setelah 1-2 jam membaca buku yang diambil acak dari meja.

Seandainya setiap malam ke depannya dia bisa kembali merasakannya. Tidur dengan lelap lalu saat bangun, dia bisa merasakan energinya terisi penuh.

"Mungkin kalo gue punya duit, setiap malam gue bisa tidur nyenyak," gumam Rona sambil terus melangkah. Sesekali dia mendongak. Menatap langit pagi yang begitu cerah, tetapi terlihat biasa-biasa saja.

Kalau sudah seperti ini, kepala Rona jadi penuh dengan skenario 'Hidup Bahagia a la Rona'.

Dan kedua kakinya berhenti bergerak ketika dia tiba di depan klinik.

"Seandainya duit gue udah banyak, gue bikin klinik juga kali, ya? Terus orang-orang kayak si Mulyati bakal gue—"

"Bakal lo apain?"

Rona terperanjat.

Tubuhnya refleks berputar cepat ke belakang dan ketidaksiapannya membuat kakinya tersandung celah drainase yang meninggi.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang